tirto.id - Peneleh yang terletak di Kecamatan Genteng, Surabaya, terdiri dari lima perkampungan, yakni Peneleh, Plampitan, Jagalan, Lawang Seketeng, dan Pandean. Ia cukup strategis karena lokasinya dekat dengan Balai Kota Surabaya dan Monumen Tugu Pahlawan.
Sabtu, 30 Mei 2025, saya bertemu dengan Agus Santoso dan Muhammad Ainul Yaqin. Keduanya warga Kampung Peneleh yang dipercaya oleh Dinas Pariwisata Surabaya sebagai anggota Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).
Selain mengunjungi tempat bersejarah yang populer, yakni rumah HOS Tjokroaminoto, mereka juga menunjukkan benda bersejarah lainnya, yakni Sumur Jobong dan jejak orang Armenia di permakaman.
Sejarah Penemuan Sumur Jobong
Agus membuka penutup besi berbentuk lingkaran di bawah kakinya. Dari balik penutup besi itu tampak sebuah sumur yang terlihat masih baik dan kokoh. Sumur itu dikeliling berbagai batu, dari yang berwarna coklat, putih, hingga hitam. Menurut Agus, namanya Sumur Jobong dan berasal dari abad ke-15, tepatnya pada tahun 1430-an.
“Ketebalannya itu cuma 2,5 cm. Dindingnya itu 1 cm. Bisa ratusan tahun. Bisa dibayangkan, kalau misalkan bangunan sekarang belum tentu bisa seperti ini,” ujarnya.
Ia menambahkan, sumur ini berdiameter 83 cm, tinggi 48 cm, dan kedalaman sekitar 1 meter. Hal itu membuatnya takjub.
Penemuan Sumur Jobong berawal saat merenovasi gorong-gorong di sisi timur Kampung Peneleh. Renovasi dilakukan demi menanggulangi banjir yang kerap melanda.
Agus melakukan renovasi dengan dibantu para pekerja yang didatangkan dari Mojokerto setelah memperoleh instruksi dari Farida selaku Ketua RW 13. Saat itu dia menjabat sebagai Humas RW 13.
Agus segera meminta Gandhi untuk menghentikan sementara penggalian dan menyuruhnya mengambil fosil tersebut untuk dipindahkan ke permukaan tanah. Setelah itu, intuisi Agus mengatakan bahwa ada sesuatu di bawah fosil tersebut.
Dan memang benar, pada kedalaman 1 meter, sekop milik Gandhi kembali membentur benda keras. Kali ini adalah patahan batu besar yang berjejer rapi dengan panjang hampir 40 cm dan lebar hampir 30 cm. Gandhi kemudian mengambil patahan batu besar itu dengan hati-hati untuk dipindahkannya ke tepi tanah. Ketika semua patahan batu berhasil dipindahkan dan penggalian kembali dilakukan, tampak sebuah sumur di dalam saluran air tersebut.
“Sumur ini ditemukan pada hari Rabu Wage, tanggal 31, bulan Oktober, Tahun 2018, pukul 18.20,” ujarnya.
Agus kemudian melaporkan penemuan sumur ini kepada Farida. Tak berselang lama, Farida datang menuju lokasi renovasi dan memotret sumur itu untuk dikirimkan kepada Khusnul Amin selaku Lurah Kampung Peneleh.
Besoknya, Kamis (1/11/2018), Amin melaporkan penemuan tersebut kepada Dinas Kearsipan Kota Surabaya serta para ahli sejarah. Ia pun kemudian menginstruksikan kepada Farida untuk menghentikan renovasi gorong-gorong.
Pemkot Surabaya lalu mendatangkan para arkeolog dari Balai Pelestarian Kebudayaan IX Jatim. Beberapa peneliti dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (UNAIR) juga datang untuk turut melakukan peninjauan.
Setelah diteliti dengan cermat dan seksama, mereka menganggap sumur tersebut adalah peninggalan Kerajaan Majapahit. Alasannya, bentuk sumur mirip dengan yang telah ditemukan di Trowulan, Mojokerto.
“Dan yang sangat mengejutkan lagi temuan tulang-tulang itu juga dilakukan tes DNA dengan warga asli di sini. Yang diambil dua orang yang usianya tua di atas 70 tahun. Nah, setelah dites itu, rupanya secara genetika mereka masih sambung dengan pemilik tulang itu. Jadi, di sini masih ada keturunan pemilik tulang ini,” ungkap Agus.
Karena penemuan sumur itu, menurut Agus para pengamat sejarah menganggap Kampung Peneleh adalah kampung tertua di Surabaya. Bahkan ada yang mengatakan kampung ini sudah ada sebelum Surabaya ditetapkan sebagai kota secara administratif. Ini berdasarkan pada buku Er Werd Eenstad Geboren yang ditulis oleh G.H. Von Faber.
Dalam buku tersebut, menurut Agus, Surabaya adalah kawasan yang didirikan oleh Raja Kartanegara dari Singasari pada tahun 1275 sebagai permukiman bagi para prajuritnya yang berhasil menumpas Pemberontakan Kemuruhan pada tahun 1270. Kawasan ini terletak di antara Sungai Kalimas dan Sungai Pegirian dan berada di sebelah utara Kampung Glagah Arum yang kini bernama Peneleh.
Jejak Orang Armenia di Surabaya
Selepas mendengarkan kisah tentang penemuan Sumur Jobong, saya bertanya pada Agus soal permakaman komunitas Eropa yang berada di Kampung Peneleh. Ia menjawab, makam itu berada di depan Lodji Besar, bekas Kantor Gubernur Hindia Belanda yang kini menjadi kedai kopi. Itu berarti, jarak makam tersebut dari kediamannya hanya sekitar 10 meter.
Sebelum mendapat perhatian dari Pemkot Surabaya, makam ini lama tak terurus. Maka itu, warga Kampung Peneleh pernah menggunakan makam tersebut sebagai tempat untuk bermain kartu atau menenggak minuman keras.
Pemkot Surabaya mulai memperhatikan area pemakaman tersebut pada tahun 2007-2008 ketika proyek revitalisasi diwacanakan ke publik. Kala itu, Presiden ICOMOS (International Council on Monuments and Sites) yang menjadi representasi Kementrian Kebudayaan Belanda, datang ke Surabaya untuk menemui Wali kota Surabaya, Tri Rismaharini.
Dalam pertemuan itu, Presiden ICOMOS mengutarakan bahwa Belanda bersedia membantu secara finansial proyek tersebut, kendati perencanaan dan pendataan harus detail. Kalangan sejarawan sempat sumringah mendengar rencana revitalisasi itu. Namun, tak jelas mengapa rencana itu tak jadi direalisasikan dan berhenti dari pembicaraan.
Revitalisasi Makam Eropa di Peneleh baru terealisasinya pada tahun 2023 ketika Kota Surabaya dipimpin Eri Cahyadi. Revitalisasi makam menjadi bagian dari Festival Peneleh yang diadakan oleh Pemkot Surabaya bersama Bank Indonesia (BI) Jawa Timur, dan Komunitas Begandring Soerabaia.
Revitalisasi dilakukan dengan memetakan tipologi makam dan mendata para jenazah yang dikebumikan. Setelah revitalisasi, Makam Eropa Peneleh menjadi salah satu destinasi wisata.
Bersama Muhammad Ainul Yaqin, saya selanjutnya menuju makam. Saat tiba di depan gerbang permakaman, Ainul memberi tahu sebuah makam besar yang terbuat dari marmer dan dipagari besi.
“Itu adalah makam Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Pieter Markus. Ia meninggal pada Agustus 1844 karena sakit. Mulanya ia dimakamkan di Benteng Prins Hendrik. Namun, setelah area pemakaman ini dibuka pada 1 Desember 1847, ia kemudian dipindah di sini,” ucapnya.
Hampir semua pusara yang berada di lahan seluas 4,5 hektare ini dibuat semewah mungkin dengan cor marmer atau besi, tidak ada yang terbuat dari tanah liat.
“Semua yang dimakamkan di sini adalah orang elite dan tentu saja orang kaya pada masa Hindia Belanda,” jelas Ainul.
Ia mencontohkan orang-orang seperti itu adalah Paul Francois Corneille yang menjadi Direktur Artileri Constructie Winkel (perusahaan senjata terbesar di Hindia Belanda), Pierre Jean Baptiste de Perez yang menjadi Wakil Mahkamah Agung Hindia Belanda dan komisaris beberapa perusahaan, serta Daniel Francois Wietermaat yang menjadi Residen di Surabaya.
“[Orang Armenia] salah satunya adalah Ohannes Kurkdjian yang makamnya berada di paling ujung,” katanya sembari menunjuk sebuah makam yang tampak sederhana bila dibandingkan dengan makam lainnya.
Mungkin hal tersebut disebabkan karena Ohannes bukan pejabat atau pengusaha, melainkan fotografer.
Pada paruh kedua abad ke-19, pusat komunitas Armenia di Hindia Belanda secara bertahap mulai berpindah dari Batavia ke Surabaya. Kota ini menjadi pelabuhan penting bagi orang-orang Armenia, maka itu taipan macam Keluarga Sarkies bisa berbisnis di Surabaya.
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Irfan Teguh Pribadi