Menuju konten utama
Serial Sukarno

Kisah Peneleh, Kampungnya Raja Tanpa Mahkota

Sejarah Kampung Peneleh berkelindan dengan sejarah Singosari, Majapahit, Sunan Ampel hingga pergerakan nasional yang melibatkan tokoh seperti Tjokroaminoto dan Sukarno.

Kisah Peneleh, Kampungnya Raja Tanpa Mahkota
Ilustrasi Seri Sukarno di Paneleh. tirto.id/Lugas

tirto.id - Kampung Peneleh, atau Paneleh, adalah kampung kuno yang menyimpan berjuta kisah dan cerita sejarah. Di kampung ini, Sunan Ampel pernah singgah dan Sukarno pernah tinggal. Di kampung ini pulalah, sejarah Singosari dan Majapahit terekam dalam senyap.

Cerita Kampung Peneleh dan Sunan Ampel, atau Raden Rahmat, berawal dari perjalanan sang Sunan menuju tanah di daerah Ampel yang merupakan hadiah dari Raja Majapahit baginya. Untuk mencapai daerah perdikan itu, Raden Rahmat tidak melintasi jalan tanah. Ia memilih untuk melintasi Kali Mas dengan perahu. Laki-laki berdarah Champa ini sendiri tidak langsung ke Ampel. Dalam perjalanannya, dia menyinggahi sebuah kampung.

Waktu itu, kampung ini sudah didiami oleh beberapa orang-orang Islam. Namun, lebih banyak masyarakat di kampung itu yang percaya pada Hinduisme. Di kampung ini Raden Rahmat mencoba berbaur dengan para penghuni kampung dengan cara yang unik: Sabung ayam.

Dalam sabung ayam itu, ayam milik Raden Rahmat tak terkalahkan, sehingga banyak orang penasaran dengan ayam jagoannya itu. Dari sinilah, Raden Rahmat dapat terlibat dalam obrolan intens dengan banyak orang di kampung itu. Obrolan itu tentang Islam.

Kampung yang disinggahi Raden Rahmat itu adalah Kampung Peneleh.

Makin hari peserta obrolan bertambah banyak, dan mereka pun butuh tempat yang lebih besar untuk berkumpul dan salat lima waktu. Maka, didirikanlah sebuah masjid yang belakangan menjadi Masjid Jami’ Peneleh, demikian menurut tradisi lisan yang dituturkan Muhammad Sufyan, takmir Masjid Jami’ Paneleh, kepada Tirto.

Masjid Jami’ Peneleh memiliki bentuk mirip kapal. Meski berkali-kali renovasi, sepengakuan Sufyan, para pengurus masjid sejak dulu tak berani mengganti soko gurunya.

Raden Rahmat sendiri meneruskan perjalanannya ke Ampel, dan di kemudian hari dikenal sebagai Sunan Ampel.

Peneleh adalah pusat kelurahan, hingga kelurahan ini disebut kelurahan Peneleh. Selain dukuh Paneleh, ada Pandean dan Plampitan juga. Plampitan berada di sisi selatan dari Peneleh, sementara Pandean di utara Peneleh. Peneleh dan Pandean, dibelah oleh Jalan Makam Belanda.

Orang Terpilih

Nama Peneleh berasal dari kata penilih,yang artinya orang terpilih. Kampung Peneleh yang sudah ada sebelum Raden Rahmat datang ini, menurut Adrian Perkasa, sejarawan dan pengajar sejarah kuno Universitas Airlangga, bahkan diperkirakan telah berdiri sejak zaman kerajaan Singosari.

Dalam memoarnya, Masa Kecilku di Surabaya (2003:83), Ruslan Abdulgani, yang lahir dan besar di Plampitan, menyebutkan bahwa Raja Singosari Wisnuwardhana menyuruh anak tertuanya menjadi kanuruhan (penguasa) Glagah Aroem — antara Kali Mas Kali Pegirian — yang berpusat di Peneleh.

Lebih lanjut, keberadaan Sumur Jobong di Jalan Pandean Gang I — yang masih termasuk Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya — adalah penanda bahwa akan eksistensi kampung ini di zaman Majapahit. Sumur ini sendiri ditemukan tidak sengaja, ketika ada pengerjaan saluran air.

Sebagai catatan, sumur semacam ini banyak ditemukan di situs-situs di purbakala peninggalan Majapahit (abad 13-15 Masehi) di Trowulan. Sumur kuno ini kemudian ditutup dengan beton dan besi yang bisa dibuka atasnya. Di penutup besinya terdapat penanda: Jobong disusun secara bertumpuk, berfungsi untuk penahan dinding lubang sumur.

Di dalam Kampung Peneleh sendiri masih terdapat makam-makam tua. Salah satunya makam Nyi Cempo. Keberadaan makam-makam tersebut diperkirakan karena orang-orang di masa lalu punya kebiasaan memakamkan keluarga mereka di pekarangan rumah mereka masing-masing.

Kini, makam-makam itu ada yang letaknya berhimpitan dengan bangunan-bangunan rumah. Bahkan, ada patok makam di tempat parkir sepeda motor warga. Adakalanya, menurut Adrian Perkasa, makam-makam itu — yang kebanyakan makam Islam — diberi bunga oleh orang-orang Bali yang Hindu.

Di era kolonial, kasawan Peneleh selalu ada dalam peta-peta kota kolonial Belanda di Surabaya. Berhubung Surabaya hendak dikembangkan jadi kota, maka pemerintah kolonial membuka lahan untuk pemakaman. Tiap kota memang selalu butuh pemakaman umum.

Akhirnya, sisi timur Kampung Peneleh ini dijadikan lahan pemakaman umum bagi orang-orang Belanda, yang kemudian dikenal sebagai Makam Belanda. Kebanyakan orang yang dikubur adalah orang-orang Belanda beragama Kristen.

Di pemakaman sisi timur inilah bersemayam mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Merkus (1787-1844). Seorang fotografer berdarah Armenia yang memotret raja Jawa dan pengusaha studio foto di Tunjungan, Ohannes Kurkdjian (1851-1903) pun turut dimakamkan di sini. Menurut penjaga makam, banyak pula anak-anak yang dimakamkan di sana.

Infografik paneleh kampungnya orang pergerakan nasional

Infografik paneleh kampungnya orang pergerakan nasional

Kampung Pelbagai Etnis

Di masa kolonial, Kampung Peneleh, menurut Adrian Perkasa, menjadi solusi bagi kaum priyayi baru yang butuh pemukiman murah. Namun, Kampung Peneleh bukanlah kampung priyayi pribumi. Bermacam kelas dan etnis ada di sana. Entah pedagang atau kuli. Entah itu orang Jawa, Bali, Arab, maupun Tionghoa.

Soal kepercayaan, Kampung Peneleh kini tidak hanya terdapat orang-orang Islam saja. Setidaknya, di beberapa rumah, orang dapat dengan mudah dapat menemukan perangkat upacara ala Hindu Bali di bagian depannya.

Kondisi ini rupanya berkaitan dengan sejarah kampung ini. Di masa lalu, "Peneleh ini bukan kampung yang pribumi thok (saja). Dari awal memang urban sebenarnya," tutur Adrian kepada Tirto. Kampung ini, lanjutnya, cukup bhinneka.

Satu diantara kaum priyayi yang pernah tinggal di sini adalah pimpinan Sarekat Islam, Tjokroaminoto. Rumahnya hingga kini masih berdiri, dan telah menjadi sebuah museum yang terletak di Penelah Gang VII nomor 29-31.

Selain Tjokroaminoto, ada pula Sukarno. Keberadaan orang pergerakan nasional macam Tjokroaminoto dan Sukarno, membuat kampung ini bersentuhan orang-orang pergerakan. Entah itu golongan kiri macam Semaun atau yang kanan kolot seperti Haji Agus Salim.

Setelah Tjokroaminoto si Raja Jawa Tanpa Mahkota itu tidak tinggal di Peneleh lagi, kampung ini tetap punya hubungan dengan orang-orang pergerakan nasional lainnya. Beberapa di antaranya adalah Ruslan Abdulgani serta kolega Sutan Sjahrir, seperti Djohan Sjahroezah yang pernah tinggal di Plampitan.

Menurut keluarga keponakan Ruslan, disebelah kanan rumah kelahiran Ruslan, yakni di Plampitan Gang VIII, terdapat rumah seorang penjahit terkenal bernama Ahmad Jaiz. Ruslan sendiri mengatakan bahwa Ahmad Jaiz merupakan orang terpandang juga di Kampung Peneleh.

Berdasarkan keterangan keluarga Ruslan, Ahmad Jaiz adalah langganan orang-orang Belanda untuk urusan menjahit pakaian. Di sekitar rumah mereka itu memang dulu banyak orang-orang Belanda tinggal. Kini, nama Ahmad Jaiz sudah menjadi nama jalan beraspal di tepi Kali Mas yang melintasi Plampitan hingga Peneleh.

Baca juga artikel terkait KAMPUNG PENELEH atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara