Menuju konten utama

Keluarga Sarkies, Taipan Hotel-Hotel Mewah dari Armenia

Keluarga Sarkies memiliki jaringan hotel di Malaysia, Singapura, Myanmar, dan Indonesia pada abad ke-19 dan awal abad ke-20

Keluarga Sarkies, Taipan Hotel-Hotel Mewah dari Armenia
Sarkies Brothers (dari kiri), Aviet, Arshak, Martin (duduk) dan Tigran adalah pendiri Raffles Hotel. Inilah portrait empat saudara Armenia yang juga mendirikan Hotel Oranje Surabaya dan Hotel Kartika, Batu, Malang. Foto ini diambil sekitar tahun 1905. FOTO/Dok.RAFFLES HOTEL

tirto.id - Bangsa Armenia punya tradisi berdagang yang kuat. Mereka tak segan untuk merantau jauh dari tanah air, termasuk ke Indonesia.

E.H Ellis, seorang Armenia yang tinggal dan wafat di Indonesia, memperkirakan bahwa bangsanya datang ke Indonesia sekitar pertengahan abad ke-17.

Orang-orang Armenia yang sampai di Indonesia diperkirakan berasal dari Amsterdam. Mereka masuk ke kota itu dan mulai berdagang pada abad ke-16. Catatan East Indian Company (EIC) berjudul “Reila” yang dikutip Ellis, mengatakan bahwa seorang Armenia bernama Codja Solima sudah berada di Makassar pada 1656.

Sejumlah perusahaan milik orang Armenia berkantor di Hindia Belanda. Di Makassar ada Michael, Stephens & Co yang didirikan pada 1870-an oleh Minas Stephens dan John Marcar Michaels. Perusahaan yang bergerak di bidang tembakau ini juga punya cabang di kota lain seperti Singaraja (Bali) dan Ampenan (Lombok).

Ada pula Zorab, Mesrope & Co yang didirikan Martyrose Mackertich Zorab dan James Aviet Mesrope di Surabaya pada 1884. Perusahaan besar yang bergerak di bidang perkebunan gula dan tapioka ini bermarkas di Buleleng, Bali.

Dari pelbagai aktivitas niaga orang Armenia di Hindia Belanda, barangkali salah satu peninggalan bangunan yang masih difungsikan sebagaimana tujuan awalnya adalah penginapan yang kini bernama Hotel Majapahit. Berlokasi di Jalan Tunjungan No. 65, Surabaya, hotel tersebut didirikan pada 1910 oleh Lucas Martin Sarkies, seorang Armenia kelahiran Teheran, 1876.

Bangunan hotel ini adalah saksi bisu peristiwa-peristiwa penting selama Revolusi 1945-1949. Ketika Jepang mendarat pada 1942, bangunan itu disulap jadi Hotel Yamato yang dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai tempat insiden perobekan bendera Belanda menjadi merah putih oleh pemuda Surabaya. Peristiwa 10 November 1945 turut mengubah nama bangunan ini menjadi Hotel Merdeka.

Hotel ini kelak sering berubah nama seiring pemilik baru datang silih berganti. Pada 1946, namanya ganti lagi jadi Hotel L.M.S, merujuk pada pendirinya Lucas Martin Sarkies. Saat itu keluarga Sarkies kembali menguasai bangunan tersebut.

Pergantian nama kembali terjadi pada 1969 (Hotel Majapahit) ketika hak milik pindah ke tangan Mantrust Holding Co. Pada 1996, kepemilikan beralih ke grup Mandarin Oriental yang menyulapnya jadi Hotel Mandarin Oriental (1996). Plang Hotel Majapahit kembali dipasang pada 2006 sejak bangunan itu dimiliki oleh grup CCM hingga hari ini.

Jejak keluarga Sarkies juga hadir di Kota Batu, Malang. Pada 1891, mereka mendirikan kompleks rumah peristirahatan bergaya Art Deco di Jalan Panglima Sudirman. Kini bangunan tersebut difungsikan sebagai penginapan, Hotel Kartika Wijaya.

Kompleks bangunan ini pun beberapa kali beralih fungsi, dari kantor, rumah sakit dan tangsi serdadu pada era kolonial, gudang senjata zaman Jepang, hingga dapur umum TNI.

infografik the sarkies

Sarkies Bersaudara Pengusaha Hotel

Lucas Martin Sarkies yang mendirikan Hotel Oranje di Surabaya adalah putra Martin Sarkies. Baik Martin, Tigran, Aviet dan Arshak adalah Sarkies bersaudara yang telah sukses dikenal sebagai pionir bisnis perhotelan mewah di Asia Tenggara di zamannya. Mereka semua adalah orang Armenia yang mulanya tinggal di Isfahan, Persia.

Pada 1880-an empat serangkai Sarkies memperkenalkan kombinasi gaya arsitektur Asia-Eropa yang kala itu masih asing di kawasan Asia Tenggara. Seperti yang dirangkum The Famous Hotels, keluarga besar Sarkies termasuk gelombang pertama orang Armenia yang migrasi karena faktor ekonomi.

Bisnis hotel Sarkies berbasis di Malaysia, Singapura, dan Myanmar. Kehadirannya di kawasan Asia Tenggara membawa kebaruan dalam pengelolaan hotel. Koneksi keluarga Sarkies ke Persia mendatangkan kaviar, makanan mewah dari telur ikan di Laut Kaspia yang lantas menjadi salah satu menu andalan di hotel-hotel mereka.

Di Penang, Malaysia, keluarga Sarkies membangun Eastern & Oriental Hotel pada 1884. The Crag, sebuah rumah di bukit Penang, disewa Sarkies bersaudara pada 1895 dan difungsikan sebagai Hotel Crag. Di Singapura, keluarga Sarkies membangun Raffles Hotel yang bergaya neo-Renaissance pada 1887.

Sementara di Yangoon, Myanmar, keluarga Sarkies mengakuisisi The Strand, sebuah hotel bergaya Victorian yang dibangun pada 1901 oleh seorang pengusaha Inggris.

Seperti halnya Hotel Majapahit di Surabaya, semua penginapan peninggalan Sarkies bersaudara masih berfungsi sebagai hotel hingga detik ini. Hanya Hotel Crag saja yang kini tak lagi dipakai sebagai hunian sewa.

Kota-kota yang dipilih oleh keluarga Sarkies untuk mendirikan hotel adalah daerah strategis yang ramai lalu lintas perdagangan dan aktivitas masyarakat modern.

Selain empat serangkai Sarkies yang dikenal merintis bisnis perhotelan mewah di Asia Tenggara, klan Sarkies lainnya juga punya usaha selain perhotelan. John Sarkies dan keluarganya misalnya, jadi pedagang mapan di Kalkuta, India, pada awal abad ke-19.

Ketika Stamford Raffles mencapai Pulau Singapura, keluarga Sarkies yang lain turut berlayar untuk mengadu nasib di tanah baru itu. Dua pertiga dari seluruh rumah dagang yang dibuka di Singapura jatuh ke tangan Aristarchus dan Aratoon Sarkies. Sementara Sarkies lainnya, C. Johannes Shahnazar, pindah ke Batavia dan mendirikan perusahaan Edgar & Co yang juga ada di Surabaya dan Singapura.

Posisi Armenia yang sejak tahun 1600-an terjepit di antara dua kekuasaan besar dan paling berpengaruh, dinasti Safawiyah di Persia dan Kekhalifahan Utsmaniyah di Turki, menjadi salah satu faktor pendorong eksodus warganya ke seluruh penjuru dunia. Situasi politik yang kacau memaksa mereka bertahan hidup dengan merantau.

Namun demikian, di luar perdagangan, sulit melacak kesejarahan dan aspek-aspek kultural diaspora Armenia di Hindia Belanda. Pasalnya, sedikit sekali catatan tertulis yang ditinggalkan orang-orang Armenia di Indonesia.

Selain sebagai pedagang, mereka juga mendirikan gereja komunitas. Baik dalam kehidupan gerejawi maupun dalam sikapnya di dalam masyarakat, Gereja Armenia cenderung berorientasi ke internal komunitas. Semua imamnya berasal dari Persia.

Dalam artikel “Orang Kristen Armenia Suatu Minoritas Kecil di Indonesia yang Sudah Punah” (2013), Alle G. Hoekema mengatakan bahwa sikap menutup diri di kalangan diaspora Armenia adalah kelemahan besar. Dalam rentang masa kolonial, orang-orang Armenia mendapat kedudukan yang setara dengan orang Belanda. Ketika Jepang berkuasa di Indonesia, tak sedikit di antara mereka yang ikut terbunuh.

Baca juga artikel terkait DIASPORA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Bisnis
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf