tirto.id - Melihat para personel Brigade Mobil dari Kepolisian Indonesia mendekatinya, Markus Ali segera menutupi tubuh kekasihnya dengan jaket. Polisi-polisi itu meminta Markus dan empat rekannya menunjukkan identitas di KTP. Markus menyerahkan salinan KTP. Di situ tertulis dia lahir di Kediri, 30 tahun lalu.
Markus berkata kepada polisi bahwa Alsa, kekasihnya yang berusia 41 tahun itu, “tidak enak badan” sehingga tubuhnya diselimuti jaket. Tak ada yang disembunyikan. Mereka tengah berada di area parkir di Jalan Kampung Bali, Tanah Abang, menjelang tengah malam Rabu, 22 Mei 2019.
Di situ ada tasong—sebutan dari Markus dan rekan-rekannya untuk sebuah gubuk seukuran 2x2 meter persegi di kantong parkir perusahaan swasta. Di situ juga menjadi area parkir Holiday Inn Express Jakarta. Tempatnya sekitar 300 meter dari Gedung Bawaslu, area ricuh antara massa dan polisi setelah KPU mengumumkan hasil Pilpres 2019 dimenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin.
Maka, ketika polisi-polisi itu berkata apakah ada demonstran yang memasuki tasong, mereka menjawab tak ada.
Markus menempati tasong sejak kamar indekosnya di daerah Tanah Abang terbakar. Ijazah STM jurusan mesin miliknya dilumat api. Sembilan tahun lalu, pria ini merantau ke Jakarta. Ia sehari-sehari bekerja sebagai tukang parkir di kawasan Gedung Sarinah dan buruh angkut percetakan.
Di antara empat rekannya ada Andriyansyah alias Andri Bibir, yang menjadi pemandu wisatake Bali dan Lombok. Malam itu Andri baru pulang dari Lombok dan nongkrong di tasong.
Betapapun jarak lokasi mereka dari pusat massa di Bawaslu cuma 3 menit berjalan kaki, mereka tak menyangka bakal terjadi bentrok. Kericuhan itu, bagaimanapun, menghalangi mereka bebas bergerak. Polisi-polisi melakukan penyisiran. Setiap mulut gang diblokade. Alsa, kekasih Markus, tertunda pulang ke rumahnya di daerah Jakarta Timur.
Polisi menutup gerbang parkir dan halaman depan Verse Luxe Hotel. Polisi-polisi bersiaga. Berulangkali mereka mendengar teriakan orang yang ditangkap polisi. Penasaran, salah satu dari mereka menjulurkan kepala dari gerbang parkir. Polisi segera meneriakinya dan memintanya menyingkir.
Setelahnya, mereka ketakutan melihat situasi apa pun di luar lahan parkir. Ada suara teriakan. Ada suara ledakan entah dari petasan, gas air mata, atau tembakan. Ada kecemasan dalam diri mereka.
Sekitar pukul 03.30, Markus memberanikan diri berkata ke personel polisi terdekat agar Alsa diizinkan melintas ke arah Jakarta Timur untuk pulang. Gerbang area parkir bisa dibuka.
“Akhirnya saya pulang,” kata Alsa, lega. “Dia [Markus] yang ambilin motor, motor didorongin.”
Siang harinya, saat Alsa berangkat kerja, Markus mengabarkan masih di areal parkir. Warung di sekitar tutup. Ia bilang ia kesulitan mencari makan.
Sekitar pukul 21.30, Markus menelepon Alsa, mengajaknya menonton demonstrasi. Alsa menolak.
“Mau ke sini enggak?”
“Ih…, sekarang lebih ramai lagi. Enggak. Kapok. Enggak mau.”
Alsa sesungguhnya khawatir, lebih-lebih mendengar Markus bercerita matanya perih. Demi memukul mundur pendemo, polisi berulangkali menembakkan gas air mata, yang asapnya terbawa angin hingga ke lokasi Markus berada.
Alsa meminta Markus meloncati tembok area parkir. Lalu mencari angkot. Nanti di tempat yang tak ada kerumunan pendemo, ujarnya, ia akan menjemput Markus.
Namun, Markus mengabarkan susah mencari jalan keluar. Semua jalan bahkan jalan tikus diblokade Brimob. Jika pergi sendiri menuruti anjuran Alsa, ujar Markus, belum tentu nasibnya mujur. Salah-salah ia bisa saja jadi korban salah tangkap polisi.
Maka, Markus terpaksa tidur di lokasi parkir bersama empat rekannya, termasuk dengan Andri Bibir. Ia dan Alsa masih saling mengabarkan. Pasangan kekasih ini masih saling menelepon. Markus berkata ia lelah. Sebelum tidur, ia mengolesi kantong matanya dengan pasta gigi. Ia mengira dengan begitu matanya bisa menahan perih dari gas air mata.
Alsa tak mengira ini adalah awal dari perjalanan berliku mencari Markus.
Mencari Markus
Dari tempat tidur, setelah terjaga, Alsa mencari-cari ponselnya. Ada dua panggilan tak terjawab dari Markus. Alsa seketika mengontak Markus, sekitar pukul 03.30 pada 23 Mei 2019.
“Halo!” kata Alsa.
“Di mana? Di mana?”
“Apaan sih enggak mau angkat telepon? Ya sudah kalau enggak mau.”
Alsa berusaha terus menelepon. Ada nada sambung, tapi telepon tak diangkat. Sekitar pukul 5.30, nomor telepon Markus tak bisa dihubungi lagi.
Pada pukul 12.00, membawa kabar Markus ditangkap polisi, Alsa bergegas menuju Kampung Bali dari Jakarta Timur. Namun, ia hanya melihat bercak darah yang memercik ke tiang besi.
Segalanya berbeda. Ada perasaan getir. Alsa enggan makan. Markus, pria yang terpaut 11 tahun darinya, adalah satu-satunya orang terdekat dan dianggap keluarga. Jika ia membutuhkan uang, “Dia nepok celengan untuk dikasih ke saya.”
Esok harinya, Alsa memberanikan diri mendatangi Polda Metro Jaya. Ia bertanya ke sana-kemari bahkan ke beberapa divisi, dari reserse kriminal umum hingga reserse Brimob.
Rekan-rekannya berspekulasi, jika tidak ditahan, kemungkinan sekali Markus berada di Rumah Sakit Polri di bilangan Kramat Jati, Jakarta Timur.
Meski begitu, Alsa belum siap melihat kondisi kekasihnya.
“Belum berani,” ujarnya.
Empat hari setelahnya, 28 Mei 2019, Alsa ke RS Polri. Didampingi salah satu anggota KontraS, organisasi hak asasi manusia yang menyelidiki korban kekerasan polisi dalam aksi di Bawaslu, Alsa bertanya ke petugas informasi dan humas. Petugas itu memintanya ke ruang IGD dan menyuruhnya menunggu. Lalu, Alsa disodori buku besar. Di bagian teratas lembaran buku itu tertulis “Korban Bawaslu”.
Di lembaran ketiga, urutan ke-53, Alsa menemukan nama Markus. Umur Markus yang seharusnya 30 tahun di situ ditulis 26 tahun. Kolom alamatnya akurat, bahkan sampai nama dusun kelahiran Markus di Kediri.
“Posisi ruangan itu yang bikin saya shock,” ujar Alsa. “Di ICU.”
Saat memasuki ruangan pelayanan khusus itu Alsa meluapkan pertanyaan ke perawat di mana ranjang Markus. Perawat itu menunjuk ke arah Markus. Tangis Alsa pecah.
Ia hanya selintas melihat Markus terbaring di kasur. Ada selang infus dan kateter menempel di tubuh kekasihnya. Rambutnya botak—tanda yang diingat Alsa mengingat rambut Markus masih utuh sebelum mereka berpisah di Kampung Bali, 6 hari lalu.
Seorang polisi yang menjaga Markus membawa Alsa ke luar ruangan. Polisi itu melarangnya berlama-lama dengan Markus. Polisi itu menjelaskan, untuk membesuk Markus, ia harus mendapatkan izin dari Polda Metro Jaya. Alsa diminta meninggalkan nomor ponsel dan dipersilakan pulang. Seorang pendampingnya pun diminta polisi untuk pulang.
Cara Polisi: Menampilkan Andri Bibir dalam Jumpa Pers
Sebulan lalu, penyiksaan di areal parkir di Kampung Bali itu—tempat Markus dan Andriyansyah alias Andri Bibir berada—beredar luas di media sosial, dibumbui spekulasi dan pelintiran.
Video itu direkam dari lahan parkir mobil di lantai 5B, area 15, Gedung Menara Thamrin. Area parkir di bawahnya, yang jadi lokasi penyiksaan tempat kerja Markus, diblokade polisi-polisi sehingga sangat susah mengetahui apa yang terjadi jika kita tidak melihatnya dari tempat lebih tinggi.
Video berdurasi 1:34 menit itu, yang kemudian diverifikasi oleh Amnesty International Indonesia, menggambarkan sekitar 11 polisi berseragam serba hitam—identik dengan kesatuan Brimob—memakai helm, tameng, dan rompi antipeluru, bersenjata laras panjang dan pentungan, secara bergantian menyiksa satu orang berbadan kerempeng.
Pria itu ditendang di bagian dada, kepalanya dipopor senjata, diinjak sepatu laras, pinggangnya dilempari batu.
“Woy…, anak kecil banget. Mati itu,” terdengar suara dari perekam video, kemungkinan lebih dari satu orang.
Akun-akun media sosial, dari yang pakai nama asli sampai anonim, terutama dari pendukung Prabowo Subianto, menyebarkan video penyiksaan tersebut sejak 23 Mei, menuding yang disiksa itu bernama Harun, korban tewas yang belum teridentifikasi saat itu dari daftar 8 orang meninggal dalam aksi Bawaslu.
Masalahnya, Harun Al Rasyid, remaja 15 tahun, belakangan diketahui sebagai korban tewas akibat luka tembak di kawasan ricuh Slipi, Jakarta Barat, bukan disiksa di lahan parkir Kampung Bali.
Demi menjernihkan video penyiksaan itu, pada 24 Mei, polisi menggelar jumpa pers di kantor Kementerian Polhukam. Dan guna menepis orang yang “dianiaya” itu masih hidup, polisi menampilkan Andri Bibir di depan wartawan.
“Saya sakit hati dan membantu supaya pendemo semakin lebih mudah mendapatkan batu," ujar Andri.
Polisi juga menetapkan 11 tersangka pertama untuk kasus “kerusuhan” 21-23 Mei 2019. Di antaranya ada nama Markus, yang dituding polisi sebagai pelempar batu, botol kaca, dan bambu ke arah polisi.
Masalahnya, ada prosedur yang sangat mungkin diabaikan oleh polisi dalam menetapkan tersangka itu. Dalam kasus Markus, ia masih pingsan di ruang ICU RS Polri. Selain Markus, ada tujuh tersangka lain yang kemungkinan besar masih dirawat di rumah sakit itu.
Polisi menggelar jumpa pers demi tujuan utama: melawan hoaks di media sosial yang disebarkan oleh akun-akun pendukung Prabowo, termasuk yang dicuitkan Mustofa Nahrawardaya, yang memelintir informasi bahwa orang yang disiksa itu bernama Harun.
Dua hari setelahnya, pada dini hari Minggu, polisi menangkap Mustofa di rumahnya karena telah menyebarkan kabar bohong. Ia segera dibawa ke dalam tahanan Bareskrim Mabes Polri.
Blokade Informasi di RS Polri
Di Ruang ICU Rumah Sakit Polri, Markus meringkuk di ranjang kedua dekat meja resepsionis. Ia tidur miring ke sebelah kanan. Ia memakai baju pasien berwarna cokelat dan berselimut. Tidak terlihat luka atau perban pada tempurung kepala. Dari kaca pintu masuk, kasur Markus tidak terlihat, posisinya menjorok ke sebelah kiri, dihalangi tembok.
Saya datang ke rumah sakit itu pada Jumat, 14 Juni 2019. Saat saya mengeluarkan ponsel, perawat mengingatkan saya agar jangan memotret. Kata perawat itu: Kondisi Markus sudah sadar, tetapi dilarang menyampaikan ke pembesuk mengenai gejala atau keluhan medis.
“Waduh,” ujar perawat itu, “saya enggak boleh menjelaskan. “Anda tunggu saja di luar.”
Perawat itu berkata Markus dalam pengawasan Polda Metro Jaya. Saat saya meminta nomor ponsel polisi yang menjaga Markus, perawat itu juga tak mengizinkan. Saya meninggalkan nomor ponsel dan perawat itu berjanji akan mempertemukan saya dengan polisi. Sampai kini saya tak pernah dihubungi oleh si perawat itu.
“[Koban Bawaslu] yang lain sudah pindah ruangan,” kata si perawat perempuan itu. “Tempat lain di luar ICU.”
Alsa, kekasih Markus, juga dilarang berinteraksi dengan Markus, hanya diizinkan di depan meja resepsionis.
Di hari berbeda, saat saya mengaku sebagai wartawan dan meminta data pasien “korban Bawaslu,” seorang pegawai bagian humas RS Polri berkata, “Kata Ibu [AKBP] Sari Jiwanti [kepala instalasi humas RS Polri], belum ada datanya. Belum bisa ngasih.”
Pada hari lain, rekan saya yang mendatangi RS Polri sebagai pembesuk biasa—tidak mengaku sebagai wartawan—secara beruntung menemui salah satu “korban Bawaslu” yang lain bernama Abdul Hakim.
Melamun di kursi, wajahnya mendongak ke langit-langit kamar pasien, dan kakinya kotor seakan seharian berjalan di trotoar tanpa sandal, Hakim berkata ia berasal dari Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, dan bersama seorang rekannya terbang dengan pesawat komersial ke Jakarta, lalu menuju Masjid Al-Islah di seberang Sekretariat Dewan Pimpinan Pusat FPI di Petamburan, Tanah Abang.
“Tangan kanan patah tulang,” kata Hakim. “Mungkin kena batu besar.” Hakim mengangkat baju hingga bagian perut, dan terlihat luka sayat sepanjang satu jengkal tangan. Luka itu sudah dijahit dan ditutupi perban.
Ia berkata ia tidak tahu ulah siapa yang bikin luka di tubuhnya. Ia pingsan saat peristiwa itu. Tasnya berisi ponsel, uang, dan identitasnya raib. Hakim kesulitan menghubungi keluarganya.
“Yang di ICU itu orang mana? Laskar [FPI] atau simpatisan?” Hakim menanyakan pasien bernama Markus. Kami menjawab bukan keduanya. Ia mendoakan agar Markus lekas pulih.
Markus Ingin Pulang
Pada Senin pagi, 17 Juni 2019, dengan rambut dikuncir, Alsa untuk pertama kali bisa bicara dengan Markus, nyaris sebulan sejak mereka bertemu.
Ia merinding ketika Markus berkata “ingin pulang.”
“Tangannya dingin,” kata Alsa.
“Iya, dia duduk sebentar saja sudah berkeringat,” balas Taufan Damanik, saat itu mendampinginya, dari Komnas HAM.
Kepala RS Polri Brigjen Musyafak berkata kepada Damanik bahwa Markus punya penyakit dalam pankreas dan hepatitis C.
“Itu penyakit bawaan atau apa?” tanya Damanik.
“Penyakit bawaan,” ujar Musyafak.
Pada hari itu luka benturan di tubuh Markus nyaris sembuh.
Hingga kini, Alsa terus mendampingi Markus. Kabar terakhir, mereka mendatangi dua rumah sakit yang berbeda. Alsa ngotot menuntut keadilan bagi Markus.
Polisi Diduga Melanggar HAM
Amnesty Internasional Indonesia menyebut personel Brimob telah melakukan penyiksaan terhadap lima orang di area parkir di Kampung Bali. Saat itu para anggota Brimob melakukan penyisiran secara brutal dan melakukan tindakan buruk lainnya, menurut Amnesty.
"Negara harus membawa anggota Brimob yang melakukan penyiksaan tersebut ke pengadilan untuk diadili," kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid.
Temuan lain dari Amnesty: polisi melakukan penahanan sewenang-wenang, mengisolasi orang-orang yang dituduh tersangka, tanpa memberikan akses ke keluarga maupun pengacara.
"Mereka yang diduga terlibat, termasuk mereka yang memiliki tanggung jawab komando, harus dituntut dengan prosedur yang sesuai standar keadilan internasional," ujar Usman.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo sendiri mengakui Brimob memukuli warga di area parkir di Kampung Bali.
Polisi, kata Brigjen Dedi, telah menurunkan personel dari profesi dan pengamanan (Propam) untuk menindak anggotanya yang menyalahi prosedur.
Meski begitu, nyaris sebulan berlalu, saat kami bertanya kepada Brigjen Dedi soal bagaimana proses evaluasi internal atas kejadian di Kampung Bali, Dedi enggan menjelaskan.
“Nanti dulu, nanti dulu,” katanya dalam bahasa Jawa pada 27 Juni lalu.
Dia cuma memastikan bahwa peristiwa di Kampung Bali sudah didalami tim investigasi Polri. Dan penjelasannya menunggu jadwal rilis yang ditetapkan polisi.
Betapapun begitu, sampai kini, di lokasi penyiksaan itu tak ada garis polisi—yang bisa bikin publik ragu atas kesungguhan Korps Bhayangkara mengusut kasus ini. Tanpa garis polisi, dan penyelidikan secepatnya, bercak darah di beberapa titik di lokasi penyiksaan itu tersapu waktu. Bisa-bisa yang muncul di ingatan publik: kekerasan ini adalah hoaks belaka.
Penyiksaan di Tasong
Pada 31 Mei 2019, saya mendatangi area parkir tempat Markus terakhir kali terlihat. Dua rekannya menunjukkan bercak darah menempel di batako. Darah itu diduga dari salah satu orang yang disiksa secara berantai oleh sejumlah anggota Brimob. Kepala orang itu diinjak dengan sepatu laras panjang pada Kamis, 23 Mei 2019.
Saya ditunjukkan tempat tidur Markus di bawah pohon di sebelah kanan Masjid Al-Huda. Saya juga dituntun ke tempat tidur Andri Bibir di bagian belakang di lokasi parkir berlapis semen. Di samping masjid terlihat pagar rusak.
Rekan Markus menunjuk tiang besi bersaput hitam dan kuning. Tingginya sekitar satu meter.
“Kepalanya dipentokin di situ,” katanya.
Di pangkal besi pintu parkir otomatis itu, ada bercak darah sepanjang 10 sentimeter. Diduga darah itu dari luka bocor yang mengucur dari kepala Markus.
Apa yang terjadi pada 23 Mei itu dua polisi memasuki sela pagar samping kanan gerbang smart service parking. Sebagian polisi lain meminta gerbang dibuka. Seorang yang membantu membuka pagar langsung diseret keluar.
Orang kedua dalam area parkir itu kaget. Ia segera memasuki ruangan kecil serupa rumah di area parkir. Polisi mengejarnya. Di dalam rumah itu, polisi melihat orang ketiga, seorang atasan penjaga parkir yang terbangun dari tidur. Orang kedua dan ketiga itu dipukuli.
Markus dan Andri Bibir, yang terkejut dari tidurnya, mendengar teriakan dan dentuman benda keras. Mereka lantas dipukul dengan tangan kosong, diinjak, dipopor senjata laras panjang, digebuki pakai pentungan, hingga diseret oleh anggota-anggota Brimob.
Dua rekan Markus, yang semula menjauh dari area parkir untuk mencari warung makan, melihat peristiwa itu. Mereka menyebut ada sekitar sebelas polisi di lokasi penyiksaan.
Saat kejadian itu, ponsel Markus berdering. Di daerah Jakarta Timur, Alsa tengah menghubunginya. Sementara Markus digebuki. Ponsel Markus dibanting. Dari foto yang saya dapatkan, layar ponsel Markus retak menjalar. Alsa kesal, tetapi dia tidak tahu bahwa kekasihnya tengah jadi bulan-bulanan polisi.
Kelima orang di areal parkir itu lantas diseret dan dikumpulkan di depan Gedung Bawaslu. Aparat Brimob memukuli mereka secara bergantian. Lalu, memasukkan mereka ke sebuah mobil. Penyiksaan masih terus dilakukan di dalam mobil hingga sampai di Polda.
Markus tergeletak di dalam mobil.
=========
Laporan ini adalah kolaborasi antara Tirto.id dan Jaring.id. Reporter dari Tirto dalam proyek ini adalah Dieqy Hasbi Widhana dan Mawa Kresna. Wan Ulfa Nur Zuhra dari Tirto terlibat dalam visualisasi data. Dari Jaring.id: Abdus Somad dan Debora Blandina Sinambela. Materi laporan telah diperiksa oleh Fahri Salam (Tirto) serta Damar Fery Ardiyan dan Kholikul Alim (Jaring.id).
Sila baca laporan dari Jaring.id:
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam