tirto.id - Publik menilai kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak memuaskan, menurut survei Litbang Kompas terbaru. Kinerja lembaga antirasuah ini kembali disorot sejak berada di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.
Dalam hasil Survei Litbang Kompas pada 22-24 Februari 2022 dengan 506 responden di 34 provinsi, sekitar 48,2 persen masyarakat tidak puas dengan kinerja KPK. Angka kepuasan pun berada pada angka 43,7 persen.
Menurut survei tersebut, 34,3 persen responden menilai kinerja Dewan Pengawas KPK tidak optimal. Selain itu, alasan kinerja tidak puas adalah penurunan jumlah operasi tangkap tangan (OTT) 26,7 persen, terlalu banyak kontroversi 18,7 persen, citra pimpinan KPK 11,1 persen, dan tidak transparan 5,2 persen. Kinerja KPK menurun 3,3 persen, KPK juga dinilai tidak independen di angka 0,4 persen dan efek tes wawasan kebangsaan 0,3 persen.
Hasil survei penurunan kinerja KPK yang ditemukan Survei Litbang Kompas bukan lah yang pertama. Dalam catatan yang dihimpun, beragam lembaga survei sudah menyatakan kinerja KPK melorot. Rilis hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 5 Desember 2021, misalnya, mencatat KPK tidak lagi penegak hukum dengan kinerja terbaik.
"Polisi sekarang sudah menjadi lembaga penegak hukum paling dipercaya publik, bukan lagi KPK," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam rilisnya.
Angka kepercayaan KPK dalam rilis tersebut adalah 12 persen sangat dipercaya, 59 persen cukup dipercaya, 21 persen sedikit percaya dan 6 persen tidak dipercaya. Angka ini kalah dengan kepolisian yakni 16 persen sangat dipercaya, 64 persen cukup dipercaya, 17 persen sedikit percaya dan 2 persen tidak dipercaya atau Mahkamah Agung dengan angka 12 persen sangat dipercaya, 67 persen cukup dipercaya, 14 persen sedikit percaya dan 2 persen tidak dipercaya.
Selain Indikator, Lembaga Survei Indonesia juga mencatat angka ketidakpuasan yang tinggi terhadap lembaga antirasuah, sebagaimana diberitakan Antara. Sekitar 51 persen responden pada Desember 2020-Januari 2021 menyatakan tidak puas dengan kinerja KPK. Sebelumnya, angka tidak puas hanya 38,8 persen dalam hasil survei November-Desember 2020.
Publik Kecewa dengan Kinerja KPK
Peneliti PUKAT UGM Zaenur Rohman menilai hasil survei Kompas adalah bukti publik kecewa dengan kinerja KPK saat ini.
"Survei Litbang Kompas menunjukkan persepsi publik sangat buruk melihat KPK. Artinya, masyarakat kecewa melihat kinerja KPK saat ini. Padahal dahulu KPK merupakan salah satu lembaga paling dipercaya masyarakat," kata Zaenur kepada Tirto, Senin (21/3/2022).
Zaenur memandang ada sejumlah faktor yang membuat kinerja KPK buruk. Pertama, konfigurasi pimpinan KPK yang sudah mendapat penolakan dari aktivis antikorupsi karena banyak catatan pelanggaran etik. Namun, Jokowi tetap melantik mereka.
"Kedua, adanya banyak pelanggaran etik di KPK. Sebagai lembaga yang mengampanyekan integritas, KPK justru dirundung banyak pelanggaran etik oleh para pimpinan KPK. Bahkan seorang pimpinan KPK berkomunikasi dengan pihak berperkara. Ini merupakan pelanggaran sangat serius yang seharusnya berujung pemecatan," tegas Zaenur.
Ketiga, publik melihat kinerja KPK tidak mengungkap kasus strategis dalam pemberantasan korupsi. Lembaga di bawah kepemimpinan Firli tidak membongkar kasus besar dengan kerugian triliunan. Kemudian, KPK tidak lagi menjerat penegak hukum kotor di level atas.
Ia pun menyindir kinerja KPK yang gagal menangkap buronan Harun Masiku. "Bahkan buron penting seperti Harun Masiku tidak kunjung ditangkap KPK. Perlu diingat, Harun Masiku penting untuk mengungkap pelaku lain terkait partai politik," kata Zaenur.
Keempat, publik kecewa dengan kinerja Dewas KPK. Meski diisi nama-nama besar, kinerja Dewas sangat buruk. Ia mencontohkan bagaimana Dewas memutus hukuman Lili Pintauli sangat rendah dalam kasus berhubungan dengan pihak berperkara di KPK.
Ia pun tidak bisa berbicara banyak dan menaruh optimisme KPK akan memperbaiki kinerja. Ia beralasan masalah ada di pimpinan sementara pimpinan sulit berubah.
"Saya tidak banyak berharap ada perubahan di dalam KPK. Kecil kemungkinan pimpinan KPK mau berubah. Satu-satunya harapan saya adalah tahun depan mereka tidak lagi terpilih menjadi pimpinan KPK," kata Zaenur.
Bagaimana Nasib Pemberantasan Korupsi ke Depan?
Pandangan kinerja buruk KPK adalah hal yang diprediksi juga disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Menurut Kurnia, angka persepsi buruk sudah diduga karena kondisi KPK saat ini mengecewakan.
"ICW tentu tidak lagi kaget mendengar dan membaca hasil jejak pendapat Litbang Kompas terkait tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja KPK. Sebab, kondisi lembaga antirasuah itu benar-benar berada di ujung tanduk, bahkan besar kemungkinan telah terjerumus ke arah yang keliru. Semua ini tak lain merupakan buah atas kinerja buruk seluruh Komisioner KPK dan anggota Dewan Pengawas," kata Kurnia.
ICW beranggapan, kritik yang selama ini disampaikan oleh masyarakat perihal kerja pemberantasan korupsi KPK dihiraukan begitu saja oleh pimpinan. Ia mengatakan, hampir setiap kejadian yang menyita perhatian publik berkaitan dengan kerja KPK selalu diberi masukan oleh sejumlah kalangan. Namun, impinan KPK malah larut akan tindakan kontroversinya daripada menindaklanjuti kritik tersebut.
"Berangkat dari kejadian tersebut, ICW berkesimpulan bahwa sedari awal pimpinan KPK yang memang menginginkan kondisi lembaga antirasuah itu lemah dan dijauhi oleh masyarakat," kata Kurnia.
ICW menilai, persepsi masyarakat terhadap KPK pada periode Firli Bahuri ini sudah sangat sulit untuk diselesaikan. Ia mencontohkan, bagaimana mungkin masyarakat akan percaya dengan kerja KPK jika dua pimpinannya saja sudah terbukti melanggar kode etik?
Oleh karena itu, upaya satu-satunya adalah menunggu pergantian pimpinan KPK untuk memitigasi orang-orang bermasalah masuk dan terpilih sebagai komisioner. "Sejalan dengan itu, desakan Perppu agar mengembalikan UU KPK seperti sedia kala menjadi kembali relevan untuk digaungkan," kata Kurnia.
Untuk Dewan Pengawas sendiri, ICW melihat kinerja mereka sangat minim dan terkesan selalu berpihak pada Pimpinan KPK. Ia mencontohkan bagaimana publik melihat kualitas putusan Dewan Pengawas selama ini, terutama pelanggaran yang melibatkan Firli dan Lili Pintauli dalam konteks sidang etik. Kurnia memandang, sanksi yang dijatuhkan Dewan Pengawas sangat rendah.
Selain itu, regulasi yang tertuang dalam Peraturan Dewas juga memiliki problematika serius. Sebagai contoh, jika Pimpinan KPK terbukti melanggar kode etik dengan kategori berat, sanksi yang bisa dijatuhkan hanya memintanya mengundurkan diri. "Maka, pertanyaan lanjutan, jika Pimpinan KPK tidak bersedia mengundurkan diri, lalu bagaimana? ICW mengusulkan regulasi itu diubah menjadi merekomendasikan kepada Presiden agar memberhentikan Pimpinan KPK yang terbukti melanggar kode etik berat. Ketentuan itu lebih jelas dan terukur," tegas Kurnia.
Selain itu, ICW juga melihat Dewan Pengawas tidak memaksimalkan fungsi evaluasi sebagaimana dituangkan dalam Pasal 37 B ayat (1) huruf f UU KPK. Sebab, sejauh ini kontroversi yang dilakukan oleh Pimpinan KPK sudah sangat banyak, namun sayangnya tidak diikuti dengan teguran atau langkah konkret pembenahan dari Dewan Pengawas.
Terpisah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjawab soal hasil survei Litbang Kompas tersebut. Lembaga antirasuah meminta publik tidak melihat hanya dari sisi penindakan dan penangkapan, tetapi juga melihat dari sisi pencegahan dan pendidikan antikorupsi.
"Keberhasilan pemberantasan korupsi juga penting diukur, dari seberapa mampu kita menutup titik-titik rawan korupsi dan seberapa bisa kita menyadarkan masyarakat agar tidak melakukan korupsi," ujar Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri dalam keterangan tertulis, Senin (21/3/2022).
KPK mengapresiasi positif hasil survei tersebut. Ali berpendapat hasil survei yang ada akan menjadi masukan perbaikan KPK. Ia pun menilai, survei penilaian integritas KPK justru meningkat meski kinerja secara lembaga menurun.
"Dari pengukuran yang melibatkan 250 ribu responden lebih tersebut, menghasilkan skor indeks integritas sebesar 72,4 atau lebih tinggi dari target nasional berdasar RPJMN yakni sebesar 70," tutur Ali.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri