tirto.id - Sebagai lembaga antirasuah yang telah menjebloskan tokoh-tokoh berpengaruh ke belakang jeruji besi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak henti-hentinya mendapatkan serangan dari berbagai pihak, baik secara hukum, maupun teror secara personal.
Namun, bisa dibilang bahwa titik penting dalam serangan terhadap KPK adalah revisi Undang-Undang (UU) No. 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atau bisa disingkat sebagai revisi UU KPK. Sebulan menjelang lengsernya anggota DPR dan DPRD pada tahun itu, para politisi Senayan sepakat membahas revisi UU KPK dalam rapat Paripurna 5 September 2019.
Revisi UU KPK ini menimbulkan kontroversi, dengan pasal-pasal yang dianggap melemahkan kinerja KPK sebagai sebuah lembaga. Pada tahun 2019, jalanan protokol di kota-kota besar Indonesia dipenuhi oleh demonstran selama berhari-hari, menolak revisi UU KPK. Gerakan itu disebut “Reformasi Dikorupsi”. Namun, DPR bergeming dan revisi UU tersebut disahkan pada 17 September 2019, dalam sebuah rapat Paripurna.
Tak heran, salah satu pasal revisi itu akhirnya memiliki dampak hingga tahun 2021. Pasal 1 ayat (6) revisi UU KPK mencatat, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.
Dengan demikian, pegawai KPK, laiknya ASN, terdiri atas pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Menurut UU No. 5 tahun 2014, batas usia PNS adalah 35 tahun, sedangkan di atas usia tersebut diangkat menjadi P3K (Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja).
Aturan inilah yang kemudian menyebabkan para pegawai KPK harus mengikuti asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk menjadi ASN. Padahal KPK telah memiliki mekanisme perekrutan pegawai tersendiri sebelum revisi ini diberlakukan.
Akhirnya, KPK melakukan tes TWK sebagai syarat peralihan kepegawaian untuk menjadi ASN, dari tanggal 18 Maret hingga 9 April 2021. Tes ini melibatkan 1.351 pegawai KPK. Hasilnya, pada hari Rabu (5/5/2021), Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengumumkan bahwa ada 75 orang yang tidak memenuhi syarat.
Lalu, beredar juga Surat Keputusan Nomor 652 Tahun 2021 yang ditandatangani Ketua KPK Firli Bahuri pada Jumat, 7 Mei 2021. Isinya, Ketua KPK resmi menonaktifkan 75 pegawainya karena mereka tak lolos TWK.
Baca selengkapnya di artikel "Beredar Surat Firli Nonaktifkan 75 Pegawai KPK, Termasuk Novel", https://tirto.id/gfQc
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri memberikan klarifikasi. Menurutnya, Ketua KPK Firli Bahuri tak memerintahkan untuk "menonaktifkan" 75 pegawai. Akan tetapi mereka hanya diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan.
Pada Senin (17/5/2021), Presiden Joko Widodo akhirnya juga memberikan pernyataan mengenai polemik TWK tersebut. Ia menilai tes tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk memberhentikan 75 pegawai KPK.
"Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK, baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai," kata Jokowi
Tetap saja, aturan ini, dan hasil tes TWK, dianggap berbagai pihak sebagai upaya untuk melemahkan KPK.
“Menurut saya itu termasuk bentuk pelemahan KPK ya, dan bentuk pelemahan KPK itu bukan sekedar Tes Wawasan Kebangsaannya. Bagi saya justru bentuk pelemahan yang utama adalah alih statusnya. Dari status pegawai KPK menjadi ASN. Kenapa demikian? Karena ketika dialih statuskan menjadi ASN, maka independensi KPK terancam,” kata Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, pada Tirto (20/5/2021).
Meskipun pidato Presiden Jokowi membuat ancaman pemecatan 75 nama tersebut relatif hilang, Zaenur menyatakan bahwa pemerintah bisa saja kembali mengintervensi KPK di masa depan.
Lalu, menurut Zaenur, dari sisi manajemen, ke depannya, artinya kepegawaian KPK juga akan tunduk pada manajemen ASN. Artinya, KPK tidak akan lagi mandiri dalam manajemen kepegawaiannya, melainkan melibatkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, misalnya.
Kejadian ini hanya satu dari dampak revisi UU KPK sejak pengesahan di tahun 2019. Lantas, seperti apa performa KPK selama ini sejak berlakunya revisi UU pada Oktober 2019? Sejauh apa lembaga ini terdampak oleh revisi tersebut? Dan apa saja poin-poin di revisi UU KPK itu yang bisa mempengaruhi KPK ke depannya?
Performa Menurun
Hal yang paling kentara setelah revisi UU KPK adalah jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menurun drastis. Hanya ada 2 OTT yang dilakukan KPK sejak penerapan revisi UU. Dua OTT tersebut di antaranya melibatkan mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada Januari 2020, serta operasi terhadap Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya Encek UR Firgasih pada Juli 2020.
Hal ini sangat kontras dibanding OTT yang dilakukan KPK pada 2018 dan 2019 yakni sebanyak 47 OTT. Pada 2018 misalnya, KPK melakukan OTT sebanyak 32 kali, dan 20 diantaranya melibatkan pemerintah daerah.
Sementara pada 2019, ada 16 OTT yang 7 diantaranya melibatkan pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan data yang dihimpun Riset Tirto, sebanyak 231 orang telah diringkus KPK selama operasi. Namun dalam penanganan kasus, tidak seluruhnya ditetapkan sebagai tersangka.
KPK sebetulnya berusaha memaksimalkan kekuatan mereka sebelum revisi UU KPK diberlakukan pada 17 Oktober. Sepekan sebelum UU tersebut diberlakukan misalnya, KPK sampai menjaring dua OTT dalam dua malam.
OTT pertama pada Selasa (15/10/2019) malam melibatkan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin. Selain Dzulmi, KPK juga menangkap enam orang lainnya. Dalam operasi ini, KPK menyita total uang ratusan juta rupiah yang diduga adalah setoran dari kepala dinas.
Sehari sebelumnya, KPK menjaring Bupati Indramayu Supendi. Dalam hari yang sama, tujuh orang lainnya yang terdiri dari kepala dinas, pejabat dinas pekerjaan umum (PU), ajudan, pegawai, hingga rekanan juga turut terjaring dalam OTT yang berbeda. Tim KPK menyita uang yang jumlahnya diperkirakan mencapai seratus juta rupiah. Uang itu diduga merupakan suap terkait proyek di dinas-dinas PU Kabupaten Indramayu.
Sebelumnya, pada bulan Oktober 2019 pula, KPK juga menjaring Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara pada 5 Oktober. KPK menetapkan enam orang sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek di Lampung Utara itu.
Kemudian, bagaimana dengan kegiatan penyelidikan yang dilakukan?
Menurut laporan publikasi KPK, lembaga antirasuah ini melakukan 208 penyidikan pada 2020 yang terdiri dari 117 perkara sisa pada 2019 dan 91 perkara pada 2020. Sementara dari penyidikan itu, hanya 154 kasus yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Hal ini wajar sebab dalam penanganan kasus, tidak seluruh kasus ditetapkan status hukumnya pada tahun yang sama.
Jika dilihat secara statistik dari tahun ke tahun, tahun 2019 menjadi tahun paling sedikit dimana penindakan terhadap kasus korupsi dilakukan, hanya 110 kasus. Angka ini berbeda jauh dengan tahun 2018 dimana terdapat penindakan terhadap 280 kasus. Secara statistik pula, tahun 2018 merupakan tahun terbanyak penindakan dilakukan oleh KPK.
Berdasarkan catatan KPK, ada 1.264 tindak pidana korupsi sejak tahun 2004 hingga 2019. Dalam kurun waktu tersebut, korupsi paling banyak melibatkan anggota DPR dan DPRD dengan jumlah sebanyak 360 kasus. Urutan kedua adalah korupsi yang melibatkan pihak swasta, yakni sebanyak 331 kasus. Menurut Zaenur dari UGM, performa KPK memang terlihat jelas turun setelah revisi UU KPK. Hal ini bisa dilihat dari jumlah OTT, serta kualitas dari kasus yang ditangani, yang dianggap tidak strategis.Menurut Zaenur, perkara dengan kualitas strategis itu di antaranya memenuhi beberapa aspek, di antaranya perkara yang melibatkan kerugian negara yang besar, perkara yang melibatkan posisi jabatan yang sangat tinggi, dan kaus yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
“Perkara di KPK itu saat ini tidak ada yang signifikan dari sisi jumlah kerugian negaranya,” katanya. “Ya memang masih ada 2 menteri digaruk oleh KPK, tapi tidak ada penegak hukum. Sedangkan salah satu tujuan dibentuknya KPK adalah trigger mechanism, termasuk di dalam penindakan harus mengutamakan memprioritaskan unsur-unsur penegak hukum.”
Dua menteri yang Zaenur maksud adalah penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam kasus suap benih lobster, serta Menteri Sosial Juliari Batubara yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) COVID-19 pada akhir 2020.
Poin-Poin Krusial di Revisi UU KPK
Memang, banyak hal yang berubah sejak revisi UU KPK disahkan, termasuk sistem kerja KPK. Ini berkaitan dengan poin-poin perubahan pada revisi tersebut. Pada 17 September 2019, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly pernah memaparkan 4 materi pokok dalam revisi UU KPK.
Yang pertama, dalam revisi UU No 30 Tahun 2002, KPK menjadi lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Ketentuan ini mengubah pasal 3 UU KPK versi lama, yang berbunyi: "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun."
Revisi ini berarti KPK menjadi bagian lembaga eksekutif kekuasaan. Padahal, sebelum revisi, KPK adalah lembaga yang independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Revisi lainnya adalah pemberian wewenang bagi KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan dalam perkara korupsi. Penghentian bisa dilakukan apabila proses penyidikan dan penuntutan tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Aturan baru ini mengubah Pasal 40 UU KPK versi lama, yang berbunyi: "Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi."
Kemudian, terkait pembatasan fungsi penyadapan, pada revisi UU KPK, menurut pasal 12B (1), penyadapan dilaksanakan setelah mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas. Adapun permintaan izin dilakukan secara tertulis dari pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak permintaan diajukan.
Lalu menurut Pasal 12B (4), KPK hanya diberikan jangka waktu penyadapan selama enam bulan dan dapat diperpanjang satu kali dengan izin tertulis Dewan Pengawas.
Padahal, penyadapan adalah senjata KPK mencari bukti dalam mengungkap kasus extraordinary crime.
Lalu terakhir, poin terakhir revisi UU KPK Nomor 30 tahun 2002 adalah aturan bahwa pegawai KPK merupakan anggota Korps Profesi Pegawai Aparatur Sipil Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Menurut Zaenur juga, dampak paling terlihat dari revisi UU KPK memang ketika KPK gagal menjalankan misinya dalam beberapa kasus. Misalnya, dalam kasus penggeledahan terkait suap pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan di Kalimantan Selatan, KPK kehilangan jejak alat bukti karena terlambat.
“Kenapa KPK terlambat? Karena membutuhkan mekanisme perizinan. Dalam hal sadap geledah sita, KPK sebelum putusan MK kemarin itu harus izin kepada Dewan Pengawas,” katanya.
Usaha Melawan Revisi UU dan Masa Depan KPK
Pada November 2019, 13 tokoh antikorupsi yang tergabung dalam Tim Advokasi Undang-Undang KPK mengajukan uji formil terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019, atau revisi UU KPK, ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Tiga belas orang tersebut adalah Agus Rahardjo, Laode Muhamad Syarif, Saut Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Moch Jasin, Omi Komaria Madjid, Betti S Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo, Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha, dan Ismid Hadad.
Tim itu mengkaji dan menemukan bahwa proses pembahasan dan pengesahan UU KPK baru tak sesuai prosedur dalam tiga hal, seperti yang diberitakan Tempo. Pertama, UU KPK tidak masuk dalam program legislasi nasional prioritas 2019.
Kedua, pengesahan UU KPK pada rapat paripurna tidak dihadiri kuorum anggota DPR. Mereka mengklaim bahwa rapat tersebut hanya dihadiri kurang dari 50 persen anggota DPR.
Ketiga, KPK sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pembahasan UU KPK. Sedangkan, para tokoh tersebut berpendapat KPK seharusnya diundang untuk terlibat dalam setiap tingkat pembahasan.
Sayangnya, MK memutuskan untuk menolak seluruh permohonan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tersebut.
Selain itu, diketahui ada tujuh permohonan pengujian lainnya yang dilayangkan sejumlah pihak hingga awal tahun 2020, menurut catatan Kompas. Sebanyak tiga perkara ditolak, sebanyak 3 gugatan tak diterima, dan 1 gugatan dikabulkan sebagian.
MK baru-baru ini memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materil UU KPK yang diajukan oleh sejumlah akademisi.
Mereka terdiri dari Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Fathul Wahid, Dekan Fakultas Hukum UII Abdul Jamil, Direktur Pusat Studi HAM UII Yogyakarta Eko Riyadi, dan Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi FH UII Yogyakarta Ari Wibowo.
Hakim Konstitusi Aswanto mengatakan, kewenangan institusi penegak hukum tidak boleh diintervensi serta tidak boleh ada lembaga yang bersifat ekstra yudisial.
Sebab, intervensi akan menjadi ancaman bagi independensi penegak hukum dan dapat melemahkan prinsip negara hukum.
Karenanya, MK menyatakan penyadapan tidak lagi memerlukan izin, namun pimpinan KPK hanya perlu memberitahukan informasi kepada Dewan Pengawas.
Meskipun ini adalah berita baik bagi KPK, Zaenur menyatakan bahwa ke depannya, KPK mungkin akan lebih sibuk menyelesaikan persoalan-persoalan internal daripada menunjukkan kinerja dalam pemberantasan korupsi. Proses untuk mengembalikan kinerja KPK ke kondisi paling fit akan butuh waktu, katanya.
“OTT akan tetap ada, orang yang diproses hukum juga ada. Tapi saya ragu dan pesimis bahwa KPK akan memiliki kinerja optimal, membongkar kasus strategis,” katanya.
Editor: Farida Susanty