Menuju konten utama

Poin Utama Isi Revisi UU KPK yang Disahkan DPR dan Disetujui Jokowi

DPR RI sudah mengesahkan revisi UU KPK. Apa saja poin utama dalam isi revisi UU No 30 Tahun 2002 tersebut?

Massa aksi membentangkan spanduk penolakan terhadap revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) di Tugu Pal Putih, Yogyakarta, Selasa (17/9/2019). tirto.id/Irwan A. Syambudi.

tirto.id - Revisi UU KPK atau Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi resmi disahkan oleh DPR, pada Selasa (17/9/2019). Sebelumnya, pembahasan revisi UU KPK pada 2019 berlangsung kilat, kurang dari dua pekan.

Revisi UU KPK semula diresmikan menjadi usulan DPR dalam rapat paripurna pada 5 September lalu. Setelah itu, meskipun ditolak pimpinan KPK dan banyak pegiat antikorupsi, proses revisi terus berjalan mulus.

Pemerintah menyatakan mulai mempelajari draf revisi usulan DPR pada 9 September 2019. Dua hari kemudian, Presiden Joko Widodo mengirim surat presiden (surpres) kepada DPR tentang persetujuan agar pembahasan revisi UU KPK dilanjutkan.

Pada Jumat pekan kemarin (13/9/2019), Jokowi sempat menyatakan penolakan terhadap sebagian isi revisi UU KPK usulan DPR. Namun, Jokowi menyetujui sebagian poin yang kerap dipersoalkan pegiat antikorupsi, seperti pembentukan dewan pengawas dan wewenang KPK menghentikan penyidikan.

Tiga hari setelahnya, Senin malam kemarin, pemerintah dan Badan Legislasi (Baleg) DPR resmi satu suara soal revisi UU KPK. Menkumham Yasonna Laoly dan Menteri PAN-RB, Syafruddin mewakili pemerintah di forum yang menyepakati revisi UU KPK dibahas dalam Rapat Paripurna DPR tersebut.

Akhirnya, pada Selasa (17/9), DPR mengesahkan rancangan revisi UU KPK menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang dihadiri 102 anggota dewan saja. Tujuh fraksi setuju dengan revisi itu. Sedangkan fraksi PKS, Gerindra dan Demokrat 'sepakat' dengan memberikan catatan.

Fraksi Gerindra memberikan catatan terhadap ketentuan soal anggota Dewan Pengawas KPK dipilih langsung oleh presiden. "Kalau ini masih dipertahankan, kami tidak bertanggung jawab terhadap terjadinya penyalahgunaan semangat penguatan KPK [...]," kata Ketua Fraksi Gerindra Edhy Prabowo dalam Rapat Paripurna DPR.

Sementara Anggota Fraksi PKS, Ledhia Hanifa mengatakan dewan pengawas seharusnya tidak menjadi bagian dari KPK agar bisa bekerja independen. PKS juga tidak setuju anggota dewan pengawas dipilih oleh presiden. Sebab, dewan pengawas semula diharapkan profesional dan terbebas dari intervensi.

Selain itu, Fraksi PKS menilai KPK tidak perlu meminta izin dewan pengawas untuk melakukan penyadapan. “Seharusnya, KPK cukup memberitahukan ke dewan pengawas […],” ujar Ledhia.

Fraksi Demokrat pun menyoroti aturan pemilihan anggota dewan pengawas. “Ada kemungkinan abuse of power apabila anggota dewan pengawas dipilih presiden,” ujar anggota F-Demokrat, Erma Suryani.

Poin Utama Isi Revisi UU KPK

Saat menghadiri Rapat Paripurna DPR pada hari ini, Menkumham Yasonna Laoly menyatakan Presiden Jokowi menyetujui pengesahan rancangan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang. Sesuai pemaparan Yasonna, ada 4 materi pokok dalam revisi UU KPK. Empat hal itu berkaitan dengan perubahan kedudukan dan tugas Komisi Antikorupsi.

1. Kedudukan Lembaga KPK

Menurut Yasonna, dalam revisi UU No 30 Tahun 2002, KPK menjadi lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam pelaksanaan kewenangan dan tugasnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

"Penegasan status kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam undang-undang ini memberikan kepastian hukum, dan sejalan dengan visi-misi dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi berdasar Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002," ujar Yasonna.

Dia mengklaim penataan itu bertujuan agar kedudukan KPK dalam sistem ketatanegaraan RI menjadi jelas, yaitu sebagai bagian dari kekuasaan pelaksana pemerintahan. Hal ini, kata dia, sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 36/PUU-XV/2017.

Ketentuan ini mengubah pasal 3 UU KPK versi lama, yang berbunyi: "Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun."

2. Penghentian Penyidikan dan Penuntutan

Hasil revisi lainnya, tambah Yasonna, adalah pemberian wewenang bagi KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan dalam perkara korupsi. Penghentian bisa dilakukan apabila proses penyidikan dan penuntutan tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

Keputusan penghentian itu harus diberitahukan kepada Dewan Pengawas KPK paling lama satu minggu sejak Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan diterbitkan.

"Pengaturan penghentian penyidikan dan penuntutan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi, baik kepada pelaku pidana maupun terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Yasonna.

Aturan baru ini mengubah Pasal 40 UU KPK versi lama, yang berbunyi: "Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi."

3. Aturan Penyadapan

Revisi UU No 30 Tahun 2002 mengatur penyadapan bisa dilaksanakan setelah ada izin dari Dewan Pengawas KPK. Kata Yasonna, izin penyadapan diberikan setelah pimpinan KPK mengajukan surat secara tertulis. Dewan pengawas dapat memberikan izin tertulis paling lama 1x 24 jam sejak permintaan diajukan.

Proses penyadapan pun dibatasi paling lama enam bulan, terhitung sejak izin tertulis dari dewan pengawas diterima KPK. Izin itu bisa diperpanjang satu kali untuk jangka waktu yang sama.

Yasonna menegaskan, hasil penyadapan bersifat rahasia dan hanya untuk kepentingan peradilan terkait perkara korupsi.

"Perubahan pengaturan mengenai fungsi penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk lebih menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, sehingga penyadapan dilaksanakan dalam koridor penegakan hukum dan akuntabel,” ucap Yasonna.

Sedangkan pasal 12 huruf a UU KPK versi lama, hanya menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Di pasal itu, tidak ada persyaratan soal batas waktu penyadapan maupun keharusan KPK meminta izin ke dewan pengawas.

4. Pegawai KPK Berstatus ASN

Yasonna menjelaskan revisi UU Nomor 30 tahun 2002 mengatur bahwa pegawai KPK merupakan anggota Korps Profesi Pegawai Aparatur Sipil Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dia menambahkan tata cara pengangkatan pegawai KPK dilaksanakan seusai dengan ketentuan perundang-undangan. Selain itu, UU KPK hasil revisi juga mengatur masa transisi peralihan status pegawai KPK yang belum menjadi ASN.

Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Syafruddin, masa transisi peralihan status pegawai KPK lumayan panjang. “Masih ada jeda waktu dua tahun. Jadi pegawai [KPK] tidak serta merta [jadi ASN]," ujar dia di Gedung DPR, Selasa (17/9/2019).

Adapun dalam UU KPK versi lama, Pasal 24 ayat 3 menyatakan, "Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi."

Sementara itu, Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode Muhammad Syarif mengaku belum tahu isi lengkap revisi UU No 30 Tahun 2002. Namun, menurut Syarif, jika merujuk pada dokumen revisi UU No 30 Tahun 2002 yang beredar di publik, isi beleid baru itu melemahkan KPK.

"Jika dokumen yang kami terima via ‘hamba Allah’ [karena KPK tidak dilibatkan di pembahasan dan belum dikirimi salinan revisi UU KPK), banyak sekali norma-norma pasal yang melemahkan penindakan di KPK," kata Syarif dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (17/9/2019).

Namun, Syarif juga menyatakan KPK tidak berwenang menolak undang-undang. "KPK tidak punya hak menerima atau menolak suatu UU," ujar Syarif.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH
-->