tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) merespons capaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang hanya bertambah satu poin dari 37 menjadi 38. Menurut ICW, ini menjadi pertanda bahwa pemberantasan korupsi selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo hanya jalan di tempat.
Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana, hal ini berbarengan dengan arah politik hukum pemberantasan korupsi yang mengalami kemunduran. Pangkal persoalannya pun klasik yakni ketidakjelasan orientasi pemerintah dalam merumuskan strategi pemberantasan korupsi. Selama ini pemerintah disibukkan dengan pembenahan sektor ekonomi dengan memproduksi beragam proyek infrastruktur dan penguatan investasi.
"Peningkatan IPK Indonesia tahun ini tentu harus dibenturkan dengan realita pemberantasan korupsi terkini. Secara kasat mata, tahun 2021 sebenarnya masih menjadi periode implikasi atas akumulasi kekeliruan pemerintah ketika mengubah haluan pemberantasan korupsi melalui sejumlah regulasi dan kebijakan," ujar Kurnia, Rabu (26/1/2022), dalam keterangan tertulis.
Akibat kekeliruan arah, mayoritas kalangan pebisnis mengambil untung di tengah stagnasinya situasi penegakan hukum.
Hal ini dibuktikan dengan kritik masif masyarakat terhadap kinerja lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK. Bahkan awal Januari lalu, Indikator Politik Indonesia menguatkan kesimpulan tersebut dengan menemukan adanya persepsi buruk dari sebagian besar masyarakat terhadap komitmen antikorupsi pemerintah.
"Meningkatnya poin dan peringkat Indonesia semestinya dimaknai sebagai bahan evaluasi mendasar untuk mengembalikan pemberantasan korupsi ke arah yang benar, bukan justru mengglorifikasikannya," sambung Kurnia.
Merujuk janji politik yang digaungkan oleh Joko Widodo saat mengikuti kontestasi politik 2014 dan 2019, narasi penguatan pemberantasan korupsi terbilang baik dan menawarkan harapan. Namun kenyataannya pemberantasan rasuah berhenti pada tumpukan berkas janji kampanye tanpa implementasi konkret.
Kurnia melanjutkan, presiden justru jadi salah satu dalang di balik ambruknya pemberantasan korupsi beberapa waktu belakangan ini. ICW menyorot empat isu yang bertautan dengan permasalahan yang ada dengan rendahnya kenaikan IPK Indonesia.
Pertama, pemerintah sibuk dengan pencarian ladang ekonomi untuk kepentingan investasi. Cerminan kebijakan pemindahan ibu kota dan klaim kemudahan sektor ekonomi melalui Omnibus Law dapat dijadikan rujukan utama. Proses kilat saat pembahasan aturan dengan menabrak aturan formal menjadi argumentasi utama untuk membantah logika yang dibangun oleh pemerintah.
Sayang, pemerintah lupa bahwa persoalan utama yang masih mendera sektor ekonomi menyangkut kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan aspek pemberantasan korupsi.
Kedua, agenda reformasi hukum tidak pernah diprioritaskan. Secara administrasi seluruh pimpinan aparat penegak hukum berada di bawah kekuasaan eksekutif. Dengan logika seperti ini, menurut ICW, semestinya presiden bisa mendesak kepolisian, kejaksaan, dan KPK untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi.
Namun, berdasarkan temuan ICW dalam Tren Penindakan semester pertama tahun 2021, jumlah penyidikan perkara korupsi yang dilakukan tiga penegak hukum itu mengalami penurunan. "Selain itu, khusus KPK, sepanjang tahun lalu yang tampak hanya kegaduhan tanpa mampu menunjukkan prestasi," imbuh Kurnia.
Ketiga, tidak ada komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi berskala besar. Keempat, menyempitnya ruang partisipasi warga dalam agenda pemberantasan korupsi.
"Poin ini menitikberatkan pada ancaman yang diterima warga ketika menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja para penyelenggara negara," tandas Kurnia.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri