tirto.id - Sampah adalah masalah serius di Kota Yogyakarta yang jadi perhatian publik, termasuk pemuka agama. Baru-baru ini sebuah video beredar di media sosial tentang Romo Patrisius Mutiara Andalas yang disalib di atas gundukan sampah.
Saya menemui Iman Katolik sekaligus dosen Pendidikan Keagamaan Katolik Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma itu.
Ditemui usai mengajar di Kampus V Universitas Sanata Dharma, pria yang akrab disapa Romo Andalas ini mengatakan aksinya merupakan wujud keprihatinan terhadap produksi sampah yang dihasilkan oleh warga Yogyakarta.
Menurutnya, situasi darurat sampah di Kota Yogyakarta sudah melampaui batas normal. Namun di sisi lain, peran pemerintah masih minim.
“Keprihatinan terhadap darurat sampah, sebetulnya sudah beberapa tahun lalu muncul. Tapi sepertinya respons dari pemerintah kok minim,” kata Romo Andalas saat diwawancarai di ruang kerjanya, pada Kamis (21/11/2024) sore.
Kampus V Universitas Sanata Dharma berada di dekat Depo Sampah RRI. Tepat di balik tembok depo berdiri sebuah kapel. Ketika angin bertiup, bau menyengat dari timbunan sampah yang masuk ke dalam tempat ibadah.
“Saya memilih cara Katolik [dalam aksi protes]. Di Kapel kami ada perayaan, bertepatan dengan Jumat pertama, bersama mahasiswa dan mahasiswi. Saya kemudian bersama seorang mahasiswa melakukan aksi tersalib di atas gundukan sampah,” ungkapnya.
Melalui aksinya, Romo Andalas berharap ada kesadaran dari masyarakat untuk meminimalkan produksi sampah harian. Sebab menilik catatan Pemkot Yogyakarta, produksi sampah di Kota Gudeg mencapai 300 ton per hari.
“Kita mau membangun apa, ketika kita treat Kota Yogyakarta sebagai tempat sampah sehari-hari. Bahkan rumah tangga ikut jadi penyumbang dengan membuang sampah di jalan yang menjadi ruang bersama,” tuturnya.
“Saya gelisah warga Yogyakarta menormalisasi [pembuangan sampah di jalan]. Itu darurat dan genting untuk segera diatasi. Kalau sampah bertumpuk dan semakin panjang we don’t take it seriously [dalam upaya penanganan sampah],” imbuhnya.
Menurut Romo Andalas, aksinya mendapat kritik dari umat Katolik yang menyebut apa yang ia lakukan tidak pantas lantaran menggunakan pakaian ibadah di tempat yang tidak sesuai.
“Tanggapan saya, sejak kapan bumi tidak appropriate untuk merayakan liturgi? Ya, sejak bumi kita menjadi tempat sampah. Bumi menjadi ternodai, sehingga di situ agama bisa bersuara lebih lantang,” tegasnya.
Aksinya, kata dia, bukan sebuah tindakan impulsif. Sebab pengamatan sudah dilakukan dalam waktu yang panjang. Kemudian tercetuslah ide protes secara simbolik.
“Saya melihat, solusi kok hanya ditutupi terpal biru. Apakah ini cara kita untuk deal with important urgent issue?” ungkapnya.
“Sebagian mahasiswa kami malah mengajak untuk melakukan aksi membawa sampah ke kantor DPRD. Tapi, kami coba yang simbolik dulu. Siapa tahu sudah cukup untuk menggerakkan kita semua,” sambungnya.
Kendati melakukan kritik lewat aksinya, Romo Andalas mengakui kampusnya turut memproduksi sampah. Menurutnya, upaya penanggulangan sampah dimotori oleh Green Team yang melibatkan mahasiswa, mahasiswi, karyawan, dan dosen di lingkungan Universitas Sanata Dharma.
“Kesadaran bahwa kampus tidak boleh ikut membuang sampah di luar kampus. [Kampus adalah] tempat edukasi, seberapa ikut me-reduce sampah. Kami juga melubangi tanah agar air stay di kampus, menjaga kampus tetap hijau di tengah ratusan kampus yang telah menjadi bangunan,” ucapnya.
“Ada taman kupu-kupu, tidak boleh ada biodiversity yang hilang. Jadi kami mencoba agar kupu-kupu bisa hidup di lingkungan sekitar untuk menjadi edukasi bagi anak-anak. Kami berusaha tidak banyak menggunakan plastik. Semoga lebih ramah secara ekologis,” imbuhnya.
Menurut Romo Andalas, kampus memiliki peran dalam masyarakat, salah satunya melalui pengabdian masyarakat berupa kuliah kerja nyata (KKN).
Melalui pengabdian, kata dia, semestinya apa yang telah dilakukan oleh kampus dapat disebarluaskan pada masyarakat. Sehingga label Kota Yogyakarta sebagai Kota Pelajar dan Kota Pendidikan yang menyandang indeks pembangunan manusia (IPM) tertinggi Nasional dapat dipertanggungjawabkan.
Berpontensi Memicu Konflik Sosial
Sebelum bertemu Romo Andalas, saya terlebih dulu menyambangi Depo RRI yang berlokasi di Jalan Merbabu, Kelurahan Kotabaru, Kemantren Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Di sekitar depo, berjajar penjual bunga. Namun, yang tercium adalah bau menyengat dari timbunan sampah.
Kondisi sampah tercampur, antara sampah organik dan anorganik. Lindi (cairan yang kaluar dari sampah) mengalir ke jalanan. Sementara sampah meluber memakan hampir separuh jalan.
Ketika saya di lokasi, Kapolresta Yogyakarta, Kombespol Aditya Surya Dharma, bersama jajarannya juga sedang melakukan pemantauan di Depo RRI.
Menurut Aditya, pemantauannya ke Depo RRI sebagai upaya Polresta Yogyakarta mencari informasi kondisi sampah di lokasi tersebut. Termasuk meminta penjelasan dari pejabat terkait soal upaya penanganannya karena ada potensi konflik sosial akibat timbunan sampah di Depo RRI.
“Kami harapkan tidak [terjadi konflik sosial], makanya kami meminta penjelasan dari pihak terkait. Sehingga tidak ada sentimen negatif atau anggapan dari masyarakat [ada] pembiaran. Kami yakin sudah ada upaya, tapi belum bisa maksimal karena ada beberapa kendala,” ucapnya.
Aditya menambahkan, timbunan sampah juga terjadi di beberapa depo milik Pemkot Yogyakarta. Bahkan melalui program Polresta Yogyakarta yang bertajuk Jumat Curhat, masyarakat selalu mengeluh soal penanganan sampah.
“Kami limpahkan [keluhan masyarakat], ke pemkot penanganannya,” ujarnya.
Menanggapi video yang dibuat oleh Romo Andalas, Aditya mengatakan dia sudah mengetahuinya.
“Memang kondisi sampah di sini banyak. Kami sudah koordinasi dengan Kepala DLH Kota Yogyakarta, Pak Sugeng, tindak lanjutnya seperti apa menyikapi keresahan masyarakat terkait sampah. Penyelesaian dari Pak Sugeng 5-6 hari sudah bisa berkurang signifikan. Karena berbagi dengan depo lain,” kata Aditya.
Dalam kesempatan yang sama, hadir juga Mantri Pamong Praja Kemantren Gondokusuman, Guritno. Dia menekankan bahwa tumpukan sampah di Depo RRI adalah masalah. Namun, dia meminta semua pihak paham bahwa Pemkot Yogyakarta sudah melakukan proses penanggulangan.
“Pada intinya ini memang permasalahan. Pemkot tetap berupaya semaksimal mungkin, dalam artian yang perlu dipahami bersama adalah memang baru tahap penyelesaian,” kata Guritno.
Ia yakin, pada saat Natal, sampah di Depo RRI telah diangkut dengan bersih, sehingga tidak mengganggu ibadah umat Kristiani.
“Solusi segera, Natal insyaAllah [bersih]. Tumpukan di beberapa titik, Pemkot tetap tiap hari diambil bertahap. InsyaAllah Natal tidak akan seperti ini lagi. Sudah bersih,” tambahnya.
Menurut Guritno, Pemkot telah mempersiapkan insenerator pengelolaan sampah. Targetnya, rampung terpasang pada Desember 2024.
“Sehingga insyaAllah bertahap sampai akhir Desember, insyaAllah sudah bisa selesai untuk sampah di Kota Yogyakarta. Kita berdoa bersama,” ucapnya.
Guritno meminta dukungan dari masyarakat untuk bijak terhadap sampah yang dihasilkan. Terutama dalam pemilahan sampah basah dan kering.
Ia juga berharap masyarakat memanfaatkan bantuan biopori yang telah didistribusikan oleh Pemkot Yogyakarta. Sebab menurutnya, akan berkontribusi pada pengurangan volume sampah di depo.
“Dioptimalkan, yang bisa dipertimbangkan untuk diuangkan. Jangan apa-apa dimasukkan jadi satu dengan sampah,” kata dia.
Terkait aktivasi bank sampah di tiap RW, Guritno menyatakan masih berjalan. Namun, dia juga mengatakan bahwa perlu kesadaran dari masyarakat untuk menghidupkan kembali bank sampah di lingkungannya.
“Jalan, tapi kesadaran masyarakat untuk mau menghidupkan bank sampah di lingkungan masing-masing perlu penekanan lagi,” ujarnya.
Upaya dan Dalih Pemkot
Setelah Aditya dan Guritno beranjak, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, Sugeng Darmanto, juga mendatangi Depo RRI. Dia mengatakan ada dua armada yang tiap hari mengangkut sampah dari depo tersebut ke insenerator yang dimiliki oleh Pemkot Yogyakarta.
“Kapasitas pengolahan sampah di Kota Yogyakarta [sekarang] 130 ton per hari dengan produksi sampah sekitar 200 ton per hari,” ujarnya.
Pengelolaan sampah terbagi di empat titik, yaitu Nitikan, Krangon, Karangmiri, dan Sitimulyo.
“Kami baru menambahkan uji coba 30 ton [sampah] pada insenerator. Penambahan ini kami gunakan untuk mempercepat agar bisa terkurangkan [waktu timbunan sampah di depo],” jelasnya.
Sugeng mengatakan, dinasnya telah berupaya maksimal kendati penumpukan sampah di depo tetap ada. Pemkot Yogyakarta pun menjalin kerja sama dengan wilayah lain, di antaranya Kalurahan Panggungharjo dari Kabupaten Bantul dalam pengolahan sampah.
“Saya menggarisbawahi, bahwa ada defisit dan mau tidak mau harus tertahan di depo. Karena Yogyakarta tidak memiliki lahan. Kekuatan hanya di depo,” ungkapnya.
“Produksi 200 ton per hari bisa terus dikurangi. Kita harus pakai pendekatan matematis, kami berupaya terus,” imbuhnya.
Terpisah, Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan DLH Kota Yogyakarta, Ahmad Haryoko, mengungkap alokasi APBD Kota Yogyakarta tahun 2024 yang masuk ke dinasnya sebesar Rp96 miliar.
“Tidak sampai Rp100 miliar, anggaran itu termasuk gaji karyawan,” beber Haryoko pada wartawan di Balaikota Yogyakarta, Kamis (21/11/2024).
Dari jumlah alokasi APBD itu, kata Haryoko, sekitar 40 persennya atau sekitar Rp38 miliar digunakan untuk persampahan.
“Untuk seluruhnya. Pengangkutan, penyapuan, pengolahan, sekitar itu, termasuk edukasi,” ujarnya.
Penggunaan dana APBD tahun 2024 di bidang persampahan, kata Haryoko, banyak digunakan untuk modal pembangunan TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle). Salah satunya, pembangunan dua insenerator di Sitimulyo.
“Sekarang banyak belanja modal. Ke depan, karena ketersediaan anggaran juga yang ada di pemkot, akan banyak ke operasional. Semua yang terbangun 2024 dioptimalkan di 2025,” tegasnya.
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Irfan Teguh Pribadi