Menuju konten utama

Ketika Insentif Motor Listrik Belum Mampu Tarik Minat Masyarakat

Fahmy sebut insentif bukan salah satu yang bisa mengubah perilaku konsumen untuk pindah kendaraan listrik. Lantas apa?

Ketika Insentif Motor Listrik Belum Mampu Tarik Minat Masyarakat
Sejumlah pekerja melakukan proses produksi sepeda motor listrik di PT Terang Dunia Internusa Plant II, Citeureup, Kabupaten Bogor, Kamis (21/9/2023). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/tom.

tirto.id - Insentif kendaraan motor listrik tak cukup menarik minat masyarakat untuk beralih ke energi yang lebih bersih. Padahal pemerintah sebelumnya sudah melakukan perluasan subsidi pembelian motor listrik kepada masyarakat umum sebesar Rp7 juta per unit. Termasuk menambah biaya anggaran konversi kendaraan menjadi Rp10 juta.

Kebijakan pemerintah menaikkan subsidi konversi motor listrik menjadi Rp10 juta per unit tak lain karena minat masyarakat yang masih rendah. Tujuan insentif tersebut agar meringankan biaya konversi bahan bakar minyak (BBM) ke motor listrik yang mencapai sekitar Rp14 juta per unit.

Jika merujuk data penjualan motor listrik dari Sistem Informasi Bantuan Pembelian Kendaraan Bermotor Roda Dua (Sisapira) pada Jumat (17/11/2023), tercatat baru tersalurkan sebanyak 4.148 unit. Sedangkan penjualan yang masih dalam tahap proses pendaftaran sebesar 6.189, dan yang terverifikasi sebanyak 2.374.

Jumlah tersebut tentu jauh dari target pemerintah untuk penyaluran bantuan motor listrik mencapai 200.000 unit. Namun, pantauan dari Sisapira menyisakan motor listrik yang belum terjual mencapai 187.289, yang artinya 93,65 persen belum terjual ke masyarakat.

“Kalau gue pribadi bukan masalah insentif, tapi emang enggak cocok saja pakai molis (motor listrik)," ujar salah satu karyawan swasta, Ridwan Aji, kepada Tirto, Jumat (17/11/2023).

Ridwan Aji mengaku masih berpikir dua kali untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan listrik. Alasannya pertama masalah kenyamanan. Karena baginya, kenyamanan berkendara menggunakan motor listrik belum sama asiknya ketika menunggangi motor konvensional.

"Terus juga daya tahan, takutnya karena mobilitas tinggi terus baterainya habis dan tidak ada SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) kan repot," ujar dia.

"Jadi untuk saat ini sih masih ke motor konvensional kalau gue pribadi," ujar dia menambahkan.

Hal senada disampaikan oleh Dedy Nasution. Menurut Dedy, berapapun insentif yang digelontorkan oleh pemerintah tidak akan membuatnya melakukan konversi apalagi membeli baru motor listrik. Alasannya, pertama karena memang belum butuh dan kedua motor bukan kebutuhan mendesak.

“Kalau misalnya dipaksa buat motivasi transisi energi mending pemerintah saja duluan deh daripada nyuruh masyarakat yang susah. Pemerintah saja dulu tidak usah nyuruh warga yang pendapatannya saja sudah kalah dengan inflasi," ujar Dedy kepada Tirto, Jumat (17/11/2023).

Bagi Dedy, saat ini yang paling penting itu adalah bukan insentif sebenarnya. Masyarakat hanya butuh kemudahan bagaimana nanti ketika beralih menggunakan motor listrik bisa service, isi ulang baterai listrik dan lainnya.

“Sebenernya mau harganya sama kayak motor BBM biasa, tapi kalau ekosistemnya sudah ada tidak ada masalah,” ucap dia.

Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Tengah, Sujarwanto Dwiatmoko, mengakui memang masih ada beberapa tantangan dalam penngembangan kendaraan listrik khususnya di Jawa Tengah. Pertama biaya konversi masih relatif mahal. Ini karena komponen utama seperti baterai mesin dan lain-lain masih produk impor.

“Dalam percepatan KBlBB dihadapkan oleh tantangan biaya konversi itu mahal,” ucap dia dalam acara Dekarbonisasi Sektor Transportasi melalui Adopsi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) untuk Indonesia Lebih Baik, Jumat (17/11/2023).

Kedua, tipe baterai untuk motor listrik belum seragam. Ketiga, program konversi motor BBM menjadi motor listrik yang dicanangkan belum banyak dipahami oleh masyarakat. Kempat, ketersediaan bengkel konvensi yang di tersertifikasi khususnya di Jawa tengah sangat terbatas. Kelima, tempat pelaksanaan uji tipe terhadap motor hasil konversi sangat terbatas belum adanya fasilitas untuk pengolahan limbah.

Dalam laporan survei PricewaterhouseCoopers (PwC) bertajuk Indonesia Electric Vehicle Consumer Survey 2023, menyebutkan ada sejumlah hal yang dikhawatirkan konsumen Indonesia jika mereka memiliki kendaraan listrik. Menurut survei PwC, mayoritas atau 87 persen responden mengkhawatirkan biaya penggantian baterai jika mereka punya mobil atau motor listrik.

Kemudian, 83 persen mengkhawatirkan biaya penggantian suku cadang, 66 persen mencemaskan biaya tak terduga lain, dan 59 persen menaruh perhatian lebih pada biaya pemeliharaan rutinnya.

Survei PwC juga menemukan, 78 persen responden membuka kemungkinan akan membeli mobil listrik di masa depan, dan 74 persen responden mungkin akan membeli sepeda motor listrik.

Survei ini dilakukan terhadap konsumen Indonesia di 8 kota besar pada Juni-September 2023. Kota-kota tersebut meliputi Jakarta, Bekasi, Surabaya, Tangerang, Bogor, Medan, Semarang, dan Depok.

PwC tidak mengungkapkan jumlah respondennya. Namun, mereka menyebut proporsi responden laki-laki mencapai 64 persen dan perempuan 34 persen. Mayoritas responden yang terlibat dari kelompok usia milenial, yakni 72 persen, diikuti kelompok Gen X 21 persen, dan kelompok Gen Z 7 persen.

INSENTIF KENDARAAN LISTRIK

Pengunjung mengamati sepeda motor listrik pada pameran Indonesia Internasional Motor Show (IIMS) di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Senin (20/2/2023). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/tom.

Insentif Bukan Salah Satu Cara Bikin Masyarakat Beralih

Pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, menilai insentif bukan salah satu yang bisa mengubah perilaku konsumen untuk pindah kendaraan listrik. Menurut dia, ada faktor lain yang akan memengaruhi keputusan konsumen untuk menggunakan kendaraan listrik.

Pertama, penyediaan infrastruktur. Saat ini, menurut dia, belum banyak infrastruktur seperti SPKLU yang tersedia di beberapa daerah. Ini jelas berbanding terbalik dengan SPBU yang sudah hampir tersedia di seluruh pelosok penjuru negeri.

“Mungkin bisa di rumah, tapi ini akan menambah daya listrik rumah. Itu satu,’ ucap Fahmy kepada Tirto, Jumat (17/11/2023).

Kedua, ketersediaan bengkel. Saat ini, masyarakat masih berpikir dua kali untuk membeli motor listrik karena belum banyaknya bengkel-bengkel yang mumpuni.

“Misal harus service kemudian dia harus mengganti suku cadang baterai ke mana? Itu belum tersedia bahkan untuk melakukan konversi BBM ke listrik bengkelnya ditunjuk oleh Kementerian ESDM jumlah terbatas, maka sangat terbatas,” ucap dia.

Ketiga, perilaku konsumen masyarakat Indonesia ini dipengaruhi apakah harga jual bekas motor listrik tinggi atau tidak. Sebab, tidak ada jaminan bahwa harga bekas motor listrik masih tinggi ketika dijual kembali.

“Jadi tiga faktor itu yang harus dibenahi dulu oleh pemerintah,” imbuh dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra, menambahkan insentif untuk kendaraan listrik ini tidak bisa hanya diberikan melalui subsidi harga kendaraan listrik saja. Sebab, hal ini sangat tidak efisien ke depannya, karena yang akhirnya lebih menikmati adalah industri otomotif skala besar.

“Insentif untuk percepatan kendaraan listrik juga dapat diberikan selaras dengan skema pengaturan bahan bakar subsidi misalnya,” ucap dia kepada Tirto, Jumat (17/11/2023).

Energy Watch sendiri sangat mendukung pemberian subsidi bisa diberikan langsung kepada masyarakat yang memang berhak menerima, dibandingkan dengan subsidi langsung ke harga bahan bakar. Seperti halnya India, bagaimana mereka memberikan insentif terhadap bahan bakar sebagai langkah yang cukup baik.

“Harga bahan bakar yang dijual adalah harga tanpa subsidi, lalu masyarakat yang menjadi target subsidi dapat mengklaim/reimburse kepada pemerintah selisih harganya kemudian dan langsung masuk ke rekening masing-masing,” pungkas dia.

Baca juga artikel terkait KENDARAAN LISTRIK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz