Menuju konten utama

Potret Buruk Kondisi Ekonomi Nasional dalam Survei Indikator

Ekonom CORE sebut persepsi buruk masyarakat terhadap ekonomi nasional yang dipotret survei Indikator merupakan hal yang dihadapi warga sehari-hari.

Potret Buruk Kondisi Ekonomi Nasional dalam Survei Indikator
Calon pembeli mengecek kualitas beras di Pasar Larangan, Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (2/3/2023). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/tom.

tirto.id - Hasil survei Indikator memotret masih banyak masyarakat belum puas terhadap kondisi ekonomi nasional. Umumnya kondisi ekonomi dinilai sedang oleh masyarakat. Tapi lebih banyak yang menilai buruk atau sangat buruk ketimbang yang menilai baik atau sangat baik.

Masyarakat yang menilai kondisi ekonomi nasional sangat baik hanya mencapai 2,4 persen, baik 23,9 persen, dan sedang 40,4 persen. Sementara, sebanyak 28,1 persen masyarakat menilai kondisi perekonomian nasional buruk dan sangat buruk 4,1 persen.

Survei Indikator ini dilakukan sejak 27 Oktober hingga 1 November 2023. Adapun jumlah sampel pada survei ini sebanyak 1.220 responden yang tersebar di seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional.

Penarikan sampel dalam survei ini menggunakan metode multi stage random sampling. Dengan asumsi metode tersebut, ukuran sampel 1.220 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error) sekitar ±2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20 persen dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Hasilnya dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.

“Kami lihat trennya yang mengatakan merah atau persepsi ekonomi nasional buruk itu lebih banyak, bahkan sempat crossing di Agustus 2023 setelah kenaikan harga beras,” kata Peneliti Utama Indikator, Burhanuddin Muhtadi, dalam rilis survei nasional, yang disiarkan di YouTube Indikator Politik Indonesia.

Beras menjadi salah satu komoditas yang belakangan harganya terus meningkat dan menjadi keluhan masyarakat. Jika mengacu kepada survei harga produsen beras di penggilingan yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 856 perusahaan penggilingan di 31 provinsi, seluruhnya mengalami kenaikan.

Pada Oktober 2023 misalnya, rata-rata harga beras di penggilingan kualitas premium sebesar Rp13.372 per kg, naik sebesar 3,65 persen dibandingkan bulan lalu. Demikian pula, rata-rata harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp13.012 per kg, naik sebesar 2,57 persen, dan rata-rata harga beras di penggilingan luar kualitas sebesar Rp12.381 per kg, naik sebesar 5,41 persen.

Kemudian, jika dibandingkan Oktober 2022, rata-rata harga beras di penggilingan pada Oktober 2023 untuk kualitas premium, medium, dan luar kualitas masing-masing naik sebesar 28,54 persen; 29,55 persen; dan 30,11 persen.

Sementara jika melihat data terbaru, dari panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga beras premium per Senin (13/11/2023) juga naik. Rerata harganya mencapai Rp15.000 per kg dari yang sebelumnya menyentuh Rp14.970 per kg.

Naiknya harga beras premium telah terjadi di beberapa daerah. Harga beras premium termahal dibanderol Rp35.000 per kg di Kabupaten Puncak, Papua. Sedangkan, untuk yang termurah dipatok Rp13.000 per kg di Kabupaten Jombang, Jawa Timur.

“Tetapi tren peningkatan sentimen negatif terhadap ekonomi nasional cenderung agak menurun dibanding awal Oktober meskipun net-nya negatif kita punya data rutin bisa mengecek kapan naik kapan turun,” ujar Burhanuddin.

Penyebab Kondisi Ekonomi Nasional Buruk di Mata Publik

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai cerminan persepsi 'buruk' masyarakat terhadap kondisi ekonomi nasional tidak lepas dari tingginya beberapa harga kebutuhan pokok yang belakangan dikeluhkan oleh masyarakat. Komoditas pangan seperti daging ayam, telur, gula, hingga minyak goreng kemasan diketahui telah mengalami peningkatan harga.

Masih merujuk data panel harga pangan yang dilansir dari laman Bapanas, daging ayam terpantau mengalami peningkatan harga. Rerata harganya mencapai Rp34.710 per kg dari yang sebelumnya menyentuh Rp34.480 per kg.

Naiknya harga daging ayam telah merambah ke semua daerah. Harga daging ayam termahal dibanderol Rp60.000 per kg di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur. Sedangkan, untuk yang paling murah dipatok Rp22.000 per kg di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

Harga telur juga tengah mengalami peningkatan. Rerata harganya mencapai Rp28.140 per kg dari yang sebelumnya menyentuh Rp27.860 per kg. Kenaikan harga telur terjadi beberapa daerah. Harga telur termahal dibanderol Rp85.000 per kg di Kabupaten Puncak, Papua. Sedangkan, untuk yang termurah dibanderol Rp21.000 per kg di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Gula hingga saat ini juga masih terus merangkak naik harganya. Rerata mencapai Rp16.330 per kg dari yang sebelumnya Rp16.250 per kg. Minyak goreng kemasan juga ikut mengalami kenaikan harga. Rerata harganya mencapai Rp17.410 per kg dari yang sebelumnya menyentuh Rp17.300 per kg.

"Masyarakat masih banyak mengeluh soal harga kebutuhan pokok naik tidak dibarengi kenaikan yang tinggi soal upah," kata Bhima kepada Tirto, Senin (13/11/2023).

Kemudian, lanjut Bhima, masalah angka pengangguran di dalam negeri juga masih menjadi cerminan buruk penilaian masyarakat terhadap kondisi perekonomian nasional hari ini. Jika merujuk data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) jumlah pengangguran di Indonesia pada Agustus 2023 mencapai 7,86 juta orang dari total angkatan kerja sebanyak 147,71 orang.

Angka di atas sebenarnya relatif turun 6,77 persen atau sekitar 560.000 orang jika dibandingkan pada periode sama tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 8,42 juta orang.

Dari komposisinya, angkatan kerja pada Agustus 2023 terdiri dari 139,85 juta orang penduduk yang bekerja dan 7,86 juta orang sisanya belum bekerja. Bila dibandingkan Agustus 2022, jumlah angkatan kerja meningkat sebanyak 3,99 juta orang, penduduk bekerja bertambah sebanyak 4,55 juta orang, sementara pengangguran berkurang sebanyak 0,56 juta orang.

“Masih ada 7,86 juta orang yang menganggur,” ucap Bhima.

Di sisi lain, masalah kepemilikan rumah sampai hari ini juga masih tidak terjangkau anak muda. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sebanyak 10,51 juta rumah tangga di Indonesia belum memiliki rumah pada 2022. Dari jumlah itu, sebanyak 4,39 juta rumah tangga yang belum punya rumah merupakan generasi milenial.

Generasi X yang belum punya rumah sebanyak 4,30 juta rumah tangga. Kemudian, sebanyak 1,51 juta rumah tangga yang belum memiliki rumah merupakan generasi baby boomer.

Ada pula, generasi pre-boomer yang belum punya rumah sebanyak 201.371 rumah tangga. Sedangkan, generasi Z yang belum memiliki hunian sebanyak 97.903 rumah tangga.

Lebih lanjut, ada 6,13 juta rumah tangga yang kini masih tinggal di rumah bebas sewa. Sebanyak 3,95 juta rumah tangga tinggal di rumah kontrak/sewa.

Rumah tangga yang masih tinggal di rumah dinas sebanyak 423.661. Sementara, ada 4.410 rumah tangga yang masih tinggal di rumah lainnya.

Sebagai catatan, kepemilikan rumah yang dimaksud ialah rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri. Selain itu, rumah tangga yang menempati bukan rumah sendiri, tetapi memiliki rumah di tempat lain masuk dalam kategori kepemilikan rumah.

“Selain itu, sebagian mulai khawatir pemilu tidak mendorong ekonomi, justru banyaknya drama politik membuat masyarakat menahan belanja,” kata Bhima.

Persepsi Buruk yang Sesuai Kehidupan Sehari-hari

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Mohammad Faisal, mengatakan persepsi buruk masyarakat terhadap keadaan ekonomi nasional yang dipotret dalam survei Indikator tersebut merupakan hal yang dihadapi mereka sehari-hari. Di mana salah satunya adalah permasalahan harga barang.

“Memang salah satunya bisa mengenai permasalahan harga harga barang. Persepsi masyarakat memang relatif buruk kalau ada kenaikan harga barang khususnya harga pangan,” kata dia kepada Tirto, Senin (13/11/2023).

Selain biaya hidup, masyarakat umumnya juga memotret potensi pendapatan ke depan. Hal ini tentu berkaitan dengan prospek bagaimana ekonomi tumbuh ke depan dan nasib pekerjaan mereka di masa depan akan datang.

“Ini yang juga mungkin memengaruhi persepsi buruk tersebut, jadi ada kemungkinan memang dari sisi penjualan dan pendapatan tidak ada kenaikan yang signifikan,” kata Faisal.

Jika berkaca pada akhir 2022, rata-rata upah riil mengalami penurunan dibandingkan dengan upah nominal. Upah nominal buruh tani misalnya, tercatat Rp59.226 per hari pada Desember 2022. Angka itu naik 0,22 persen dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm) sebesar Rp59.096 per hari.

Namun, upah riil buruh tani pada Desember 2022 menurun 0,73 persen dibanding November 2022, yakni dari Rp51.830 menjadi Rp51.453 per hari.

Upah nominal adalah rata-rata upah harian yang diterima buruh sebagai balas jasa pekerjaan. Sementara upah riil adalah daya beli dari pendapatan/upah yang diterima buruh/pekerja.

BPS juga mencatat, rata-rata nominal upah buruh bangunan pada Desember 2022 naik 0,04 persen dibanding November 2022, menjadi Rp94.072 per hari. Sementara, upah riil buruh bangunan menurun 0,62 persen menjadi Rp82.762 per hari.

Lalu, rata-rata upah nominal asisten rumah tangga (ART) naik 0,08 persen menjadi Rp437.416 per bulan pada periode yang sama, sedangkan upah riilnya turun 0,58 persen menjadi Rp384.885 pada Desember 2022.

“Kalau kita melihat misal upah riil itu tidak ada kenaikan signifikan atau beberapa pekerjaan justru mengalami penurunan. Upah riil yang saya maksudkan bukan upah nominal meskipun upah nominal naik,” kata Faisal.

Dari sisi spending atau pengeluaran, penjualan ritel juga masih tercatat mengalami pelemahan. Jika melihat data Indeks Penjualan Riil (IPR) nasional pada September 2023, turun 1,9 persen dibanding bulan sebelumnya, sekaligus mencapai level terendah sejak awal tahun ini. IPR adalah indikator konsumsi rumah tangga yang dipantau melalui kinerja pedagang retail atau pengecer.

Saat angka IPR naik, penjualan riil pedagang retail diasumsikan meningkat, yang mengindikasikan pula adanya kenaikan konsumsi masyarakat. Sebaliknya, jika angka IPR turun, maka penjualan retail dan konsumsi masyarakat diasumsikan berkurang.

Penurunan indeks penjualan secara bulanan terjadi di semua sektor retail yang disurvei, yakni suku cadang dan aksesori; makanan, minuman dan tembakau; bahan bakar kendaraan bermotor; peralatan informasi dan komunikasi; perlengkapan rumah tangga; barang budaya dan rekreasi; serta barang lainnya.

Namun, jika dibandingkan dengan September 2022, maka indeks penjualan pada September tahun ini sedikit lebih baik, yakni tumbuh 1 persen (year-on-year).

“Pertumbuhan penjualan ritel ini kan lambat sekali, 1 persen saja kenaikan secara tahunan walaupun tidak alami kontraksi atau penurunan seperti di mana pada masa pandemi dulu,” kata Faisal.

Terlepas, dari persepsi buruk masyarakat terhadap kondisi perekonomian nasional, laju pertumbuhan ekonomi domestik pada kuartal III-2023 juga mengalami pelemahan. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,94 persen secara tahunan (yoy) pada kuartal III 2023.

Angka pertumbuhan dari produk domestik bruto (PDB) itu hanya tumbuh 1,60 persen (quarter-to-quarter/qtq) bila dibandingkan kuartal II 2023 sebesar 5,17 persem secara tahunannya (yoy). Nilai kuartal III 2023 juga lebih rendah dari kuartal III 2022 yang sempat mencapai 5,73 persen (yoy).

Dalam konferensi pers bersama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, sempat mengakui pertumbuhan ekonomi kuartal III tidak sesuai dengan ekspetasi perhitungan Kementerian Keuangan. Apalagi konsumsi belanja masyarakat tercatat lebih rendah. Padahal konsumsi rumah tangga menjadi salah satu penentu karena sebagai kontributor terbesar dalam pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

“Untuk konsumsi yang dikeluarkan oleh BPS memang relatif rendah dari yang kita ekspektasi dan kita melihat consumer confident tinggi, tapi translation kepada konsumsi ternyata tidak setinggi yang kita harapkan, ini perlu kita lihat pengaruhnya apa, apakah psikologis dengan kondisi El Nino, harga beras naik, dan berbagai faktor," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (6/11/2023).

Baca juga artikel terkait EKONOMI NASIONAL atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz