tirto.id - Tidak ada yang menyangka nama PEPES menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan di media beberapa hari terakhir. Kelompok relawan pendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tersebut bikin geger lantaran diduga menyebarkan kampanye hitam terhadap pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
PEPES adalah singkatan dari “Partai Emak-emak Pendukung Prabowo-Sandi”. Seperti namanya, kelompok relawan ini memang anggotanya terdiri dari "emak-emak", sebutan akrab ibu rumah tangga. Kelompok ini relatif tak adem ayem sejak dideklarasikan pada 11 Agustus lalu dan baru mencuat lantaran isu kampanye hitam yang mendera sejumlah anggotanya.
Pada Minggu (24/2) lalu, polisi menangkap tiga orang ibu-ibu yang diduga anggota PEPES (inisial ES, IP dan CW) sekitar pukul 23.30 karena mereka diduga melanggar UU ITE dan Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 Peraturan Hukum Pidana tentang penyebaran berita bohong.
Dalam video aktivitas mereka yang beredar di media sosial, mereka nampak berkampanye dari rumah ke rumah sembari menyebarkan kabar burung bahwa jika pasangan Jokowi-Amin terpilih menjadi presiden dan wakil presiden, pemerintah akan melarang azan dikumandangkan. Tidak hanya itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan sesama jenis juga akan dilegalkan di Indonesia.
Kabid Humas Polda Jabar Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (24/2) lalu. “ITE itu terkait sarana di medsos yang digunakan ... Namun, kegiatan riil-nya itu terkait berita bohong yang diatur dalam KUHP,” jelas Wisnu.
Sehari sebelumnya, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Amin memang telah melaporkan Pepes ke Polda Jabar dengan tuduhan kampanye hitam. Menurut Direktur Komunikasi Politik TKN Usman Kansong, apa yang dilakukan oleh ibu-ibu tersebut masuk dalam ranah ujaran kebencian sehingga dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam.
Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Fadli Zon, mengatakan bahwa BPN sendiri terbuka untuk memberikan bantuan hukum pada ketiga relawan PEPES itu. “Saya kira pasti. Pasti ada,” katanya pada Selasa.
Gerakan Kaum Ibu Konservatif Inggris
Keterlibatan kaum ibu di kancah politik sesungguhnya sudah sering nampak di berbagai belahan dunia, mulai dari Inggris, Amerika Serikat, hingga Amerika Latin. Ideologinya pun beragam. Gerakan "emak-emak" bahkan bisa ditemukan pada protes kaum perempuan di depan Istana Versailles, 5 Oktober 1789. Aksi ini kelak dicatat sebagai salah satu episode penting dalam sejarah Revolusi Perancis (1789-1794).
Di Argentina, kaum ibu yang kehilangan anak di bawah penindasan rezim militer (1976-1983) mengorganisir diri dan menggelar protes rutin di alun-alun kota. Gerakan bernama Asociación Madres de Plaza de Mayo (Asosiasi Ibu Plaza de Mayo) ini menuntut pertanggungjawaban rezim atas kasus-kasus pelanggaran HAM sejak 1977 hingga 1983.
Tapi, politik "emak-emak" tak hanya menorehkan sejarah dalam gerakan progresif atau kiri. Kaum konservatif di banyak tempat pun mengorganisir kaum ibu.
Di Inggris, misalnya, ada organisasi bernama British Housewives League (BHL) yang eksis pada 1950-an. Diinisiasi oleh Irene Lovelock pada 1945, organisasi ini fokus menolak pembatasan jatah pangan (rationing) di tengah krisis ekonomi pasca-Perang Dunia II di Inggris.
Studi James Hinton bertajuk “Militant Housewives: the British Housewives’ League and the Attlee Government” (1994) menyuguhkan latar belakang kemunculan BHL. Pada masa pemerintahan Clement Attlee (1945-1951) yang berasal dari Partai Buruh, situasi Inggris memang sedang serba susah. Pangan dan kebutuhan rumah tangga lainnya jadi isu politik sehari-hari. Saat itu Perang Dunia II baru berakhir dan Inggris kehilangan banyak koloninya, termasuk India. Namun selama pemerintahan Atlee pula jaminan kesehatan (NHS) dan program-program kesejahteraan sosial, dan rekonstruksi ekonomi mulai bergulir. Intervensi negara di berbagai bidang pun tak terhindarkan.
Amy C. Whipple dalam studi berjudul “‘Into Every Home, Into Every Body’: Organicism and Anti-Statism in the British Anti-Fluoridation Movement, 1952–1960” menyatakan salah satu inisiatif paling gencar yang diselenggarakan BHL adalah adalah kampanye anti-fluoridasi pada pasokan air kran di negara tersebut. Yang perlu dicatat, BHL merupakan organisasi ibu-ibu rumah tangga yang memiliki afiliasi dengan kelompok sayap kanan di Inggris, salah satunya British League of Rights, sebuah organisasi pendukung supremasi kulit putih.
Protes BHL terhadap kebijakan fluoridasi pemerintah Inggris berangkat dari kekhawatiran mereka akan peningkatan kandungan kimia pada makanan serta meningkatnya otoritas negara di lingkungan privat, misalnya di rumah tangga.
Menariknya, selain memprotes inisiatatif utama Kementerian Kesehatan Inggris kala itu, pada saat yang bersamaan, BHL juga “mengajak anggota mereka untuk lebih terdidik dan menjadi warga negara yang lebih aktif.” Ajakan ini adalah bagian dari strategi kampanye BHL. Menurut BHL, warga hanya bisa mempertahankan rumah tangganya dari kuasa negara melalui protes-protes terorganisir.
Menolak PBB
Tak hanya di Inggris, gerakan konservatif "emak-emak" pun tumbuh di AS. Pasca-Perang Dunia II, isu yang mereka sasar adalah internasionalisme ala PBB.
Sebagaimana dicatat oleh Michelle M. Nickerson dalam buku berjudul Mothers of Conservatism: Women and the Postwar Right (2012), sejumlah ibu rumah tangga kelas menengah yang dipimpin oleh wanita bernama Lucinda Benge menggelar protes di kota Los Angeles, tepatnya di Balai Kota, pada Desember 1950. Yang dipermasalahkan ibu-ibu yang terorganisir dalam ormas bernama Women for America ini sesungguhnya sederhana: mereka menolak pemasangan bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di setiap gedung pemerintahan setempat. Menurut mereka, kehadiran bendera PBB menciderai kedaulatan AS sekaligus simbol bahwa patriotisme terancam oleh internasionalisme.
Rencana aksi yang sudah dibuat sejak Agustus tersebut tidak sukses. Namun, empat bulan setelah kegagalan di bulan Desember itu, mereka kembali menggelar aksi menuju Hall of Records untuk mengenyahkan bendera PBB dari ruang-ruang rapat. Sebanyak 20 ibu nyaris berhasil menurunkan bendera PBB sebelum akhirnya dihentikan oleh polisi.
Sekalipun tak punya dampak besar pada kondisi politik di AS pada saat itu, Nickerson mencatat kiprah Women for America Women for America turut membentuk wajah ideologi konservatif Amerika hari ini, khususnya dalam pandangan terkait gender dan seksualitas.
Sejak 1970-an, gerakan-gerakan ibu rumah tangga semacam ini menjadi salah satu organ akar rumput golongan Republikan yang cirinya adalah anti-pemerintah pusat (anti-federalism), anti-pajak, dan menolak intervensi negara di ranah ekonomi dan rumah tangga, termasuk untuk isu-isu reproduksi dan seksualitas. Sejak terpilihnya Donald Trump sebagai presiden, sentimen anti-imigran, anti-Muslim, dan anti-LGBT juga semakin mengemuka di basis-basis pemilih konservatif.
Mengutip Nickerson, “Para perempuan konservatif pada era Perang Dingin telah menciptakan realitas politik yang mereka ketahui melalui berbagai macam praktik diskursif ... mulai dari buletin, pidato, hingga kelompok-kelompok belajar dan toko buku”.
Editor: Windu Jusuf