tirto.id - Banyak yang bilang kerja itu cuma alat, entah buat bayar tagihan, menabung buat liburan, atau sarana naik jabatan. Tapi, coba lihat dari sudut lain: kerja adalah panggung buat memahami diri sendiri.
Setiap email menyebalkan, pimpinan yang bikin gemas, deadline yang membuat jantungan, adalah kesempatan buat mencari tahu: “Gue orang yang kayak gimana, sih, di tengah kekacauan ini?”
Misalnya, ketika kamu berhasil menyelesaikan proyek meski tim sedang kacau, itu menunjukkan kamu punya ketangguhan. Ketika kamu tetap sabar meski klien komplain tanpa alasan, itu membuktikan kamu bisa mengelola emosi.
Bukan Cuma Karier, Tapi Sensemaking Diri
Manusia adalah makhluk pencerita. Kita merangkai kisah untuk memahami pengalaman, menemukan arah, dan membentuk identitas di tengah dunia yang tak selalu masuk akal. Pekerjaan, dengan segala lika-likunya, memberi bahan bakar bagi narasi itu.
Banyak profesional modern merasa terjebak dalam rutinitas kerja yang monoton dan dipenuhi masalah tanpa akhir. Ini bukan sekadar kelelahan, tapi sering menjadi tanda bahwa seseorang butuh makna dan arah dalam pekerjaannya.
Rasa jenuh, bingung, dan tak puas ini mencerminkan gejala umum dari krisis seperempat abad (quarter-life crisis). Fase saat seseorang penuh kegelisahan, ketidakpastian, hingga depresi ringan yang dialami generasi muda pasca-pandemi.
Lingkungan kerja yang absurd juga memperburuk keadaan. Untuk menghadapi ini, pendekatan sensemaking bisa jadi alat penting. Bukan untuk mencari jawaban instan, tapi memahami bagaimana kita memberi makna pada pengalaman sehari-hari. Lewat proses aktif ini, tekanan kerja bisa diolah menjadi bahan untuk membentuk jati diri.
Di dunia kerja, sensemakingmembantu individu menghadapi situasi absurd dan menantang sambil merajut makna dan arah. Karl Weick menggarisbawahi bahwa sensemaking tidak bisa dipisahkan dari identitas. Cara seseorang melihat dirinya dalam konteks kerja membentuk cara ia memahami dan merespons dunia sekitar.

Identitas tidak hanya dibentuk, tetapi juga menginisiasi proses pemaknaan. Dalam praktiknya, kita cenderung menafsirkan peristiwa setelah semuanya terjadi, belajar ke belakang, untuk memahami masa kini dan mengantisipasi masa depan.
Proses sensemaking juga bukan sesuatu yang selesai dalam satu waktu. Ia terus berlangsung, mengikuti arus peristiwa yang tak henti. Dalam dinamika kerja yang berubah cepat, kita cenderung memilih isyarat-isyarat tertentu dari lingkungan untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Kita menafsirkan situasi bukan dengan kebenaran mutlak, tapi berdasarkan apa yang terasa masuk akal dan bisa diandalkan. Bahkan, lewat tindakan dan interpretasi, kita secara aktif turut membentuk realitas yang sedang kita coba pahami.
Di dunia kerja yang sarat ketidakpastian, sensemaking bukan hanya alat bertahan, ia cara untuk tetap waras, membentuk makna, dan terus merakit siapa kita sebenarnya.
Mengapa Pekerjaan Terasa Begitu-begitu Saja?
Selain pendekatan klasik ala Weick, berkembang pula kerangka baru bernama Multifaceted Sensemaking Theory (MSM). Teori ini seperti diungkapkan dalam penelitian MDPI Journals membentangkan proses sensemaking ke dalam sembilan tahapan, dari tahap awal sensing (merasakan gejala awal) hingga impact (dampak atau pengaruh nyata).
Tidak hanya menyoal bagaimana individu menafsirkan pengalaman secara pribadi, MSM juga menyoroti pentingnya dimensi sosial. Uniknya, teori ini menggarisbawahi bahwa sensemaking tidak terjadi pada satu tingkat saja. Ia berlangsung secara berlapis: dari individu, kelompok kerja, organisasi, hingga masyarakat luas. Setiap tingkat punya dinamika sendiri, sehingga cara pendekatannya pun harus disesuaikan.
Dalam konteks ini, MSM memperkenalkan teknik membaca dan membingkai makna harus lentur, bisa disesuaikan dengan kompleksitas lingkungan yang dihadapi.
Ungkapan “kerja kok begini terus” kerap muncul dari pengalaman menghadapi absurditas di tempat kerja. Artikel akademis dari Ephemera Journal melihat praktik tersebut akhirnya dinormalisasi (hypernormalization), meskipun tidak logis dan absurd.
Contohnya, dalam sistem layanan kesehatan, tenaga profesional bisa kewalahan bukan karena pasien, tapi karena tenggelam dalam birokrasi: terlalu sibuk mengisi formulir dibanding menjalankan tugas inti.
Meski absurditas bersifat subjektif, ia sering kali disepakati bersama. Rasa frustrasi yang dirasakan banyak pekerja, justru dari kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang diciptakan oleh sistem itu sendiri.
Inilah titik di mana sensemaking menjadi penting. Ketika realitas kerja tidak bisa dijelaskan dengan akal sehat, kita dipaksa untuk membingkai ulang pengalaman dan mempertanyakan posisi serta peran diri.
Proses ini memang tidak nyaman, tapi justru di situlah letak peluang. Absurditas yang menyebalkan itu bisa menjadi celah awal untuk refleksi, pembaruan, dan perumusan identitas yang lebih jujur terhadap diri sendiri dan dunia kerja.

Bertindak untuk Berpikir dan Menjadi
Herminia Ibarra dalam bukunya Working Identity: Unconventional Strategies for Reinventing Your Career (2003) menawarkan perspektif yang menyegarkan tentang transformasi karier, menantang pandangan konvensional bahwa perubahan karier dimulai dari introspeksi mendalam.
“Saat terjebak dalam rawa masa transisi, kita sangat berharap akan datangnya momen menentukan yang akan mendorong kita untuk bertindak cepat dan tegas,” tuturnya di halaman 158.
Pendekatan ini senada dengan gagasan enactment dalam teori sensemaking ala Karl Weick, di mana seseorang membentuk dan dipengaruhi oleh dunia secara bersamaan. Lewat tindakan, bukan wacana kosong, kita menciptakan konteks baru, lalu memahami diri dari interaksi yang lahir di situ.
Jadi, karier bukanlah hasil dari perencanaan yang sempurna di atas kertas, tapi dari keberanian mencoba, membaca ulang pengalaman, dan memperbaiki arah di tengah perjalanan.
Herminia Ibarra juga menilai perubahan karier bukanlah proses linier dan rapi, melainkan perjalanan panjang yang berliku, penuh kebingungan, harapan palsu, dan awal yang salah arah. Di tengah perjalanan itu, seseorang kerap berada dalam ruang liminal, fase “di antara”, saat peran lama sudah mulai ditinggalkan, tapi masa depan belum punya bentuk jelas.
Inilah titik rawan, saat identitas terasa menggantung dan ketidakpastian menyerbu dari segala arah. Namun, justru di ruang tak nyaman inilah kerja identitas terjadi, bukan sebagai perenungan pasif, tetapi sebagai fase aktif untuk bertahan, mengamati, dan perlahan merakit arah baru.
Alih-alih memaksa jawaban cepat, Ibarra menyarankan pendekatan eksploratif melalui jalur paralel: mencoba proyek sampingan, peran sementara, atau percobaan kecil untuk mengeksplorasi kemungkinan identitas baru.
Pada proses ini, penting untuk meningkatkan toleransi terhadap ketidakpastian, menetapkan tujuan-tujuan kecil yang realistis, serta menjaga ruang untuk aktivitas yang memperkaya, baik di dalam maupun di luar konteks transisi.
Karena kadang, jalan keluar dari kebingungan bukan ditemukan, melainkan dipijak sedikit demi sedikit.
Menemukan Makna di Tengah Kekacauan
Makna lahir dari obrolan, diskusi, dan pengalaman sosial yang berulang, bukan dari pemikiran pribadi yang terisolasi. Karena itu, kerja tim dan dialog kolektif menjadi kunci dalam membentuk pemahaman bersama.
Di tengah tekanan dan absurditas dunia kerja, ketahanan psikologis menjadi semacam perisai mental yang sangat dibutuhkan. Bukan semata soal tahan banting, tapi soal kemampuan beradaptasi dengan cara yang sehat dan positif saat situasi tak menentu menerpa.
Individu yang memiliki ketahanan ini bukan hanya mampu pulih dari stres, tetapi juga membantu timnya tetap stabil dalam situasi krisis. Ketahanan mencakup kemampuan melawan kelelahan emosional, menjaga rasa pencapaian, dan menghindari depersonalisasi, kehilangan rasa keterhubungan dengan pekerjaan.
Dalam menghadapi tekanan dan absurditas kerja, berbagai jenis pemulihan berperan penting untuk menopang dimensi ketahanan yang berbeda. Studi pada Februari 2025 menunjukkan bagaimana detasemen psikologis dan relaksasi sangat krusial dalam melindungi individu dari kelelahan emosional.
Ini bukan tentang pelarian, tetapi kemampuan untuk secara sadar melepaskan diri dari beban kerja di luar jam kerja, memberi ruang bagi ketenangan tubuh dan pikiran. Aktivitas semacam ini memberi individu perasaan kompeten dan bertumbuh, bahkan di tengah tekanan.
Studi yang dilakukan kepada 289 responden tersebut menggunakan pendekatan mengukur ketahanan di tiga dimensi kelelahan: kelelahan emosional, depersonalisasi, dan pencapaian pribadi.
Penelitian juga menemukan bahwa setiap orang membawa kebutuhan dan ritme berbeda, sehingga strategi pembangunan ketahanan tidak bisa seragam. Harus fleksibel, adaptif, dan peka terhadap konteks unik masing-masing individu.
Dalam menghadapi krisis dan tekanan, dukungan sosial dari teman, keluarga, rekan kerja, maupun mentor sering kali menjadi jangkar penting. Mereka bukan hanya penopang emosional, tetapi juga penyedia perspektif baru yang membantu individu melihat jalan keluar saat kabut kebingungan belum sepenuhnya sirna.
Namun, yang tak kalah penting adalah kesadaran diri, kemampuan untuk mengenali emosi, kelelahan, atau preferensi hidup yang tak lagi selaras dengan realitas yang dijalani. Kesadaran ini menjadi kompas awal menuju pemulihan dan pemenuhan yang lebih bermakna.
Jadi, mengapa kerja kok begini terus? Sebab kerja adalah cerminan hidup itu sendiri: penuh masalah, tidak selalu jelas, tapi juga penuh pelajaran sebagaimana diungkap Herminia Ibarra, “[...] bahwa kita belajar dengan cara yang berulang dan berlapis-lapis.”
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi
Masuk tirto.id


































