Menuju konten utama
Edusains

Bahasa Korporat, Bahasa Elitis Buruh Kerah Putih

Bahasa korporat menciptakan gaya komunikasi baru, memunculkan jargon-jargon baru, tetapi di sisi lain menimbulkan risiko alienasi baru.

Bahasa Korporat, Bahasa Elitis Buruh Kerah Putih
Ilustrasi diskusi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Di sudut ruang kerja sebuah agensi kreatif Jakarta, Ayuni, seorang Account Executive berusia 27 tahun, menatap layar laptopnya dengan alis sedikit berkerut. Klien baru saja mengeluh: iklan di Facebook Ads yang seharusnya tayang kemarin ternyata salah jadwal.

Dengan nada tenang tapi tegas, Ayuni berbalik ke rekannya, penulis konten bernama Dika, “Dik, kita perlu escalate isu ini ke tim media, ASAP. Klien udah flag soal jadwal, dan aku udah loop in mereka via email. Untuk sekarang, kita align dulu sama brief awal, biar ga ada miscomm. Bisa bantu draft respons ke klien sebelum EOD?”

Dika mengangguk, seraya menjawab singkat, “Noted, Yu. Aku circle back setelah sync sama tim.”

“Meeting lagi, ya, nanti siang! Kita review KPI dan action plan yang kemarin. Jangan lupa deliverable-nya disiapkan ASAP, nanti kita circle back lagi untuk finalisasi,” tukas Ayuni yang langsung melenggang ke kubikelnya.

Percakapan penuh jargon, yang terdengar seperti kode rahasia, tersebut adalah contoh penggunaan bahasa korporat. Ialah ciri khas dunia kerja modern yang penuh dengan istilah trendi, perpaduan bahasa Inggris-Indonesia.

Tapi, di balik itu ada cerita panjang tentang proses kelahiran bahasa korporat, juga evolusi dan pengaruhnya terhadap cara para buruh bekerja, termasuk penyikapan Ayuni yang tetap tenang di tengah krisis klien.

Dari Barak ke Ruang Rapat

Jauh sebelum ruang rapat dipenuhi istilah-istilah seperti strategi pemasaran, logistik acara, siap, serta izin, banyak dari kosakata inti dunia korporat modern ditempa di medan perang dan barak militer.

Secara global, khususnya di Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II, terjadi integrasi besar-besaran para veteran militer ke dalam dunia bisnis yang sedang berkembang pesat. Mereka tidak hanya membawa keahlian teknis, tetapi juga leksikon dan cara berpikir yang terbentuk selama masa dinasnya.

Istilah-istilah fundamental, seperti strategy (strategi), tactics (taktik), logistics (logistik), serta boots on the ground (pasukan di lapangan), mulai diadopsi secara luas. Tujuannya awalnya adalah menanamkan tingkat presisi, efisiensi, dan keseriusan yang sama seperti dalam operasi militer ke dalam lingkungan korporat.

Adopsi tersebut bukan sekadar peminjaman kata secara acak. Dunia militer dan bisnis pada dasarnya memiliki banyak kesamaan: keduanya berorientasi pada pencapaian tujuan, berstruktur hierarkis, serta sangat bergantung pada perencanaan dan eksekusi cermat. Bahkan, filosofi militer dianggap dapat memberikan pelajaran berharga bagi para manajer.

Pada abad ke-19, Carl von Clausewitz pernah menganalisis prinsip-prinsip perang, yang kemudian dituangkan dalam The Principles of War. Karya tersebut merupakan salah satu "panduan" penting bagi para peneliti perang era mendatang. Di antara prinsip-prinsip yang ditelitinya adalah objective, offensive, mass, economy of force, maneuver, unity of command, security, surprise, dan simplicity.

Menariknya, semua istilah dan prinsip perang yang diteliti oleh Clausewitz dapat diterapkan secara silang ke dunia bisnis. Itulah salah satu muasal penggunaan kata objective, yang bermakna 'tujuan'; bukan objektif dalam bahasa Indonesia yang berarti 'mengenai keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi'.

Penyalinan leksikon dari militer ke bisnis sejatinya adalah transfer paradigma. Istilah strategi dan taktik tidak hanya masuk sebagai kosakata baru, tetapi membawa serta seluruh kerangka konseptual tentang perencanaan, persaingan, dan pencapaian tujuan yang berakar dari doktrin militer.

Sebagaimana diungkapkan oleh Leon Prieto, jargon korporat merupakan produk sampingan dari integrasi budaya dan profesional para veteran militer. Bahasa yang bernuansa disiplin dan pemikiran strategis menemukan tempat alami dalam dunia bisnis.

ilustrasi bahasa korporat

Ilustrasi diskusi. FOTO/iStockphoto

Di Indonesia, resonansi pengaruh militer dalam bahasa juga cukup terasa, salah satunya melalui penggunaan kata siap. Kata ini berakar dari tradisi militer TNI, bukan sekadar ungkapan kesediaan, melainkan simbol kesiapan fisik-mental, kedisiplinan, solidaritas, dan kesantunan hierarkis.

Kata siap meresap ke dunia profesional dan keseharian, jadi penanda penerimaan tugas atau konfirmasi cepat. Penyebarannya tak lepas dari sejarah militer Indonesia, terutama pada era Orde Baru dengan Dwifungsi ABRI, yang menempatkan militer di ranah sosial, politik, hingga bisnis. Bahkan, terminologi ABRI banyak terinspirasi dari militer AS.

Di tempat kerja, siap mencerminkan penetrasi nilai militer ke ranah sipil. Demikian pula ketika seseorang hendak menyela diskusi atau sekadar bertanya, sering kali didahului dengan kata izin atau punten. Sering kali tanpa disadari, hal itu mewajarkan kepatuhan dan mengagungkan hierarki dalam budaya kerja.

Campur Kode dan Serbuan Istilah Asing

Selain jargon-jargon militer, di Indonesia, bahasa korporat modern juga kental dengan penggunaan Indoglish, perpaduan antara Bahasa Indonesia dan Inggris. Dari rapat hingga surel, campur kode ini jadi gaya komunikasi yang tak hanya fungsional, tapi juga penuh makna strategis, mencerminkan identitas profesional yang global sekaligus lokal.

Selain dalam dunia kerja, sebuah penelitian Universitas Negeri Surabaya menyebut Indoglish juga banyak ditemukan di ranah pendidikan, terutama buku-buku fiksi. Menurut penelitian tersebut, proses penyerapan istilah asing terjadi melalui adopsi utuh, adaptasi ejaan, penerjemahan, hingga kreasi baru.

Indoglish lahir dari dorongan globalisasi, ketika Bahasa Inggris mendominasi sebagai lingua franca bisnis. Terlebih, ada persepsi bahwa istilah asing menambah kesan profesional dan modern.

Kebutuhan akan istilah teknis yang belum punya padanan populer di Bahasa Indonesia juga mendorong fenomena ini. Indoglish bukan sekadar buah dari keterbatasan kosakata, melainkan pilihan linguistik untuk menavigasi dunia profesional.

Namun, menurut wikipediawan sekaligus pencinta bahasa Indonesia, Ivan Lanin, pencampuradukan bahasa Inggris dan Indonesia dalam bertutur menandakan adanya ketidakmampuan dalam menyusun kalimat. Penggunaan bahasa "gado-gado" itu juga mengindikasikan ketidakteraturan dalam berpikir.

Dari Kebutuhan Fungsional ke Identitas Komunal

Pasca-Perang Dunia II, ledakan ekonomi di Amerika Serikat melahirkan perusahaan raksasa yang impersonal, menciptakan jarak antara pekerja dan pemberi kerja. Untuk menjembatani keterputusan ini, bahasa korporat muncul, membawa jargon dan buzzwords sebagai alat membangun rasa kebersamaan demi produktivitas dan profit.

Awalnya, jargon dirancang untuk menciptakan ikatan dalam organisasi yang kian besar dan abstrak. Leksikon bersama diharapkan memperkuat identitas kolektif. Bahasa korporat pun berkembang jadi budaya tersendiri. Dalam industri seperti teknologi atau keuangan, jargon teknis mempermudah komunikasi.

Penguasaan jargon seolah menunjukkan bahwa seseorang termasuk “orang dalam”, kompeten, dan bagian dari komunitas profesional. Menurut The Atlantic, kata kunci yang ditempatkan dengan baik adalah cara yang bagus untuk mengklaim keanggotaan dalam suku tertentu.

Sebagai misal, jargon korporat, seperti “ASAP” atau circle back, ibarat lencana keanggotaan. Bagi yang paham, istilah ini memperkuat rasa memiliki dan jiwa korsa, mirip seperti slang di kalangan militer. Menurut makalah Universitas Airlangga, penguasaan istilah khusus ini jadi “tiket masuk” yang menandakan bahwa seseorang memahami budaya perusahaan sehingga membuat komunikasi teknis lebih ringkas dan efisien.

Namun, hal itu sangat mungkin menciptakan panggung human peacocking, yakni fenomena ketika karyawan memamerkan jargon canggih bak burung merak memajang bulu indahnya. Dengan istilah seperti deep dive atau bandwidth, mereka berlomba menonjolkan kompetensi, profesionalisme, dan status, sekaligus menegaskan keanggotaan dalam budaya korporat.

ilustrasi bahasa korporat

Ilustrasi diskusi. FOTO/iStockphoto

Penguasaan jargon dianggap tiket emas untuk terlihat relevan dan up-to-date. Karyawan senior kerap memakai bahasa abstrak untuk menegaskan hierarki, sementara junior menggunakannya untuk fit in, meski kadang belum paham maknanya.

Dalam konteks itu, bahasa korporat bukan lagi sekadar alat bicara, tapi strategi membangun citra dan modal simbolik—istilah Pierre Bourdieu untuk pengakuan yang bisa dikonversi jadi promosi atau pengaruh.

Namun, peacocking memiliki sisi gelap. Productivity peacocking, misalnya, membuat karyawan terlihat sibuk dengan jargon berlebihan, padahal tak selalu produktif. Penggunaan istilah eksklusif juga bisa mengaburkan pesan, memicu miskomunikasi, dan menekan karyawan junior untuk konformitas linguistik demi diterima.

Tekanan ini terasa berat bagi pendatang baru. Menolak jargon ibarat datang ke kantor dengan kaus oblong, eksentrik dan berisiko. Pada akhirnya, mereka terpaksa ikut berjargon meski belum nyaman, mengorbankan substansi demi penampilan, yang menghambat ekspresi autentik.

Fenomena human peacocking tak lepas dari metamorfosis penggunaan bahasa korporat, yang seiring waktu muncul dan dipakai berlebihan. Hal itu membuatnya justru mengaburkan makna, membuat ide lama menjadi tampak baru, tanpa substansi. Sebagaimana disebut oleh Cary Cooper, bahasa ini berbelok dari yang awalnya bertujuan meningkatkan presisi khas militer menjadi frasa tak masuk akal.

Baca juga artikel terkait GAYA BAHASA atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Mild report
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin