Menuju konten utama

Polisi Bahasa Penting, tetapi Tak Mahabenar

Polisi bahasa sering diolok-olok, disebut kurang kerjaan, dan sebagainya. Padahal, menilik kondisi Bahasa Indonesia hari ini, perannya sangat dibutuhkan.

Siswa SDS Hikari Tangerang belajar bahasa Indonesia dengan KBBI. FOTO/Doc.Sekolah Hikari

tirto.id - Coba perhatikan kalimat berikut:

Adik tidak mencuri uang kemarin.

Kira-kira, apa maknanya? Apakah "adik tidak melakukan pencurian"? Belum tentu.

Kalimat itu dapat berarti kemarin adik mencuri benda selain uang: ponsel, helm, atau baut jembatan. Kalimat itu juga bisa berarti adik mencuri uang dua bulan lalu, hari ini, setahun lalu, atau kapan saja selain kemarin.

Dalam bentuk percakapan maupun tertulis, kalimat-kalimat rancu semacam itu memenuhi keseharian kita. Ia diucapkan oleh siapa saja, mulai dari calon gubernur hingga tukang pangkas rambut.

Contoh kalimat dan koreksi di atas disampaikan oleh Jarar Siahaan, wartawan sekaligus pemerhati bahasa, lewat akun Twitter @spa_si. Akun tersebut adalah salah satu "polisi bahasa" di Twitter yang mempunyai banyak pengikut, lebih dari 17,3 ribu.

@spa_si ajek berkicau soal penggunaan bahasa Indonesia. Kadang ia mengurai kalimat gelap seperti contoh di atas, kadang ia membenarkan ejaan orang lain. Bahannya bisa dari mana saja: judul berita, kicauan tokoh publik, atau karangannya sendiri.

Polisi bahasa lain yang populer di Twitter adalah Ivan Lanin, dengan pengikut lebih dari 383 ribu. Ivan juga mengicaukan berbagai hal hal tentang bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tak jarang para peminat bahasa bertanya kepadanya.

“Saya menerima peran itu dengan senang hati,” kata Ivan pada Tirto.

Bagi Ivan, polisi bahasa mempunyai peran yang penting dan relevan: masyarakat memerlukan sosok teladan dalam penggunaan bahasa agar mereka tidak abai terhadap pentingnya keterampilan berbahasa. Keterampilan berbahasa memastikan pesan tersampaikan secara akurat dan mencerminkan kecendekiaan pengguna bahasa.

“Sikap mental yang sekarang berkembang ialah 'yang penting ngerti.' Ini tidak benar dan perlu diluruskan,” tambahnya.

Meski peran itu terkesan mulia dan terpuji, ada sejumlah stereotip buruk yang lekat pada polisi bahasa. Mereka kerap dinilai terlalu berlebihan, atau dianggap terlalu banyak waktu luang sampai-sampai merasa perlu mengurusi cara orang lain berbahasa. Bahkan dalam bahasa Inggris, padanan kata paling populer untuk polisi bahasa adalah grammar nazi.

Ivan Lanin pernah menggelar jajak pendapat di Twitter. Ia bertanya: "Menurut Anda, apa penyebab utama orang Indonesia sering salah berbahasa Indonesia?"

Dari 651 responden yang menjawab, sekitar 50 persen memilih “tidak peduli”, sementara 31 persen memilih “tidak tahu gramatika”, dan sisa 19 persen memilih “tidak tahu kenapa.” Meski tak mewakili seluruh rakyat Indonesia, setidaknya jajak pendapat itu bisa jadi gambaran mengapa banyak orang jengkel kepada para polisi bahasa.

Namun, sejauh mana sebenarnya bahasa Indonesia hari ini memerlukan polisi bahasa?

Gufran Ali Ibrahim dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa—biasa disingkat jadi Badan Bahasa—mengungkapkan beberapa poin tentang kondisi bahasa Indonesia hari ini, di antaranya: Nilai Ujian Nasional nilai rata-rata mata pelajaran Bahasa Indonesia turun selama tiga tahun terakhir dan nilai rata-rata Uji Kompetensi Guru (UKG) Bahasa Indonesia di bawah 50, dengan guru-guru dari 10 provinsi terbesar di Indonesia menempati peringkat-peringkat terbawah.

Faktor lainnya, ruang-ruang publik di kota-kota besar lebih sering diisi bahasa asing (terutama Bahasa Inggris), sedangkan pada saat yang sama Bahasa Indonesia kalah pamor dari bahasa daerah di daerah-daerah pinggiran. Yang terakhir, menurut Gufran, bahasa media sosial yang merupakan cerminan kehidupan sehari-hari masyarakat hari ini lebih sering bernada ketus, saling menegasikan, saling hujat, menebar kebencian, kemarahan, dan mengandung bahasa kelompok yang eksklusif.

Padahal, Gufran menambahkan, bahasa Indonesia punya sejumlah keunggulan sebagai sebuah bahasa. Ia merupakan satu-satunya bahasa modern yang tercipta lebih dulu daripada negara penggunanya (Sumpah Pemuda mengakui bahasa Indonesia pada 1928, jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945); bahasa Indonesia dipilih tanpa konflik, karena orang-orang di Kepulauan Nusantara sudah lama menggunakannya sebagai lingua franca atau bahasa jembatan; ia egaliter dan demokratis (berbeda dari bahasa Jawa, misalnya, yang berjenjang); ia juga mempunyai jumlah penutur terbesar di ASEAN.

“Dan gramatikanya sederhana serta mudah dipahami orang asing,” kata Gufran.

src="//mmc.tirto.id/image/2017/04/16/Dictionary-of-Bahasa.jpg" width="860" alt="INFOGRAFIK Kamus Besar Bahasa Indonesia" /

Selain itu, bahasa Indonesia juga hadir sebagai perekat bangsa Indonesia yang terdiri dari macam-macam suku dengan lebih dari 600an bahasa daerah. Menurut Ivan, hal inilah yang kemudian membuat kerapian berbahasa, yang sudah diatur dalam ejaan resmi bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia menjadi penting. Bayangkan berapa banyak malkomunikasi yang terjadi jika aturan-aturan itu dilanggar?

“Kaidah bahasa yang disepakati bersama itu penting untuk diikuti guna memastikan penerimaan dan pemahaman orang lain terhadap pesan yang akan kita sampaikan,” kata Ivan. Dan di sanalah, para polisi bahasa berpijak.

Namun, para polisi bahasa ini juga menuai kritik. Salah satunya disampaikan oleh Joss Wibisono dalam kolomnya di Tempo soal Benedict Anderson yang enggan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan alias EYD, dan lebih memilih menggunakan ejaan Suwandi. Bagi Joss sendiri, Anderson, dan sejumlah penulis lain, bahasa mempunyai muatan politis. Maka, mematuhi kaidah "yang baik dan benar," apa lagi mengimaninya, belum tentu baik dan benar.

Menanggapi pandangan itu, Ivan mengungkapkan, “Saya tidak mau dan tidak bisa menghakimi seseorang bila ia menyimpang dari kaidah ejaan, diksi, dan tata kalimat yang lazim. Itu pilihan mereka. Risiko yang mereka hadapi ialah, lagi-lagi, kawan bicara mereka salah atau tidak memahami pesan yang ingin disampaikan.

“Saat penulis tidak menggunakan kaidah bahasa yang lazim dipakai, mereka harus siap diabaikan oleh pembaca,” kata Ivan.

Baca juga artikel terkait BAHASA INDONESIA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Humaniora
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Dea Anugrah