Menuju konten utama

Politik Bahasa dan Eufemisme Kemensos Soal Keluarga Pra-sejahtera

Menteri Sosial Agus Gumiwang menyebut istilah "keluarga prasejahtera" digunakan untuk menghilangkan stigma sosial di masyarakat terhadap keberadaan penerima PKH.

Politik Bahasa dan Eufemisme Kemensos Soal Keluarga Pra-sejahtera
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bekasi, Abdillah Majid (ketiga dari kiri) saat menyerahkan bantuan pangan non tunai secara simbolis kepada keluarga penerima manfaat di wilayahnya. Megapolitan. Antaranews/ Pradita Kurniawan Syah

tirto.id - Kementerian Sosial (Kemensos) mulai menginstruksikan penggantian istilah keluarga miskin menjadi keluarga prasejahtera. Mandatori baru itu disampaikan kepada dinas/instasi sosial di sejumlah daerah melalui surat resmi Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Harry Hikmat, 18 Juni 2019.

Dalam surat itu, Harry beralasan pemakaian istilah keluarga miskin dalam perspektif ilmu pekerjaan sosial dapat menurunkan harkat dan martabat penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH).

Karena itu, kata dia, istilah "keluarga miskin" tak boleh lagi tertera dalam stiker yang dipasang di rumah-rumah penerima manfaat PKH.

"Bagi daerah yang sudah terlanjur melakukan penempelan stiker dan/atau cat label tersebut diharapkan dapat mengganti isi tulisan yang dimaksud dan melaksanakannya secara konsisten," kata Harry dalam surat tersebut.

Menteri Sosial Agus Gumiwang menyebut istilah "keluarga prasejahtera" digunakan untuk menghilangkan stigma sosial di masyarakat terhadap keberadaan penerima PKH.

Di samping itu, kata Agus, penghilangan kata "miskin" juga dimaksudkan untuk menghindari penolakan dari para penerima bantuan sosial seperti yang terjadi di beberapa daerah.

Di Rembang, Jawa Tengah, misalnya, ada sekitar 1.701 dari 2.672 penerima PKH yang sudah mengundurkan diri. Beberapa di antaranya karena kondisi perekonomiannya membaik, tapi ada juga yang mundur karena menolak rumahnya diberi label "keluarga miskin" jika menerima bantuan.

Oleh karena itu, Agus mengapresiasi penggunaan diksi "pra-sejahtera" dalam labelisasi ini.

"Mari kita biasakan menyebut KPM dengan sebutan keluarga pra-sejahtera, sehingga tidak ada lagi istilah keluarga miskin bagi mereka," ujar Agus lewat keterangan resmi yang diterima Tirto, Selasa (18/6/2019).

Gejala Kekuasaan

Sekilas, instruksi Kementerian Sosial kepada aparatur pemerintah daerah itu wajar belaka dan sangat bisa dipahami.

Sebab, pemasangan stiker di rumah-rumah penerima manfaat itu memang tidak bermaksud untuk merendahkan, melainkan untuk memastikan bahwa keluarga yang tinggal di dalamnya masih layak menerima bantuan.

Dalam hal ini, pemerintah berupaya memperhalus penggunaan bahasa agar menciptakan kesan yang baik dan mencegah ketersinggungan.

Ini tentu bukan hal yang baru dan sudah kerap dilakukan. Misalnya, ketika Presiden Jokowi meminta masyarakat berhati-hati menyebut "krisis ekonomi", sebab menurutnya yang terjadi adalah perlambatan ekonomi. Dalam ilmu linguistik, fenomena itu disebut dengan eufimisme.

Namun, menurut Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, eufimisme bukanlah gejala linguistik, melainkan gejala kekuasaan. Bahasa merumuskan kekuasaan dan kekuasaan merumuskan bahasa.

Di rezin Orde Baru, eufemisme adalah politik bahasa yang digunakan untuk mengeksploitasi kesadaran warga dalam menangkap gejala sehari-hari. Harmoko, Menteri Penerangan pada saat itu, adalah orang yang paling berperan memproduksi dan mereproduksi eufemisme.

Tak jauh berbeda dengan sekarang, pemerintah Soeharto memilih kata "menyesuaikan harga" ketimbang kata "menaikkan harga" yang dikhawatirkan memperberat beban hidup masyarakat.

Dalam ranah penegakan ketertiban dan keamanan, aparat kepolisian menggunakan istilah "mengamankan" alih-alih "menangkap" atau "meringkus". Ada pula kata "gelandangan" yang dipoles menjadi kaum "tuna wisma", serta kata "tuna susila" yang disematkan pada pelacur yang menjajakan diri di pinggir jalan kota pada tengah malam.

Pengajar Studi Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI), Tommy Christomy, menjelaskan, eufimisme memang dibutuhkan dalam keseharian termasuk dalam politik dan kekuasaan.

Namun, kata Tommy, eufimisme yang terus direproduksi dan ditayangkan juga punya konsekuensi buruk, yakni menjauhkan masyarakat dari realitas sebenarnya.

"Apalagi di era Orde Baru waktu belum ada media sosial, orang baca, kan, dari koran, bahasanya, eufimismenya terus diulang-ulang," ucapnya ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (19/6/2019).

Meski demikian, menurut Tommy, eufimisme yang digunakan pemerintah saat ini belum tentu cukup ampuh untuk menjauhkan masyarakat dari realitas sebenarnya. Sebab, apa pun yang diucapkan pemerintah memiliki lawan tanding dengan bahasa yang berkembang di media sosial.

"Kalau seberapa jauh saya belum riset, tapi at least sekarang ada opsi. Kalau dulu, kan, koran. Sekarang tinggal lihat di media sosial dan orang bisa compare. Jadi saya lihat ada balance,” kata Tommy menambahkan.

Baca juga artikel terkait PROGRAM KELUARGA HARAPAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz