Menuju konten utama

Rutinitas, Tidak Melulu Membosankan

Saat rutinitas bukan sekadar pengulangan aktivitas semata.

Rutinitas, Tidak Melulu Membosankan
Ilustrasi Rutinitas. foto/IStockphoto

tirto.id - Selama pandemi, rutinitas yang sangat terbatas, membuat hidup terkesan suram dan membosankan. Kini, saat PPKM menjadi lebih longgar, kita kembali dihadapkan pada kegiatan rutin sebelum masa pandemi, yang walaupun lebih bebas, tetap saja repetitif. Namun percayalah, bahwa rutinitas bukan sekedar pengulangan aktivitas semata.

Perlunya Rutinitas

PPKM atau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat yang berangsur-angsur longgar, membuat beberapa perusahaan mengeluarkan kebijakan untuk membawa kembali pegawainya ke kantor. Pegawai yang selama dua tahun lebih melakukan kegiatan di rumah, kini kembali dihadapkan pada rutinitas lamanya. Kebijakan Work from Office (WFO) ini ternyata meningkatnya rasa cemas di kalangan pegawai. Menurut artikel Tirto, 1 dari 3 karyawan perusahaan merasakan dampak negatif pada kesehatan mental, seperti cemas, stres, bahkan depresi, ketika kembali bekerja di kantor.

Melakukan rutinitas baru memang bukan hal yang mudah bagi beberapa orang. Apalagi rutinitas bisa jadi bukan pilihan pola hidup bagi beberapa orang yang lebih memprioritaskan kebebasan. Namun, kegiatan rutin seperti kembali bekerja di kantor atau mengantar anak ke sekolah, memiliki nilai positif yang mungkin tidak disadari. Kegiatan rutin dikatakan mendukung fungsi kognitif, bahkan dapat membuat seseorang menjadi lebih kreatif. Dengan rutinitas, seseorang akan lebih sedikit mengerahkan kemampuan kognitifnya dalam pekerjaan yang mengulang, untuk kemudian menjadi lebih fokus dan lebih kreatif pada tugas yang lebih sulit. Di bawah sadar, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan akan berjalan sendirinya. Hal ini membuat seseorang secara otomatis akan melakukan sesuatu yang sudah dikuasai dengan baik, seperti misalnya menyetir mobil.

Buku “Daily Habits” juga menuliskan dampak positif dari rutinitas. Seniman dikatakan menjadi lebih kreatif saat memiliki kebiasaan. Kegiatan rutin yang dilakukan lansia (lanjut usia) membantu mereka melakukan aktivitas pengulangan, yang akhirnya meningkatkan kualitas hidup sehari-hari. Rutinitas yang berfokus pada penyelesaian tugas sehari-hari, walaupun tugas yang sederhana, memberikan makna dalam kehidupan serta meningkatkan unsur dopamin - hormon perasaan baik – sehingga timbul perasaan senang. Rutinitas dari sisi kesehatan juga bermanfaat karena memberikan kesempatan tubuh mengembangkan ritme teratur pada siklus hormon, pencernaan, dan fungsi penting lainnya.

Rutinitas, dengan jadwal yang tertata, membantu seseorang merasa memiliki kendali atas kehidupan sehari-hari sehingga dapat mengambil langkah-langkah positif, misalnya mengelola gaya hidup yang lebih baik. Olahraga yang rutin, terutama di luar ruangan misalnya, berfungsi mengurangi tingkat stres. Olahraga dengan menikmati alam dan menghirup udara segar merealisasikan kehidupan at the moment dan membuat orang tidak memikirkan masa depan yang membuat stres.

Namun, rutinitas tidak bisa terus-menerus terganggu. Rutinitas yang dilakukan harus konsisten, jika tidak, penyaluran dopamin dan perasaan stabil yang dihasilkan tidak akan terjadi. Rutinitas yang kacau, akan membuat kebiasaan (baik) gagal terbentuk. Seperti yang terjadi pada resolusi Tahun Baru yang banyak gagal dilakukan karena kebiasaan yang diinginkan tidak terjadi secara alami dan pengulangan tidak dilakukan dalam periode tertentu.

Kontrol diri dan disiplin diri adalah dasar untuk membentuk rutinitas menjadi kebiasaan baik. Kontrol dan disiplin yang dimaksud termasuk kemampuan untuk menentukan tujuan, kemudian melaksanakannya secara konsisten. Kebiasaan baik juga terbentuk dengan adanya apresiasi pada diri sendiri. Dengan penghargaan pada diri, rutinitas yang mengarah pada kebiasaan baik, misalnya rutin berolahraga, akan tercipta secara otomatis.

Namun, banyak kritik terkait rutinitas, yang menganggap repetisi mengurangi hakikat manusia. Pendapat yang menentang rutinitas berargumen, untuk mendorong peningkatan kualitas hidup, seseorang harus hidup secara fleksibel dan spontan, dan dengan kemampuan yang dimiliki, manusia kemudian merespon kejutan dan situasi yang tidak dapat diprediksi. Repetisi dikatakan hanya menghalangi manusia untuk dapat berpikir dan bertindak bebas. Oleh karenanya, kreativitas akan sulit muncul saat kehidupan hanya dilakukan secara monoton sebagaimana cara kerja mesin.

Di abad pertengahan, saat jam masih belum bagian dari kehidupan seperti di jaman modern, biarawan Benedictine memulai pola hidup berdasarkan ritme yang teratur. Secara periodik, biarawan ini makan dan berdoa bersama berdasarkan lonceng yang berbunyi, di saat yang sama, setiap hari, di sepanjang hidupnya. Keteraturan ini selanjutnya juga diadaptasi oleh para pedagang, pekerja, dan hampir seluruh masyarakat yang kala itu juga mendengar bunyi lonceng dari biara. Untuk membuat kehidupan lebih efisien, aktivitas manusia akhirnya berubah menjadi sesuatu yang rutin. Revolusi Industri semakin mengukuhkan kebiasaan yang awalnya bersifat ritual menjadi rutinitas. Sejak saat itu, manusia diibaratkan layaknya mesin yang terus bergerak dalam pola yang sama setiap saat.

Menghadapi Rutinitas Baru

Pada dasarnya manusia adalah makhluk kebiasaan dan rutinitas. Sekitar 45 persen dari aktivitas manusia sehari-hari berulang dalam konteks yang sama setiap hari. Pembentukan kebiasaan pada seseorang terdiri dari empat tahap. Pertama, seseorang harus memutuskan untuk mengambil tindakan. Kedua, niat harus diaplikasikan ke dalam tindakan. Ketiga, tindakan perlu diulang untuk jangka waktu yang cukup lama. Dan pada akhirnya, tindakan pengulangan menjadi sesuatu yang otomatis terjadi menjadi sebuah kebiasaan.

Rutinitas dapat menjadi alat yang ampuh untuk membantu orang membangun kebiasaan baru saat pembatasan pandemi dilonggarkan. Walau, perubahan apa pun kerap memunculkan kegelisahan. Biasanya resistensi atau keengganan untuk berubah yang muncul pada diri seseorang dipicu oleh berbagai faktor, di antaranya karena kebiasaan lama, khawatir kehilangan rasa aman, faktor ekonomi, rasa takut, juga adanya persepsi selektif. Beberapa orang membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi dan menyesuaikan diri sebelum benar-benar dapat melakukan aktivitas sebagaimana sebelum masa pandemi.

Bekerja di rumah membuat seseorang merasa memegang kendali atas lingkungan tersebut. Berbeda saat seseorang harus kembali ke kantor dengan ketidakpastian. Perubahan kebijakan perusahaan untuk menerapkan WFO, membuat otak bekerja lebih keras, setelah selama dua tahun lebih sebelumnya bekerja di rumah. Hal inilah yang menyebabkan seseorang gelisah untuk bekerja kembali di kantor.

Infografik Baik Buruk Rutinitas

Infografik Baik Buruk Rutinitas. tirto/Ecun

Susan Evans, PhD, yaitu profesor ilmu psikologi klinis dari Cornell University Medical College, Amerika Serikat, menyatakan bahwa penyebab kegelisahan ini terkait dengan perasaan ketidakpastian (uncertainty) akan rutinitas baru yang akan dijalani di tempat kerja. Ada ketidaknyamanan akan sesuatu yang belum tentu terjadi di kondisi yang baru ini. Perasaan-perasaan kurang nyaman ini disebut sebagai “re-entry anxiety. Re-entry anxiety adalah rasa takut kehilangan perlindungan yang didapat selama pandemi COVID-19 (kenyamanan saat lockdown, pemakaian masker). Re-entry anxiety dikatakan terkait juga dengan trauma, saat seseorang takut untuk kembali mengalami kejadian traumatis yang serupa.

Pakar psikiatri yang juga asisten profesor di Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, Hillary Ammon, PsyD., mencoba menawarkan terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy) sebagai cara untuk mengatasi kegelisahan ini. Caranya adalah dengan mengenali inti dari kegelisahan yang timbul, memahami situasi sosial yang menggelisahkan, juga melatih perilaku-perilaku yang dapat meredakan stres di lingkungan. Terapi ini tentunya dilakukan secara bertahap, dimulai dari kelompok yang kecil, menengah, sebelum akhirnya masuk ke lingkup yang lebih besar lagi. “Awalnya mungkin menakutkan, tetapi terapi ini sudah terbukti membantu mengatasi kegelisahan jangka panjang,” demikian pernyataan Ammon sebagaimana dikutip Healthline.

Ammon juga memberikan cara untuk membantu meredakan kegelisahan melalui teknik pernapasan. Sebagaimana fungsi kognitif terbentuk di dalam otak, kegelisahan diterjemahkan sebagai sebuah ancaman oleh otak. Karenanya, perlu ada sinyal yang memastikan fungsi kognitif berjalan dengan baik. Caranya, dengan menarik dan menghembuskan napas secara perlahan. Ini penting dilakukan sebagai langkah pengiriman sinyal di dalam otak bahwa tidak ada situasi yang mengancam. Saat tubuh dan otak merasa tenang, situasi akan kembali kita pahami dan kendalikan.

Rutinitas setelah PPKM dilonggarkan merupakan sebuah siklus dalam membentuk kebiasaan baru. Dengan kontrol, disiplin, dan pemahaman akan keterbatasan diri, tanpa disadari kita akan siap kembali pada rutinitas, yang ternyata tidak melulu membosankan, namun juga bisa bermanfaat.

Baca juga artikel terkait KEBIASAAN BAIK atau tulisan lainnya dari Latifa Ramonita

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Latifa Ramonita
Penulis: Latifa Ramonita
Editor: Lilin Rosa Santi