tirto.id - Pemerintah tengah mengkaji rencana penerapan Work from Anywhere (WFA) bagi aparatur sipil negara (ASN). Kebijakan ini tengah ditelaah setelah pemerintah mengklaim berhasil menerapkan praktik Work from Office (WFH) dan Work from Home (WFH) selama pandemi COVID-19.
Kepala Biro Hukum, Humas dan Kerjasama Badan Kepegawaian Negara (BKN), Satya Pratama menuturkan, penerapan kebijakan WFA akan membuat para ASN fleksibel saat bekerja. Rencana ini dianggap akan efektif mengingat selama pandemi sistem kerja WFO dan WFH berjalan dengan baik dan berhasil.
“Tujuannya ialah meningkatkan kinerja dan kepuasan ASN dalam bekerja, sekaligus meningkatkan efektivitas dan efisiensi birokrasi pemerintahan,” kata Satya, Kamis (12/5/2022).
Satya menegaskan ASN bisa melakukan WFA selama kinerja dan target pekerjaan tercapai. Akan tetapi, Satya menegaskan bahwa unit kerja yang bersinggungan langsung dengan pelayanan publik, dan tugas dan fungsinya menuntut kehadiran di kantor, tetap diberlakukan WFO. ASN yang tetap harus WFO antara lain tenaga medis, pemadam kebakaran, Satpol PP, pengawas perikanan, petugas lalu lintas hingga petugas pemasyarakatan.
“Tidak semua bisa WFA, perlu dikaji," kata Satya.
Pemerhati kebijakan publik dari Universitas Padjajaran, Yogi Suprayogi menilai, kebijakan WFA merupakan bentuk lain dari flexible working home (FWH) atau bisa bekerja di mana pun. Pada umumnya, FWH berlaku saat orang bekerja di rumah atau di kantor. Yogi sebut, aksi WFA positif bagi ASN karena meningkatkan pelayanan ASN.
“Menurut saya bisa lebih baik. Bisa lebih baik, tapi harus dilihat dulu mana layanannya,” kata Yogi kepada reporter Tirto, Kamis (12/5/2022).
Pendapat Yogi bukan tanpa alasan. Ia melakukan survei kepada sekitar hampir 14.900 ASN di Jawa Barat dari berbagai latar belakang tentang pelaksanaan Work from Home. Yogi memberikan dokumen policy brief dengan judul “Implementasi Model Manajemen Pembinaan ASN di Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat pada Masa Bekerja di Rumah.”
Laporan itu memaparkan bahwa WFH tidak mempengaruhi fleksibilitas bekerja. 73,9% responden lebih memilih bekerja di kantor karena mereka merasa lebih produktif ketika bekerja di kantor (59,3%). Hal ini antara lain disebabkan suasana di lembaga/unit/instansi tempat mereka bekerja kondusif untuk bekerja di masa pandemic (87,3%) serta 59,6% responden menyatakan bahwa jarak ke tempat kerja tidak mempengaruhi rencana pengajuan WFH atau tidak.
Hasil analisa juga menemukan bahwa hampir 80% lebih responden menyatakan bahwa pemberlakukan kebijakan WFH membuat mereka dapat melakukan kegiatan yang mendukung aktivitas kerja dan dapat meningkatkan partisipasi antar pekerja. 73,8% responden menyatakan bahwa pelayanan lembaga/instansi tempat mereka bekerja yang diberikan kepada user (pimpinan/opd lain/masyarakat) semakin optimal ketika diberlakukannya fleksibilitas bekerja serta capaian organisasi semakin meningkat dengan adanya fleksibilitas dalam bekerja (74,9%).
Selain itu, fleksibilitas membuat responden puas dalam mengerjakan tugas yang diberikan (90,3%) lantaran fleksibilitas dalam bekerja membuka peluang atau kesempatan bagi mereka untuk mengembangkan diri (88,8%).
Tak Bisa Diterapkan di Semua Sektor
Yogi menuturkan, riset tersebut membuktikan efektivitas WFA. Akan tetapi, WFA tidak bisa diterapkan di semua sektor pemerintahan. Ia menilai ada sektor yang tidak boleh menerapkan WFA. Pertama adalah pelayanan dasar seperti kesehatan atau pendidikan.
Ia mencontohkan tantangan tenaga kesehatan memeriksa secara teliti atau membiarkan pasien melakukan pelayanan sendiri. Meskipun Indonesia sudah mengenal konsep telemedisin, tapi pelayanan kesehatan yang optimal memerlukan kemampuan khusus agar pelayanan publik tidak salah penanganan.
Kedua adalah soal karakteristik daerah yang berbeda-beda. Yogi beralasan, kemampuan teknologi daerah berbeda-beda sementara pelayanan konsep WFA perlu teknologi yang mumpuni. Ia mencontohkan ada daerah tidak bisa mengirimkan dokumen karena faktor koneksi internet.
“Jadi kita lihat juga kemampuan daerah tersebut. Jadi nggak bisa diberlakukan secara umum semuanya, tapi dicoba parsial dulu," kata Yogi.
Sementara itu, terkait dengan masih ada sejumlah kasus ASN nakal, Yogi tidak memungkirinya. Ia menyinggung kasus ASN di Jayapura yang mangkir saat bertugas hingga bertahun-tahun. Akan tetapi, masalah tersebut bisa diselesaikan oleh BKN.
“Itu masalah pendataan saja. Itu pernah ada yang menanyakan ke saya. Itu masalah pendataan di BKN sebetulnya. Jadi ada sebetulnya kasus seperti itu. Itu sebenarnya masalah pendataannya," kata Yogi.
Dasar Hukumnya Sudah Ada
Research and Policy Analyst Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro menilai, kebijakan WFA memang sudah harus diterapkan. Hal tersebut sudah menjadi tren di luar negeri dalam proses pelayanan publik. Indonesia sudah punya sistem dan payung hukum lewat Perpres 95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).
“Secara prinsip itu berarti boleh, benar. Artinya nggak ada regulasi yang melarang pemerintah karena sudah ada sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE). Itu ada Perpresnya. Dasar hukumnya ada sehingga bisa dilaksanakan. Hanya kemudian yang penting adalah pada hal-hal tertentu yang sifatnya direct services," kata Riko kepada reporter Tirto.
Riko mencontohkan, pelayanan direct services seperti pelayanan SIM, KTP, STNK hingga pelayanan dokumen lain seperti KITAS. Ia beralasan pelayanan tersebut butuh tempat spesifik dan petugas khusus sehingga tidak bisa melaksanakan WFA.
Selain pelayanan direct services, ASN yang bekerja di sektor kritikal seperti isu pangan, keuangan hingga keamanan tidak bisa bekerja WFA. Ia mencontohkan, kerentanan serangan siber bisa berdampak buruk ketika pekerja keamanan sedang melakukan rapat atau pertukaran dokumen. Peretas bisa mengambil dokumen penting yang ditransmisikan secara daring.
“Yang lainnya bisa, boleh saja. Misalnya yang bisa apa? Fungsi-fungsi rutin soal gaji, kemudian rapat-rapat internal yang sifatnya untuk kepentingan internal tentang program-program, gak apa-apa bisa dilakukan sama seperti kita Zoom hari ini. Maka aku lebih suka sebutnya trennya birokrasi hybrid artinya hybrid itu ada yang satu harusnya offline dan online," tutur Riko.
Riko mengakui ada sejumlah hal positif ketika WFA dilakukan. Pertama, pemerintah akan lebih mudah melakukan koreksi internal kinerja ASN. Kedua, pemerintah akan lebih mudah dalam penataan administrasi. Ia tidak memungkiri soal klaim Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa WFA akan mengurangi beban negara. Namun, ia pesimistis pemerintah akan menurunkan "harga pelayanan" yang dipatok pemerintah dalam berbagai kegiatan.
"Ini persoalannya mau gak sih kita turun harga. Biasanya sih nggak mau di mana-mana. Biasanya kalau harga tetap, nggak diturunin logikanya. Logikanya pasti nggak mungkin, tapi harusnya bisa lebih murah kan logikanya," kata Riko.
Riko pun menilai kebijakan WFA tidak bisa asal langsung di semua daerah. Pelaksanaan harus dilakukan secara parsial dan belum secara langsung di semua wilayah. Senada dengan Yogi, tidak semua daerah memiliki kemampuan yang sama seperti masalah jangkauan internet hingga perilaku masyarakat.
Di sisi lain, kemampuan pengawasan ASN tiap daerah juga berbeda-beda ketika WFO maupun WFH sebelum menuju pelaksanaan WFA. Oleh karena itu, ia menyarankan ada kolaborasi metode seperti dua hari WFA dan tiga kali WFO.
“Makanya sekarang itu formnya hybrid. Kalau kita mau full WFA, maka mesti siapkan sistem yang lebih optimal, tapi ini bener. Hanya nanti daerah itu harus punya keunikan masing-masing. Gak bisa disamain dengan Jakarta. Kasihan nanti. Jangan-jangan aparatur bisa melakukan WFA, tapi kemudian penerima layanannya gak bisa. Gak semua warga kita literasi digital cukup memadai," kata Riko.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz