tirto.id - Perayaan Tahun Baru identik dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik setahun ke depan. Harapan ini kemudian terkait dengan perencanaan seseorang untuk meninggalkan hal buruk di tahun sebelumnya, dan menciptakan yang terbaik di tahun yang baru.
Sayangnya keteguhan hati mewujudkan resolusi yang dibuat, seringkali hanya menjadi omong kosong.
Sehingga, untuk kesekian kalinya timbul pertanyaan, masih perlukah kita membuat resolusi di setiap pergantian tahun?
Tidak ada yang salah dengan membuat deretan panjang daftar resolusi. Sebab menurut Patricia Yuanila, M.Psi, hal itu merupakan hal yang umum dilakukan karena semua orang memiliki keinginan dan dorongan untuk memperbaiki diri sendiri.
"Setiap orang punya keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dan paling gampang untuk menandai memulai rencana itu adalah di awal tahun karena mudah untuk dijadikan sebagai tolak ukur," kata perempuan yang akrab di sapa Lala ini.
Sayangnya, banyak orang akhirnya meninggalkan resolusi yang dibuatnya sendiri dalam waktu kurang sampai satu bulan pertama memasuki tahun yang baru.
Salah satu hambatan dalam perwujudan resolusi ini terkait dengan pembentukan kebiasaan yang membutuhkan waktu rata-rata sekitar 66 hari.
"Dibutuhkan sekitar dua hingga tiga bulan bagi seseorang untuk mulai merasa percaya diri dan nyaman dengan kebiasaan baru, tetapi pengulangan kebiasaan tersebut dapat mulai menjadi lebih rutin setelah beberapa hari," ungkap Dr. Beth Frates, presiden American College of Lifestyle Magazine, dilansir dari ABC News.
Konteks sangat penting untuk perencanaan. “Adanya tujuan, mengatur dan memotivasi kita untuk menciptakan kebiasaan,” kata Charissa Chamorro, seorang psikolog pembimbing di Fakultas Kedokteran Icahn di Gunung Sinai.
“Perilaku sehari-hari dengan konteks tertentu menciptakan kebiasaan.”
Dalam memetakan cara mencapai resolusi, seperti resolusi untuk meningkatkan kebugaran, misalnya. Kita perlu memikirkan bagaimana tujuan ini dapat sesuai dengan rutinitas yang sudah ada sebelumnya. Anda dapat merencanakan berolahraga, misalnya, setelah merapikan tempat tidur dan sebelum menyikat gigi, yang telah menjadi rutinitas Anda sebelumnya.
Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal PLOS ONE, mengungkapkan sekitar setengah dari orang di Amerika Serikat yang membuat resolusi Tahun Baru dan 25 persen dari mereka tidak menepati atau mengerjakan resolusi mereka bahkan dalam minggu pertama Januari.
"Berbeda dengan rutinitas, kebiasaan seringkali tidak disengaja. Kebiasaan seperti memori otot, sedangkan rutinitas membutuhkan waktu untuk dibangun," ujar Angel Iscovich, MD, penulis buku, The Art of Routine: Discover How Routineology Can Transform Your Life.
Rutinitas adalah kegiatan yang dilakukan secara teratur untuk meningkatkan struktur dalam hidup. Struktur ini kemudian membuat tubuh menjadi terbiasa dengan sendirinya - di sinilah kebiasaan terbentuk.
Resolusi Tahun Baru yang tidak dilakukan melalui pembentukan kebiasaan, mayoritas akan gagal.
Sependapat dengan Chamorro, Iscovich menyarankan untuk menjadikan resolusi bagian dari rutinitas harian. Untuk mengembangkan kebiasaan yang baik, harus ada rutinitas dan menaatinya.
"Hal yang perlu dilakukan adalah untuk tetap menjaga agar rutinitas tidak terganggu. Rutinitas harus konsisten; jika tidak, pengiriman dopamin reguler dan perasaan stabil akan memudar," lanjut Iscovich.
Namun, rutinitas bisa menjadi aktivitas yang membosankan, dan menjadi halangan terwujudnya resolusi.
Namun Iscovich berpendapat, "Jika rutinitas membosankan bagi Anda, Anda dapat membuatnya lebih menarik. Karena Anda yang mengendalikan rutinitas Anda."
"Anda juga dapat mengubah rutinitas yang Anda lakukan, dan lanjutkan dengan keteraturan. Dengan ritme, tubuh kita beradaptasi dan melakukan homeostasis, dan mencapai keseimbangan. "
Tradisi Awal Tahun
Pemilihan awal tahun sebagai momen untuk upgrade diri ini tak bisa dilepaskan dari tradisi yang sudah berlangsung selama ribuan tahun. Orang Babilonia kuno disebut sebagai orang pertama yang membuat resolusi tahun baru sekitar 4000 tahun yang lalu sekaligus orang yang pertama mengadakan perayaan untuk menghormati tahun baru.
Selama perayaan itu, orang Babilonia akan menobatkan raja baru dan juga berjanji kepada dewa untuk membayar hutang dan mengembalikan benda apa pun yang mereka pinjam. Jika janji dapat ditepati maka dewa akan memberikan nikmat untuk tahun yang akan datang. Janji ini lah yang dianggap sebagai pelopor resolusi tahun baru.
Tetapi terlepas soal tradisi, rupanya membuat resolusi tahun baru di awal tahun ini ada hubungannya juga dengan cara kerja otak manusia dalam mengatur ingatannya.
Katy Milkman, profesor psikologi di The Wharton School of University of Pennsylvania dan penulis buku How to Change menjelaskan, manusia cenderung membuat narasi yang dibagi menjadi penggalan atau babak terpisah dari kehidupan mereka.
Bab ini menggambarkan peristiwa besar dalam hidup, seperti menikah, kelahiran anak pertama, dan lain-lain. Tetapi pikiran tersebut juga dapat membagi bab-bab itu menjadi bagian lebih kecil sehingga awal tahun baru dapat mewakili jeda dalam narasi.
"Setiap kali memiliki momen yang terasa seperti pembagian waktu, pikiran melakukan hal khusus yang menciptakan perasaan memiliki awal baru. Hal ini membantu membuat jarak psikologi dari kegagalan masa lalu. Sehingga kesalahan apa pun adalah 'Anda yang lama', dan Anda akan melakukan dengan lebih baik di awal tahun," terang Milkman.
Berkomitmen dengan Resolusi
Resolusi berhubungan dengan menciptakan kebiasaan baru, yang itu tentu membutuhkan waktu dan energi karena tak akan otomatis jadi dalam semalam.
Membuat resolusi yang spesifik akan membantu perwujudan resolusi tersebut. Artikel yang ditulis Ashira Prossack, seorang Communication Trainer & Coach di laman Forbes mengungkapkan, makin spesifik menjabarkan tujuan maka makin besar kemungkinan untuk mencapainya.
Pasalnya, saat tujuan dipecah menjadi bagian yang dapat dikelola dan diukur, maka seseorang akan lebih mudah melacak kemajuan serta tetap fokus menjalankannya.
Namun Prossack mengingatkan pula untuk memilih tidak lebih dari tiga resolusi untuk dilakukan secara bersamaan.
Jika mencoba melakukan terlalu banyak, seseorang justru akan kewalahan dan membuat tidak fokus. Hal ini pada akhirnya menyebabkan perasaan frustasi dan penurunan motivasi dan mulai mengabaikan tujuan dari resolusi yang sudah dibuat.
Benjamin Houltberg dan Arianna Uhalde dari University of Southern California memiliki argumen lain terkait resolusi yang sering gagal. Menurutnya, kegagalan terjadi karena seseorang tidak memikirkan secara mendalam alasan mengapa mereka harus melakukannya, dan ke mana arah resolusi dalam jangka panjang.
Tujuan resolusi yang personal, membuat seseorang lebih termotivasi dan juga menemukan lebih banyak kesenangan dalam proses mengejar tujuan tersebut.
Sedangkan seseorang yang melakukan resolusi untuk penghargaan eksternal yang bergantung pada hasil akhir tertentu. Misalnya, validasi yang berasal dari kemenangan, cenderung mengalami rasa malu ketika karena gagal mencapai tujuan mereka.
Tidak jarang seseorang membuat resolusi karena ikut-ikutan. Untuk itu, Lala mengungkapkan sangat penting untuk mengetahui kebutuhan masing-masing individu.
Salah satunya dengan meluangkan waktu untuk memikirkan dengan masak resolusi yang dibuat, menanyakan diri sendiri apakah resolusi memang dibuat sebagai bentuk perbaikan diri atau melakukannya lantaran dapat memberikan harga diri maupun status.
"Resolusi personal tergantung kebutuhan masing-masing individu sehingga kalau memang tidak membuatnya, sebenarnya tidak jadi masalah," ungkap Lala.
Agar berhasil, Lala juga menganjurkan untuk menuliskan resolusi yang ingin dilaksanakan, bukan hanya sekedar di pikiran. Dengan menuliskannya, akan membantu memperjelas resolusi apa yang ingin dicapai, sekaligus memaksa membuat keputusan yang tepat melalui kata-kata yang ditulis itu.
Support group yang memiliki kesamaan ketertarikan juga dapat membantu seseorang tetap berkomitemen dengan resolusinya. Saat seseorang keluar jalur atau terdistraksi dengan resolusi yang dia buat, maka orang-orang disekeliling yang satu visi itu bisa mengingatkannya kembali.
Meski dalam proses masih ada hambatan yang dihadapi, tetap berpikir positif. Gunakan momen untuk mengintropeksi diri tentang kesiapan akan perubahan yang dilakukan. Kemudian, mulai coba kembali.
Toh, pada dasarnya, untuk menjalankan rutinitas yang membentuk kebiasaan baru dan merealisasikan resolusi, tidak hanya dapat dilakukan di momentum Tahun Baru saja.