tirto.id - Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto tersenyum lebar ke arah para pewarta sambil salam komando. Peristiwa yang terjadi saat pelantikan pimpinan MPR periode 2019-2024, Kamis (3/10/2019), seakan menunjukkan keduanya solid. Mereka seperti siap membawa partai yang punya sejarah panjang ini ke arah yang lebih baik setelah tiga pemilu terakhir selalu mengalami penurunan suara.
Momen ini tak terbayang beberapa bulan sebelumnya. Keduanya bersitegang karena sama-sama mengincar kursi Ketua Umum Partai Golkar. Airlangga maju dengan status petahana, sementara Bamsoet, demikian Bambang biasa dipanggil, resmi mendeklarasikan diri dalam pencalonan pada 18 Juli 2019.
Perang urat saraf juga melibatkan loyalis masing-masing, bahkan kadang lebih keras dibanding kandidat. Loyalis Bamsoet, Yorrys Raweyai, memvonis Airlangga tak maksimal berperan sebagai ketua umum karena dia sibuk sebagai Menteri Perindustrian.
"Kinerja-kinerja kepartaian yang seharusnya 'digeluti' diganti dengan 'sambilan', bahkan cenderung sebagai business as usual semata," kata Yorrys, lalu membeberkan fakta untuk memperkuat argumennya: Tahun ini Partai Golkar meraih 17.229.789 suara atau setara 12,3 persen atau 85 kursi di parlemen, padahal lima tahun sebelumnya Golkar menempatkan 91 kader.
Yorrys juga mendesak Airlangga mundur karena dia dianggap kerap sesuka hati mengelola partai, termasuk menyingkirkan orang-orang yang tidak sependapat dengan dia.
Keduanya bahkan menyeret-nyeret nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla--yang dianggap penting untuk memperkuat posisi di mata kader terutama 'akar rumput'.
Ribut-ribut tidak hanya dalam bentuk saling adu komentar. Agustus lalu, misalnya, ratusan anggota Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) pendukung Bamsoet menggembok pintu gerbang DPP Partai Golkar di Jalan Anggrek Neli Murni, Jakarta.
Konflik mereda pada pertengahan September, ketika formasi pimpinan MPR tengah disusun dan Joko Widodo sedang sibuk-sibuknya menyusun kabinet.
Tapi konflik ini hanya mereda sesaat. Sebelum Oktober berakhir, atau sekitar satu bulan sebelum pelaksanaan Musyawarah Nasional, perseteruan kembali memanas.
Pada 5 Oktober lalu, Bamsoet mengisyaratkan tak akan maju lagi dalam bursa ketum dengan menegaskan "tidak ada lagi persaingan" antara dirinya dan Airlangga. Tapi pada 31 Oktober, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Elvis Junaedi menegaskan Bamsoet tidak akan mundur karena "tembok di belakangnya." Dia menegaskan Bamsoet berhak maju.
Loyalis Airlangga, Azis Syamsuddin, menegaskan "biar Allah yang melaknat" siapa saja yang melaknat kesepakatan. Dia tidak tahu apa isi kesepakatan antara Bamsoet-Airlangga, tapi memang kemungkinan terkait kursi Ketua Umum Partai Golkar.
Pernyataan ini dibalas lagi oleh loyalis Bamsoet yang lain, Nusron Wahid. Dia mengatakan kesepakatan hanya terkait "waktu pelaksanaan munas pada Desember."
"Wong tidak ada yang ingkar kok. Justru yang dilaknat itu yang mengingkari amanat rakyat. Diminta memenangkan pemilu, enggak menang, itu yang dilaknat," tegas Nusron, Senin (4/11/2019).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, menegaskan kedua kubu memang hanya "mesra sesaat" karena pada pertengahan September hingga Oktober mereka punya "kepentingan" yang sama, yaitu sebanyak mungkin menempati kadernya di legislatif atau kabinet.
Setelah semua tercapai, maka wajar keributan kembali muncul. Kursi Ketua Umum Partai Golkar ternyata terlalu menarik untuk ditinggalkan sama sekali.
Bamsoet resmi jadi Ketua MPR setelah mendapat rekomendasi dari Airlangga. Sementara Airlangga dipilih oleh Jokowi sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Ujang juga mengatakan, pada pendukung Bamsoet kembali 'bersuara' barangkali karena mereka kecewa tidak dapat posisi, misalnya di Alat Kelengkapan Dewan DPR.
Bamsoet sendiri tidak menutup-nutupi kalau dia dan Airlangga memang mengerem konflik beberapa saat. Di DPR, Senin (4/11/2019), dia mengatakan saat itu dia dan Airlangga memang "cooling down" karena "ada tujuan partai yang lebih besar, yaitu mendapatkan posisi Ketua MPR atau pimpinan MPR."
Dia juga mengatakan, "dan kemudian ada suasana untuk menjaga situasi yang kondusif, tidak ada gejolak baik di Partai Golkar maupun di luar sampai presiden dipilih."
Bamsoet juga membenarkan kalau "tidak ada satu pun dari para pendukung saya... yang mengisi pimpinan alat kelengkapan dewan maupun komisi-komisi yang mereka inginkan."
"Itulah barangkali, mungkin saja, yang membuat para pendukung saya lebih militan," pungkasnya.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Gilang Ramadhan