Menuju konten utama

Munas Golkar 2019 Mengulang 'Pertarungan' Jokowi-JK di 2016?

Munas Golkar 2019 barangkali akan jadi pengulangan 'pertarungan' antara Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Mereka punya jagoan masing-masing.

Munas Golkar 2019 Mengulang 'Pertarungan' Jokowi-JK di 2016?
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua DPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua MPR Mahyudin, Ketua Fraksi Golkar DPR Melchias Marcus Mekeng dan Sekjen Partai Golkar Lodewijk Freidrich melambaikan tangan bersama seusai menggelar konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/9/2018). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

tirto.id - Nama Joko Widodo dan Jusuf Kalla mencuat di tengah rencana Musyawarah Nasional (Munas) Golkar yang sedianya digelar akhir tahun nanti. Restu dan dukungan keduanya diperebutkan kandidat ketua umum.

Sejauh ini memang tak ada sikap resmi dari Presiden dan Wakil Presiden RI ini. Tapi indikasi bahwa mereka memang mendukung calon tertentu--dengan motivasinya masing-masing--itu ada. Dan calon yang mereka jagokan bisa jadi tidak sama.

Jika begitu, Munas Golkar akan mengulang Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar yang digelar di Bali, Mei 2016.

Satu pekan sebelum musyawarah, beredar pesan yang disebar oleh tim sukses kandidat ketum Ade Komarudin alias Akom yang menyebut Luhut Binsar Panjaitan, kini Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, mendukung Setya Novanto atas nama Jokowi.

Luhut membantah itu, tapi dia tak menolak jika disebut mendukung Novanto--yang kelak dipenjara karena kasus korupsi.

"Kalau saya dukung dia (Novanto), kan, sebagai anggota Golkar, itu hak prerogatif saya," kata Luhut, mengutip Liputan6.

Meski menggunakan mantra "kalau"--yang artinya belum tentu--Luhut nampaknya memang mendukung Novanto. Buktinya Priyo Budi Santoso, calon ketua umum lain yang sekarang politikus Partai Berkarya, jadi memberi dukungan untuk Novanto setelah berbicara dengan Luhut.

Sementara di satu sisi JK lebih condong mendukung Akom. JK, sebagaimana dikutip dari Bisnis, bilang Akom punya pengalaman mengelola partai. Dia juga berwibawa.

Kata pengamat, Musyawarah Golkar saat itu adalah ajang adu gengsi antara JK dan Luhut (dan Jokowi). Keduanya adalah tokoh Golkar. Luhut sempat menjabat di kursi Dewan Pertimbangan Golkar, sementara JK pernah jadi Ketum DPP Golkar.

Dalam Munaslub itu Setya Novanto akhirnya terpilih menjadi Ketum Golkar periode 2016-2019. Keputusan itu didapat setelah Akom mundur seusai penghitungan suara tahap pertama.

Novanto mendapat 277 suara, sementara Akom hanya 173.

Beberapa bulan setelah itu, tepatnya pada 28 Juli 2016, Golkar resmi menyatakan dukungan untuk Jokowi sebagai capres di Pemilu 2019--mesti itu sebetulnya masih tiga tahun lagi.

Pada munas tahun ini kondisinya serupa. Ada dua kandidat yang tengah mengincar kursi ketua umum. Mereka adalah Airlangga Hartarto selaku petahana dan Bambang Soesatyo alias Bamsoet yang kini menjabat sebagai Ketua DPR RI.

Orang di balik dua tokoh itu tampaknya masih juga tak satu suara. Sementara JK sepertinya lebih memilih Airlangga, Jokowi condong ada di pihak Bamsoet.

Ada beberapa hal yang mengindikasikan itu. JK misalnya, mendatangi deklarasi dukungan terhadap Airlangga sebagai Ketum Golkar yang diselenggarakan Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) 1957.

JK jugalah yang pada November 2017 lalu mendukung Airlangga menggantikan Novanto.

Sementara di sisi lain, dukungan Jokowi terlihat saat Presiden ke-7 Indonesia itu mengundang Bamsoet ke Istana 15 Juli lalu. Hal serupa tak dilakukan ke Airlangga (mengundang langsung) meski keduanya sempat bertemu pula pada 1 Juli.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar Doli Sinomba bahkan menyimpulkan Jokowi lebih nyaman bertemu Bamoet dibanding Airlangga. Indikasinya adalah durasi pertemuan.

"Jokowi dan Bamsoet berbicara hingga hampir dua jam. Ketika Jokowi bertemu Airlangga, sejumlah pihak menyampaikan hanya 15 menit," kata Doli dalam keterangan tertulis.

Beda Kepentingan

Kepada reporter Tirto, Senin (5/8/2019), Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik Dedi Kurnia Syah Putra menjelaskan kenapa keduanya punya jagoan berbeda.

"JK dan Jokowi punya perbedaan motivasi dalam memberikan restu calon Ketum Golkar. Jokowi akan lebih pragmatis, menimbang untung rugi, sementara JK lebih idealis," kata Dedi.

Dedi bilang, Jokowi akan lebih suka mendukung calon yang akan mendukungnya terus. Perlu diingat bahwa Golkar adalah partai dengan perolehan suara terbesar ketiga di Pileg 2019. Suaranya hanya di bawah PDIP dan Gerindra. Mempertahankan Golkar tetap dalam koalisi adalah modal besar bagi Jokowi.

Sementara JK, kata Dedi, punya kepentingan membesarkan partai.

"Bagi JK, ketum diharapkan dapat membawa Golkar mendominasi perolehan suara. Sementara Jokowi bukan persoalan Golkar menang pemilu atau tidak. Ia hanya mengharapkan Golkar dapat meyakinkan dirinya tidak akan menggeser dukungan," kata Dedi.

Jokowi dan JK membantah perkara dukung-mendukung ini. JK, misalnya, tegas mengatakan bahwa dia tidak lagi punya hak suara. "Saya bukan pengurus Golkar lagi," katanya.

Sementara Jokowi enteng menjawab kalau dia tak ada urusan dengan Munas Golkar.

"Munas tanya Presiden, munas ya urusannya partainya-lah. Itu urusannya partai,” kata Jokowi, 11 Juli lalu.

Baca juga artikel terkait MUNAS GOLKAR atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Politik
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Rio Apinino
Editor: Jay Akbar