tirto.id - “Benih-benih kelahiran Golongan Karya ini mulai bersemi sejak zamannya Ibu Kartini dan Dewi Sartika. Kartini dan Dewi Sartika merupakan karyawan-karyawan wanita yang membawa nilai-nilai baru tentang fungsi (kekaryaannya) sebagai wanita,” itu kata buku Seperempat Abad Golongan Karya.
Buku tersebut mengklaim semua organisasi macam Serikat Dagang Islam, Serikat Buruh Kereta Api, Serikat Buruh Pegadaian adalah organisasi kekaryaan yang terkait dengan dengan sejarah abstrak Golongan Karya. Namun, tak jelas apakah golongan ini menganggap serikat buruh kereta api yang berdiri sejak Vereniging van Spoor-en Tramwegpersonee (VSTP) yang kiri itu sebagai bagian dari mereka juga.
Begitu juga organisasi pemuda macam Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dan lainnya. Semuanya didaku sebagai bagian Golkar, sebagai Kekaryaan Kepemudaan. “Dalam kekaryaan alim-ulama lahir organisasi-organisasi seperti Nahdlatul Ulama […] Muhammadiyah dan lain sebagainya.” Maka tak lupa, dalam bahasa-bahasa yang abtrak, disebut bahwasanya Golongan Karya adalah “soko guru perjuangan nasional.” Pokoknya, semua golongan yang berjuang adalah Golongan Karya.
Menurut buku itu, Golongan Karya bernasib malang setelah perjuangan kemerdekaan bangsa, karena “justru mendekam kembali dalam kungkungan ketidakbebasan.” Buku itu juga menyebutkan adanya “dominasi lapisan yang dominan pada akhir dekade 1950an dan awal 1960an."
Pihak mana yang dianggap “dominasi lapisan yang dominan” itu? Tak lain adalah PKI beserta “golongan-golongan lain yang menjadi pengikut dan penyokongnya.
“Golongan Karya hanya dijadikan dan diperlukan sebagai alat oleh lapisan sosial yang berkuasa,” curhat buku Seperempat Abad Golongan Karya. Tak disebutkan dengan jelas siapa yang berkuasa itu, namanya juga buku sejarah abstrak.Jika patokan masanya akhir dekade 1950an dan awal 1960an, maka si penguasa yang tertuduh sebagai yang memperalat Golongan Karya, tentu merujuk pada Presiden Sukarno.
Sukarno, menurut David Reeve penulis buku Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika (2013), justru merupakan penggagas pertama dari wadah semua golongan bernama Golongan Karya, sekitar tahun 1957. Waktu itu, Golongan Karya versi Sukarno ini tak diproyeksikan sebagai sebuah partai, karena Sukarno sendiri hendak menganulir partai-partai yang tak berjalan sebagaimana mestinya di masa Demokrasi Liberal. Di masa itu, kabinet sering berganti karena dinamika partai politik.
"Sistem anti-partai ada di beberapa negara seperti diterapkan di China. Bung Karno ingin menerapkan sistem itu ketika baru pulang dari China," kata David dalam diskusi bukunya. Ide soal Golongan Karya versi Sukarno ini lalu terlupakan—dan dicomot golongan yang sejatinya berseberangan dengan Sukarno.
Dari kelompok-kelompok pekerja atau golongan yang berkarya itu, Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) lahir. Sekutu SOKSI di dunia buruh adalah Gabungan Serikat Buruh Islam (Gasbindo). Musuh keduanya adalah Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). “SOKSI dan GASBINDO berjuang secara kompak melawan SOBSI,” tulis Suhardiman dan Ade Komaruddin Mochamad dalam Kupersembahkan Kepada Pengadilan Sejarah: Otobiografi Soehardiman (1993).
Letnan Kolonel Suhardiman, selaku salah satu pendiri, menjadi ketua umum. SOKSI penting perannya dalam sejarah Partai Golongan Karya (Golkar). Namun, selain dan sebelum ada SOKSI—yang mengaku eksis sejak 20 Mei 1960—beberapa organisasi yang ikut memperkuat Golkar lain sudah muncul.
“Pada tanggal 10 November 1957 Letnan Kolonel Mas Isman membentuk Koperasi Usaha Gotong Royong (KOSGORO) yang merupakan wadah perjuangan bagi sejumlah bekas pejuang kemerdekaan Tentara Rakyat Indonesia Pelajar (TRIP) yang berasal dari Jawa Timur. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 3 Januari 1960 Kolonel Sugandhi membentuk Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) yang kemudian mengkoordinasikan tidak kurang dari tiga belas organisasi massa,” tulis Afan Gaffar dalam Golkar dan Demokratisasi di Indonesia (1993).
Menurut situs Partai Golkar, Ketua Umum DPP MKGR sejak kelahirannya tahun 1960 sampai 1991 adalah Kolonel Sugandhi, pangkat terakhirnya mayor jenderal. Kolonel Sughandi sendiri adalah salah satu ajudan Presiden Sukarno.
Setelah “ibu pertiwi hamil tua” alias keadaan genting, beberapa perwira Angkatan Darat pun menggalang kekuatan sipil dari banyak golongan pekerjaan.
“Pada tanggal 19 Oktober 1964, tepat pada pukul 24.00 diadakan penandatanganan Piagam Pernyataan' Karyawan oleh Panitia sembilan dengan semua pendukung lainnya. Yakni terdiri dari 35 organisasi golongan karya non afiliasi (politik),” menurut buku Munas IV Golkar (1988) dan Golkar Dalam Sorotan: Organisasi Kader, Bukan Sekedar Mesin Pengumpul Suara (1994).
Karena setelah pukul 24.00 sudah masuk tanggal berikutnya, maka tanggal 20 Oktober 1964, tepat hari ini 54 tahun lalu, kemudian diperingati sebagai hari lahir Golkar.
Dari sini lahirlah kemudian Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya (Golkar). Duduk sebagai Ketua Umum pertamanya adalah Djuhartono—yang pangkat terakhirnya di militer brigadir jenderal. Ketua Umum setelah Djuhartono adalah Suprapto Sukowati—juga militer dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Setelahnya, jenderal lain yakni Amir Murtono, Sudharmono, dan Wahono juga jadi Ketua Umum Golkar.
Setelah 1993, Golkar baru punya Ketua nonmiliter, Harmoko namanya. Dalam kurun waktu tersebut, Golkar menjadi partai paling jaya, bahkan sejak awal kelahirannya. Dalam sejarah, Golkar masih dikenang sebagai kendaraan politik Orde Baru dan tentu saja Soeharto.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 20 Juli 2017 dengan judul "Sejarah Golkar: Digagas Sukarno, Lalu Meninggalkannya". Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Maulida Sri Handayani & Ivan Aulia Ahsan