tirto.id - Perebutan kursi ketua umum Partai Golkar diprediksi akan berubah. Sebab, kandidat terkuat yang siap melawan petahana Airlangga Hartanto, yakni Bambang Soesatyo atau Bamsoet menyatakan tidak akan bersaing dengan Airlangga.
Dalam konferensi pers di ruang Fraksi Partai Golkar, Senayan, Jakarta, Kamis (3/10/2019) malam, Bamsoet menyatakan dirinya cooling down dalam kontestasi Ketua Umum Partai Golkar 2019-2024.
Bamsoet juga memberi sinyal tidak ingin membahas soal perebutan kursi ketua umum Golkar setelah menduduki kursi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI periode 2019-2024.
"Ketika melihat tensi politik yang semakin memanas, kami kesampingkan konotasi dan menurunkan konsolidasi. Lain-lain biar lah saya, ketua umum, dan Tuhan yang tahu apa yang sudah kami membuat komitmen," kata Bamsoet.
Secara terbuka, mantan Ketua DPR RI itu menyatakan dirinya tidak lagi bersaing dengan dengan Airlangga Hartarto.
"Saya ingin mengatakan bahwa tidak ada lagi persaingan, kami sudah selesai," kata Bamsoet.
Pernyataan Bamsoet diamini Airlangga. Menteri Perindustrian ini menyatakan, kemenangan Bamsoet sebagai sinyal kebersamaan Golkar. Ia bahkan mengklaim sikap Bamsoet sebagai tanda kader Golkar mengutamakan kepentingan nasional.
"Hari ini sudah jelas Golkar membuktikan soliditas. Dengan soliditas kebersamaan, Partai Golkar mengutamakan kepentingan nasional di atas segala-galanya," kata Airlangga usai Bamsoet dilantik sebagai ketua MPR.
Siapa yang Berani Melawan Airlangga?
Pengamat politik dari KedaiKopi Kunto A Wibowo mengatakan, perebutan kursi Ketua Umum Golkar tidak akan berhenti setelah Bamsoet mundur. Sebab, kursi ketua umum masih seksi karena menjanjikan jaminan duduk di pemerintahan.
Selain itu, kata Kunto, faksi dalam Golkar cukup banyak sehingga Airlangga belum tentu mudah untuk menjadi ketua umum untuk kedua kalinya.
"Saya pikir walaupun Bamsoet sudah mundur teratur, pertarungan memperebutkan ketum jauh dari usai," kata Kunto kepada reporter Tirto, Jumat (4/10/2019).
Kunto paham kalau Airlangga sedang membagi kue kekuasaan kepada Bamsoet yang merupakan kandidat terkuat dalam perebutan kursi ketua umum Golkar.
Namun, kata Kunto, upaya meredam Bamsoet tidak berarti membuat jalan Airlangga mulus. "Faksi di dalam Golkar banyak. Saya pikir akan ada kejutan lain lagi sampai Desember atau munas nanti," kata Kunto.
Dalam artikel Tirto bertajuk "Arah Golkar di Bawah Komando Novanto," Munas Partai Golkar tidak selalu mulus pasca-reformasi. Munas Golkar pada 1998 misalnya, memunculkan pertarungan sengit antara Akbar Tandjung dengan mantan Panglima ABRI Edi Sudrajat.
Edi akhirnya mundur dari kursi ketua umum dan mendirikan partai baru: Partai Keadilan dan Persatuan (PKP).
Pada Munas Golkar 2004, Akbar Tandjung kembali bertarung untuk kursi ketua umum. Ia berhadapan dengan Jusuf Kalla (JK), yang notabene saat itu menjadi Wapres RI mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat itu, ada tiga kandidat yang bersaing memperebutkan kursi nomor satu partai berlambang pohon beringin, yaitu Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Marwah Daud Ibrahim. Dan pertarungan dimenangkan JK.
Munas Golkar di Pekanbaru, Riau, 4-7 Oktober 2009 juga nyaris sama. Ada empat kandidat yang maju dalam Munas itu, yakni: Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, dan Yuddy Chrisnandi. Dari empat kandidat itu, Aburizal dan Paloh dianggap paling kuat.
Pelaksanaan Munas Golkar saat itu dimenangkan oleh Aburizal Bakrie yang meraih 296 suara, sedangkan Surya Paloh meraih 240 suara. Aburizal Bakrie mengungguli Surya Paloh dengan 56 suara, sedangkan Yuddy dan Tommy dalam pemilihan itu tak meraih satu suara pun.
ARB akhirnya menguasai Golkar, sementara Paloh memilih mundur dan mendirikan ormas Nasdem yang akhirnya bertransformasi menjadi Partai Nasdem.
Kemudian, pada 2014, konflik perebutan ketua umum kembali terjadi dengan munculnya dualisme kepemimpinan Golkar, yaitu ARB dan Agung Laksono. Akhirnya, Golkar kembali bersatu dan memilih Setya Novanto sebagai pimpinan.
Kunto berkata, meski yakin ada kandidat lain yang akan melawan Airlangga, tapi ia belum melihat nama yang cukup kuat.
Pria yang juga dosen di Universitas Padjajaran ini beralasan, Airlangga punya sumber daya politik yang kuat dibandingkan kandidat lain.
"Airlangga sebagai ketum petahana bisa leluasa untuk memainkan semua kartu, sedangkan kandidat lain mungkin harus bergerilya untuk menghindari layu sebelum berkembang," kata Kunto.
Menunggu Kader yang Siap
Pernyataan Kunto ada benarnya. Kader Partai Golkar memang cukup banyak, tapi kemungkinan tidak berani berhadapan dengan Airlangga.
Saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (4/10/2019), salah satu kandidat Ketua Umum Golkar, Agus Gumiwang menyatakan tidak akan maju dalam perebutan kursi ketua umum pada munas yang akan digelar Desember 2019.
Pria yang kini menjabat sebagai menteri sosial Kabinet Kerja Jokowi-JK itu memandang tidak etis bila dirinya melawan Airlangga sebagai seniornya.
"Airlangga itu selain Ketum, juga kakak saya. Mana mungkin saya berkhianat. Terlalu tolol kalau ada orang yang menduga saya akan berkhianat," kata Agus saat dikonfirmasi soal kemungkinan dirinya maju sebagai ketua umum.
Sebaliknya, kader yang juga mengincar kursi Ketua Umum Golkar Indra Bambang Utoyo mengaku mundurnya Bambang menjadi keuntungan bagi dirinya dalam perebutan kursi ketua umum.
Indra menegaskan akan maju dalam bursa ketua umum Golkar walau penuh tantangan dalam menghadapi Airlangga sebagai petahana.
"Kasat mata ya bukan kelasnya untuk melawan beliau [Airlangga]. Namun saya sudah siap untuk maju di munas yang akan datang. Saya jual konsep untuk membesarkan Golkar, pada waktunya nanti saya akan deklarasi," kata Indra saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (4/10/2019).
Indra mengatakan, dirinya tetap optimistis berhadapan dengan Airlangga. Ia bahkan mengaku sudah membentuk tim sukses dan mencari kader yang bersedia maju berhadapan dengan Airlangga.
"Jadi ada kader lama dan yang muda bergabung, cuma boleh disebut kader yang jati diri Golkarnya tidak diragukan," kata Indra.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz