tirto.id - Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar resmi memilih Setya Novanto (Setnov) sebagai nahkoda baru partai beringin. Politisi kelahiran Bandung, 12 November 1955 itu mengalahkan tujuh kandidat lainnya dalam Munaslub yang digelar di Nusa Dua Bali, 14-17 Mei 2016. Setnov terpilih secara aklamasi, setelah Ade Komarudin (Akom) memutuskan mundur dari pencalonan saat akan diselenggarakan pemungutan suara putaran kedua.
Pada putaran pertama, delapan calon ketua umum memperebutkan 554 suara dari pengurus DPD Golkar tingkat I dan II serta ormas pendiri Golkar. Pemungutan suara tahap pertama hasilnya: Ade Komarudin (173 suara), Setya Novanto (277), Airlangga Hartarto (14), Mahyudin (2), Priyo Budi Santoso (1), Aziz Syamsuddin (48), Indra Bambang Utoyo (1), dan Syahrul Yasin Limpo (27). Sedangkan suara tak sah berjumlah 11.
Panitia melanjutkan putaran kedua untuk dua calon peraih suara terbanyak. Sesuai mekanisme pemilihan yang berlaku, Setnov dan Akom harus bertanding ulang karena sama-sama meraih 30 persen suara. Namun, Akom menyatakan mundur dari pencalonan. Nurdin Halid yang memimpin sidang memutuskan Setnov terpilih sebagai ketua umum menggantikan Aburizal Bakrie.
Perpecahan yang sempat muncul sebelum Munaslub ternyata berakhir antiklimaks. Prediksi-prediksi akan terjadi kemelut ternyata tak terbukti. Setnov sebagai Ketua Umum Golkar yang baru berjanji akan merangkul semua kandidat yang maju dalam Munaslub. Tak lupa, Setnov menyatakan rasa hormat dan bangga kepada rival terberatnya Akom yang memuluskan jalannya menjadi nahkoda baru partai. Setnov berjanji akan melepas jabatannya sebagai Ketua Fraksi Golkar di DPR RI.
"Saya hormat dan bangga terhadap pak Ade. Sebagai Ketua DPR memberikan contoh yang baik kepada kader Golkar yang hadir maupun yang ada di seluruh Indonesia,” kata Setnov, seperti dilansir Antara, Selasa (17/5/2016).
Peta Politik Munaslub
Sebelum aklamasi penetapan Setnov sebagai Ketua Umum, perpecahan Golkar mengerucut pada dua kubu. Hal itu antara lain terlihat dari konferensi pers yang dilakukan masing-masing kandidat. Misalnya, saat ada isu salah satu calon mengumpulkan para ketua DPD dan mendorong agar pemilihan ketua umum dilakukan secara terbuka, Akom dan keenam calon lain mengadakan konferensi pers bersama menolak wacana itu.
Keenam calon lain antara lain, Syahrul Yasin Limpo, Priyo Budi Santoso, Idra Bambang Utoyo, Aziz Syamsudin, Airlangga Hartarto, dan Mahyudin. Sedangkan Setnov melakukan konferensi pers sendiri di luar tujuh kandidat itu.
Peta politik itu berubah menjelang pemungutan suara. Misalnya, Priyo Budi Santoso mengaku memberikan suaranya pada Setnov, padahal sebelumnya politisi kelahiran Kabupaten Trenggalek Jawa Timur itu berada di kubu Akom.
Sikap politik Priyo berbeda setelah bertemu empat mata dengan Setnov. Priyo juga sempat komunikasi empat mata dengan Aburizal Bakrie dan Luhut Binsar Pandjaitan di tempat yang berbeda. Entah apa yang diobrolkan pada pertemuan itu, karena mereka merahasiakannya. Yang jelas, setelah pertemuan itu, sikap Priyo berbalik mendukung Setnov.
"Saya sudah mengadakan pertemuan empat mata dan bersepakat untuk mendukung Setya Novanto sekaligus mengalihkan dukungan," kata Priyo di arena Munaslub, Selasa (17/5/2016).
Alhasil, pada pemungutan suara tahap pertama Setnov unggul 104 suara dari Akom. Melihat realitas politik seperti itu, Akom memilih mundur dari pemilihan tahap kedua. Secara matematis, kalau pun Akom mendapat dukungan suara dari calon lain, perolehan suara Akom tetap akan kalah dengan Setnov.
Alasan Akom masuk akal. Ia berdalih memberi kesempatan pada Setnov sebagai politisi yang lebih senior. Selain itu, Munaslub diharapkan juga menjadi wadah rekonsiliasi kader yang setahun terakhir pecah akibat dualisme kepemimpinan antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Apalagi Akom merasa masih memiliki kesempatan untuk menjadi orang nomor satu di partai beringin itu mengingat usianya masih relatif muda, yakni 50-an.
“Saya lebih muda dari Pak Novanto. Saya masih lima puluh, Pak Novanto sekarang 60. Masih ada kesempatan bagi saya di masa mendatang," katanya.
Namun, kalau dilihat dari kalkulasi politik saat itu, pilihan Akom mundur bukan semata-mata memberikan kesempatan pada Setnov, melainkan sebagai upaya menyelamatkan posisinya sebagai Ketua DPR RI. Secara hitung-hitungan politik ia pasti akan kalah dan posisinya sebagai Ketua DPR RI bisa saja tidak aman karena berseberangan dengan sang penguasa partai berlambang beringin itu.
Sedangkan kalau mundur, maka Akom akan dianggap berjasa karena memuluskan Setnov menuju singgasana Golkar dan posisinya sebagai Ketua DPR RI aman. Apalagi, ia juga dekat dengan Aburizal Bakrie yang didaulat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan.
Politisi senior Partai Golkar Akbar Tandjung mengaku tidak terkejut dengan pilihan politik Akom. Pasalnya, dari hasil pemungutan suara pada putaran pertama saja, kans Akom dinilai sangat tipis untuk menang. “Perbedaannya cukup jauh. Secara matematis politiknya, peluangnya tidak begitu kondusif untuk terus bertarung,” ujarnya.
Apalagi, kata Akbar, Setnov sudah membangun koalisi dengan Aziz Syamsuddin yang pada putaran pertama berada di urutan ketiga dengan perolehan suara 48. Apabila Akom memaksakan diri melawan Setnov, bisa saja posisinya sebagai Ketua DPR RI saat ini terancam digantikan Aziz Syamsudin, karena penentuan posisi Ketua DPR sepenuhnya merupakan kewenangan DPP Partai Golkar.
“Itu bisa saja terjadi. Saya mendengar beberapa hari lalu Novanto berkoalisi dengan Aziz. Dari situ saja kita bisa ambil kesimpulan,” kata Akbar yang pernah memimpin Partai Golkar di awal reformasi.
Saat ini, Setnov telah resmi didampingi Idrus Marham sebagai Sekretaris Jenderal, Robert Joppy Kardinal sebagai Bendahara Umum, dan Nurdin Halid sebagai Ketua Harian Golkar. Sedangkan kepengurusan yang lain akan diumumkan beberapa waktu ke depan karena ketua umum masih memiliki waktu 15 hari untuk mengisi kepengurusan.
Kandidat Jagoan Istana Selalu Menang
Terpilihnya Setnov sebagai Ketua Umum Golkar memunculkan dugaan adanya intervensi dari pemerintah. Sebelumnya, Setnov diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dalam pencalonannya sebagai ketua umum pada Munaslub. Ia berkampanye seolah-olah dirinya merupakan kandidat yang didukung Istana Negara kepada para ketua DPD Golkar sebagai pemilik suara.
Pernyataan Setnov itu bisa saja benar, tapi bisa saja juga hanya klaim sepihak. Pasalnya, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan, Presiden Joko Widodo tidak ikut cawe-cawe urusan Golkar, termasuk kandidat calon ketua umum pada Musnaslub. “Pemerintah sama sekali tidak ingin campur tangan dalam penentuan siapa pun yang mau jadi Ketua Umum Golkar,” katanya.
Kalau pun ada pejabat atau menteri Kabinet Kerja yang berlatar belakang Partai Golkar mendukung salah satu kandidat, Pramono menegaskan, hal itu tentu bukan representasi pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi.
Pejabat yang disebut-sebut mendukung Setnov adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan. Namun, rumor itu sempat ditepis Luhut. Ia membantah dirinya mendukung penuh pencalonan Setnov untuk maju memimpin Partai Golkar dan juga membantah pernah menyatakan dukungan kepada Setnov dengan mengatasnamakan Presiden Jokowi.
“Saya tidak pernah mengatakan mendukung siapa-siapa. Bahwa mereka teman saya, iya. Bahwa ada yang datang ke saya, juga iya. Bahwa Novanto baik sama saya, iya, kalau saya suka ke Novanto kan boleh saja, kan enggak salah,” ujarnya, Senin (9/5/2016).
Pihak Istana boleh saja membantah. Tapi klaim Setnov benar-benar ampuh mengantarkan politisi yang dikenal “licin” ini menjadi orang nomor satu di partai beringin, mengalahkan tujuh kandidat lain dengan skor telak.
Hal yang sama juga terjadi pada Munas 2004 saat Jusuf Kalla mengalahkan Akbar Tandjung yang saat itu merupakan calon petahana. Pada saat itu, ada tiga kandidat yang bersaing memperebutkan kursi nomor satu partai berlambang pohon beringin, yaitu Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Marwah Daud Ibrahim.
Jusuf Kalla yang saat itu juga menjadi Wakil Presiden 2004-2009 berhasil merebut kursi Golkar dari tangan Akbar, meski harus melalui dua putaran. Pada putaran kedua, perolehan suara Kalla 323 suara jauh melampaui Akbar yang hanya meraih 156 suara. Lagi-lagi, banyak pihak menilai kemenangan Kalla tidak terlepas dari dukungan Istana Negara.
Usai pemilihan ketua umum, Akbar menyatakan bisa menerima kekalahan. Menurut dia, pemilihan telah berlangsung demokratis dan para pengurus DPD telah memilih nahkoda baru bagi Golkar. Akbar juga menolak spekulasi soal kemungkinan dirinya didapuk sebagai Dewan Penasehat Golkar. “Itu wewenang ketua umum yang baru, Pak Kalla kan sudah menyebut saudara Surya Paloh di posisi itu,” kata Akbar waktu itu. Faktanya, Kalla menempatkan Surya Paloh sebagai Ketua Dewan Pembina.
Munas Partai Golkar di Pekanbaru, Riau, 4-7 Oktober 2009 juga nyaris sama. Ada empat kandidat yang maju dalam Munas itu, yakni Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto dan Yuddy Chrisnandi. Dari empat kandidat itu, Aburizal dan Paloh dianggap paling kuat.
Pelaksanaan Munas Golkar saat itu dimenangkan oleh Aburizal Bakrie yang meraih 296 suara, sedangkan Surya Paloh meraih 240 suara. Aburizal Bakrie mengungguli Surya Paloh dengan 56 suara, sedangkan Yuddy dan Tommy dalam pemilihan itu tak meraih satu suara pun.
Namun, sejatinya pertarungan perebutan jabatan ketua umum pada Munas Golkar tahun 2009 itu adalah perseteruan perebutan kekuasaan antara Aburizal dan Paloh dan pertarungan gengsi antara Jusuf Kalla dan Akbar Tanjung.
Saat itu, Surya Paloh didukung oleh Jusuf Kalla --karena pada periode kepengurusan Kalla, Surya Paloh adalah Ketua Dewan Penasehat Golkar--- dan Aburizal Bakrie didukung Akbar Tandjung, seteru Jusuf Kalla yang dikalahkan pada Munas 2004 di Nusa Dua Bali. Walaupun pada Munas Riau tidak ada dukungan nyata dari Istana Negara, tetapi kecenderungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat itu tentu lebih condong ke Aburizal yang notabene adalah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Sedangkan Surya Paloh didukung Jusuf Kalla yang notabene rival Yudhoyono pada Pilpres 2009.
Melihat sejarah Munas Golkar seperti itu, maka tidak heran jika Setnov melakukan pendekatan dengan Istana Negara melalui Luhut Binsar Pandjaitan yang notabene adalah kader Golkar. Meskipun klaim itu dibantah Istana, tetapi jurus Setnov terbukti ampuh.
Golkar Tak Pernah Absen di Kabinet
Golkar dan pemerintahan memang sulit dipisahkan. Sejak berdiri, Golkar selalu menjadi partai pendukung pemerintah. Setelah reformasi 1998, partai yang identik dengan Soeharto pada era Orde Baru itu bahkan selalu menjadi bagian dari pemerintahan. Baru pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Megawati Sukarnoputri, Golkar tidak begitu banyak mendapatkan jatah menteri.
Pada Pilpres langsung pertama 2004, Golkar kembali mendudukkan kadernya dalam pemerintahan. Hal itu tercatat dalam daftar kabinet Presiden Yudhoyono selama dua periode, di mana kader-kader Golkar menduduki beberaja jabatan menteri, bahkan menteri koordinator.
Seperti Aburizal Bakrie yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, dan Agung Laksono yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat (Kesra) pada Kabinet Indonesia Jilid II.
Pada Pilpres 2014 lalu, Golkar mendukung duet Prabowo-Hatta Radjasa. Calon yang diusung Golkar itu gagal menjadi orang nomor satu di republik ini, dan Golkar menyatakan diri sebagai partai oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sehingga Golkar tidak mendapat jatah menteri dalam Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.
Awal perjalanan Golkar di KMP, partai beringin cukup getol menunjukkan taringnya sebagai partai oposisi yang kerap kritis terhadap pemerintah. Namun, sikap tersebut mulai goyah menjelang pelaksanaan Munas 2014. Beberapa kader Golkar mulai mendorong agar Golkar merapat ke pemerintah. Sikap Aburizal yang kekeh tetap berada di KMP membuat partai berlambang pohon beringin tersebut pecah.
Hal itu wajar, mengingat Golkar tidak pernah memiliki pengalaman sebagai oposisi. Sejak didirikan selalu menjadi pendukung pemerintah. Hal itu berbeda dengan PDIP yang konsisten menjadi partai oposisi selama sepuluh tahun pemerintahan SBY dan baru menjadi partai penguasa setelah kadernya, yakni Joko Widodo menang dalam Pilpres 2014.
Belakangan, melalui Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar, Januari 2016, Aburizal menyatakan sikap partainya mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Reposisi dukungan tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil Rapat Konsultasi Nasional pengurus Golkar di Bali beberapa pekan sebelumnya. "Saya yakin bahwa kader-kader partai kita akan memutuskan lewat Rapimnas ini agar Partai Golkar memilih jalur pengabdian dengan bersama kekuatan yang dipimpin Presiden Jokowi,” ujarnya.
Sejak saat itu, Golkar mulai mengubah sikap politiknya, yaitu ingin bekerja sama dengan pemerintah. Bahkan pada Munaslub di Bali, Golkar menyatakan mendukung pemerintah dan keluar dari KMP. "Mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi keputusan Munas Partai Golkar Nomor 5/Munas IX/2014 tentang posisi Partai Golkar dalam Koalisi Merah Putih," kata Sekretaris Sidang Munaslub Siti Aisyah saat membacakan hasil keputusan Munaslub di Bali, Senin malam.
Munaslub menyepakati bahwa sesuai doktrin Partai Golkar, karya-kekaryaan dan demi kemajuan bangsa serta kesejahteraan rakyat, maka Golkar dinilai perlu memposisikan ulang keberadaannya dalam lingkup KMP untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Munaslub juga memutuskan dukungan Golkar terhadap pemerintahan Jokowi-JK harus ditindaklanjuti dengan upaya nyata Partai Golkar, demi menyukseskan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Selain itu, Golkar juga diberikan kewenangan penuh untuk mengambil kebijakan dan segala langkah dalam rangka mengonsolidasikan seluruh tindakan dengan tetap berpegang teguh pada ideologi doktrin, paradigma baru dan landasan perjuangan Golkar. "Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan," ujar Siti Aisyah.
Setnov sebagai Ketua Umum Partai Golkar terpilih menegaskan, partai yang dipimpinnya kini mendukung pemerintah. "Golkar akan bekerja sama dengan pemerintah. Kami akan mendukung program pemerintah," kata Setnov usai terpilih secara aklamasi.
Akankah Golkar dapat jatah menteri di Kabinet Kerja? Nantikan episode baru dari Golkar.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti