Menuju konten utama
Misbar

Kemenangan Film "Roh" Terletak pada Gambar yang Mentereng

Roh berbeda dari film-film horor di pasar Malaysia lainnya yang didominasi teknik jump-scare dan sosok supernatural ber-make-up tebal.

Kemenangan Film
Film Roh. FOTO/IMDB

tirto.id - Roh (2019) film horor athmospheric karya sutradara Emir Ezwan dipilih oleh National Film Development Corporation Malaysia (Finas) untuk secara resmi mewakili Malaysia dalam seleksi film untuk Academy Awards 2021. Meski akhirnya tidak mendapatkan nominasi, pemilihan film bergenre horor untuk secara resmi mewakili suatu negara adalah pilihan tak lazim, karena stigma lama bahwa horor bukan film serius.

Meski pesimis akan peluang nominasi di Oscar, anggota dewan Finas, Ku Mohamad Haris Ku Sulong menyatakan kepadaSouth China Morning Post bahwa keputusan ini diambil untuk menginspirasi para pembuat film di Malaysia agar berinovasi menghasilkan film berkualitas tanpa budget besar. Roh sendiri dibuat hanya dengan bujet sebesar USD119.000. Proses syuting memakan waktu selama dua minggu di Hutan Dengkil, Selangor, tidak terlalu jauh dari ibukota Malaysia, Kuala Lumpur.

Ku Sulong juga menerangkan bagaimana keputusan ini dilakukan untuk memperkenalkan sisi lain dunia perfilman Malaysia ke kancah internasional. Patut diakui, Roh memang berbeda dari film-film horor di pasar Malaysia lainnya yang didominasi teknik jump-scare dan sosok supernatural ber-make-up tebal yang tampak lebih jenaka alih-alih menyeramkan. Roh menjanjikan atmospheric horror, yang perlahan-lahan membangun rasa takut melalui berbagai kejanggalan dan fenomena-fenomena mengerikan yang tidak mencolok dan disajikan sedikit demi sedikit secara perlahan hingga akhirnya memuncak.

Roh mengisahkan kehidupan sebuah keluarga yang porak poranda ketika ditinggal sang ayah. Pada suatu hari, mereka kedatangan seorang gadis aneh. Muncul dengan pakaian kotor berlumuran lumpur, sang gadis diterima dengan baik oleh keluarga tersebut. Ia disangka gadis dari kampung sebelah yang tersesat di dalam hutan. Namun, keesokan harinya sang gadis malah bunuh diri di pintu gubuk. Seisi rumah pun akhirnya terpaksa meninggalkan jasad si gadis di sebuah lapangan terbuka. Kejadian ini kelak mengawali serangkaian peristiwa aneh dan mengenaskan yang akhirnya menewaskan semua anggota keluarga tersebut.

Plot ini disampaikan Roh lewat visual yang digarap sinematografer Saifuddin Musa dengan resolusi tinggi tanpa noise sehingga penonton dapat melihat objek dekat kamera dan latar belakang secara bersamaan. Tim produksi sengaja menghabiskan porsi besar anggaran untuk kamera Red Dragon yang berteknologi 6K agar bisa menyulap Hutan Dengkil dari sekedar latar film menjadi ‘karakter’ yang lengkap dengan perwatakannya sendiri.

Hutan tempat tinggal keluarga dalam Roh dihidupkan dengan seperangkat tracking shot yang mengikuti pergerakan pepohonan, daun-daun, dan sinar matahari dalam hutan yang terus berubah sesuai dengan alur cerita. Hutan yang awalnya terasa intim dan bersahabat menjadi mencekam di akhir film berkat perubahan komposisi gambar, pergerakan kamera yang melambat, dan shot yang semakin gelap.

Penggunaan atmospheric horror untuk menghidupkan setting hutan bukanlah hal baru dalam produksi film horor. Roh bahkan terlihat secara langsung melanjutkan teknik-teknik yang digunakan oleh The Witch (2015) karya sutradara Robert Eggers.

The Witch sendiri tidak menghadirkan inovasi baru. Namun, dengan handal ia memainkan berbagai konvensi yang dapat dengan mudah dikenali penonton. Robert Eggers menduga penontonnya niscaya akrab dengan cerita rakyat (folklore) nenek sihir tua yang tinggal di hutan, menyembah setan, lalu menculik bayi dan memakannya agar awet muda dan hidup lebih lama. Eggers juga memanfaatkan rujukan ke peristiwa pengadilan penyihir Salem (1693). Peristiwa ini muncul karena ketegangan sosial dan kondisi hidup yang tidak layak dalam koloni pemukim awal Amerika Serikat dari Inggris. Situasi ini menyebabkan persaingan antar pemukim, yang kemudian menuduh satu sama lain sebagai seorang penyihir yang bersekutu dengan setan. Eggers menghadirkan karakter-karakter berlatarbelakang keluarga Puritan yang diasingkan dari koloni ke dalam hutan karena dituduh menyebarkan ajaran agama Kristen yang dipandang terlalu mengekang dan sudah tidak lagi relevan di Amerika Serikat, tanah baru mereka.

Namun, The Witch juga memperkenalkan memperkenalkan kisah tersebut ke penonton awam melalui perbincangan setengah serius antar karakter anak-anak. Roh membuka filmnya dengan sebuah kutipan Al-Quran dan menghadirkan seorang dukun yang melakukan ritual-ritual untuk melindungi keluarga. Namun, hal ini tidak didijelaskan lebih lanjut sehingga membingungkan penonton yang tidak familiar dengan Islam, peristiwa, atau folklore yang dirujuk.

Film lain seperti Roh dan The Witch yang menjanjikan horor supernatural secara atmosferik dengan plot yang kental akan unsur keagamaan adalah The Wailing (2016). Film yang ditulis dan disutradarai oleh Na Hong-Jin ini dibuka dengan kutipan dari Alkitab, kemudian menampilkan ritual-ritual syamanisme Korea alias Shindo yang sarat simbol dan ajaran Buddha. Syamanisme Korea dalam film ini berfungsi menuturkan kisah tentang entitas supernatural yang berusaha mempengaruhi manusia.

Infografik Misbar Roh

Infografik Misbar Roh. tirto.id/Quita

Alur The Wailing didesain sedemikian rupa agar karakter-karakter manusia di dalam cerita kesulitan menerka mana sebenarnya malaikat dan mana iblis. Meskipun Roh juga mengambil pendekatan yang sama dengan menampilkan dua perwujudan kebaikan dan kejahatan, dua karakter ini tidak didesain untuk menyuguhkan ambiguitas layaknya di The Wailing. Pendekatan ini malah tidak dijajaki secara mendalam, sehingga hanya menjadi pemanis untuk menggerakkan plot.

Terakhir, Roh kurang berhasil menyajikan atmospheric horror melalui bahasa gambar. Meski berhasil menunjukkan kengerian secara perlahan, shot-shotnya malah terlihat balapan dengan sound design yang mengejar efek jump-scare. Contohnya ada pada adegan ketika Along, anak perempuan dari keluarga tersebut, tersesat di dalam hutan dan ditemukan sang pemburu. Kamera yang mengikuti sang pemburu dengan cara merangkak perlahan dari belakang sebetulnya sudah memberikan efek merinding. Namun, kemunculan suara yang mengiringinya justru mengalihkan perhatian penonton dan membuat momen ini tampil jenaka.

Film-film atmospheric horror seperti The Witch biasanya mengandalkan diegetic sound, atau suara-suara alamiah yang muncul saat syuting daripada suara-suara latar yang ditambahkan dalam proses penyuntingan. Hampir semua momen paling mencekam The Witch, misalnya ketika penyihir mengubah bayi manusia menjadi ramuan awet muda, disajikan dalam keheningan. Teknik hemat suara inilah yang membuat suara sungguh-sungguh bermakna ketika tampil. Cerita pun nampak lebih realistis.

Bagaimanapun, perhatian para pembuat film Roh pada kamera dan sinematografi berhasil mengolah alam menjadi sesuatu yang indah sekaligus mengerikan. Itulah kemenangan mereka.

Baca juga artikel terkait MISBAR atau tulisan lainnya dari Pia Diamandis

tirto.id - Film
Kontributor: Pia Diamandis
Penulis: Pia Diamandis
Editor: Windu Jusuf