tirto.id - Dulu kita lebih sering mengenal istilah job hopping, fenomena pekerja berpindah-pindah dari satu profesi ke profesi lain seperti kelinci.
Ada masa ketika di dunia kerja para job hopper ini dihargai tinggi karena dianggap memiliki pengalaman unik dan beragam.
Pada masa itu, job hopper berbondong-bondong mendapat tawaran gaji tinggi dari berbagai perusahaan. Safe to say, bahwa era tersebut sepertinya sudah berakhir lebih cepat dari yang diperkirakan.
Sekarang, menjadi job hopper adalah tindakan penuh risiko karena situasi ekonomi tidak stabil.
Baru-baru ini, job hugging, fenomena yang berkebalikan dengan job hopping, lebih sering terdengar. Pada waktu-waktu sekarang, para pekerja lebih memilih bertahan di kantor, betapa pun tidak menyenangkannya situasi kerja yang dialami.
It’s for the sake of their own dear lives.
Job hugging menggejala di berbagai kalangan, tetapi kelompok Gen Z yang paling terkena imbasnya karena situasi terbaru membuat mereka tidak bisa banyak mengeksplorasi potensi pekerjaan yang ada.
“Gen Z yang paling tahu dampak dari AI, mereka telah menyaksikannya dalam perkembangan teknologi akhir-akhir ini. Namun jika kita lihat lebih dalam lagi, kelompok ini dipenuhi orang-orang berusia awal 20-an ketika Covid-19 melanda. Mereka mengalami masa-masa ketidakpastian yang begitu buruk, sepertinya pengalaman ini memberikan kesadaran tentang arti stabilitas dalam hidup.”
Begitu pendapat seorang warganet, Alana Riley, mengenai job hugging kepada 7NEWS Australia.
Sejumlah laporan menunjukkan fenomena job hugging terjadi di berbagai belahan dunia, dari Amerika Serikat, Australia, hingga Indonesia.
Kelompok produktif tidak lagi punya kepercayaan diri untuk mencari peluang baru, membuat mereka memilih untuk berada di posisi yang sama.
Hal ini tercermin dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 yang menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di angka 4,76 persen dengan jumlah angkatan kerja mencapai 153,05 juta orang.
Seperti dilaporkan Tirto.id yang menukil penelitian Trading Economics, Indonesia tercatat memiliki tingkat pengangguran tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa serapan tenaga kerja menurun di saat jumlah pekerja baru (fresh graduate) juga naik.
Peluang kerja semakin terbatas dan tidak sedikit perusahaan memilih untuk menerapkan hiring freeze alias penghentian sementara seluruh proses rekrutmen.
Secara global, seluruh pekerja dilanda kecemasan terus-menerus dengan kabar PHK, harga barang pokok yang naik, serta kebijakan ekonomi yang kian ketat di sana-sini.
“Ketidakpastiaan pekerjaan adalah ancaman karena meningkatkan kekhawatiran dan kecemasan individu. Semua ini akan memberikan dampak negatif terhadap kesehatan (pekerja) dibanding ketika kehilangan pekerjaan yang sesungguhnya,” tulis Bryan Robinson dalam artikel “Job Hugging: Signs of the Rising Trend and 5 Ways to Address It.” di Forbes baru-baru ini.
Kepada Bryan, CEO Summit Group Solutions Jennifer Schielke juga menggaris bawahi bagaimana job hugging dapat memberikan ilusi keliru bahwa pekerja memiliki loyalitas tanpa batas kepada perusahaan. Padahal, yang sesungguhnya tengah terjadi adalah stagnasi alias kemandekan.
Tidak hanya berkutat di satu pekerjaan lebih lama dibanding generasi sebelumnya, para job huggers mengalami dilema karena pintu promosi karier kemungkinan besar tertutup.
Ini terjadi karena tidak ada proses regenerasi yang berjalan di dalam perusahaan. Semua orang bersikukuh mempertahankan posisinya.
Dari sinilah, pekerja juga perlu perlu mewaspadai situasi yang mungkin saja muncul di kantor.
Fenomena job hugging berpotensi membuat perusahaan menghentikan tawaran kenaikan gaji karena tahu karyawan lebih memilih untuk bertahan.
Selain itu, job hugging juga diiringi dengan semakin seringnya sistem quiet firing alias penerapan pemecatan diam-diam.
Melakukan PHK terhadap karyawan memakan biaya yang besar, maka taktik yang bisa dilakukan oleh perusahaan adalah dengan memasukkan pekerja dalam Rencana Peningkatan Performa. Program ini mengetatkan kembali capaian dan performa pekerja di perusahaan.
“Sejujurnya, ditempatkan dalam Rencana Peningkatan Performa berarti ‘kami tidak lagi menginginkanmu ada di sini’. Terasa kasar, tapi dalam pengalamanku, program ini tidak dirancang untuk membantu para karyawan,” kata pengacara buruh Kim Cramer dalam artikel yang ditulis oleh Callum Borchers di The Wall Street Journal.
Dampak jangka pendek job hugging adalah demotivasi para pekerja untuk meraih karier tinggi.
Pada waktu sama, begitu banyak kita dengar cerita di linimasa media sosial tentang kesulitan para pencari kerja betapa untuk mendapatkan pekerjaan yang bisa memberikan kehidupan cukup dan layak, tidak perlu mewah.
Jika tidak ada tindakan cepat yang dilakukan untuk mengatasi terpuruknya situasi kerja, job hugging bukan tidak mungkin menimbulkan konsekuensi serius bagi masa depan negara, sementara jumlah pencari kerja terus bertambah setiap tahun.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































