Menuju konten utama

Quiet Quitting: Kami Tak Berhenti, tapi Bekerja Secukupnya

Tren bekerja secukupnya sebagai cara melindungi kesehatan mental dan fisik di kantor. Namun, tak bisa diterapkan di semua sektor.

Quiet Quitting: Kami Tak Berhenti, tapi Bekerja Secukupnya
Ilustrasi lelah bekerja. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Istilah quiet quitting—secara harfiah: berhenti diam-diam—belakangan masif dibincangkan di internet, khususnya di media sosial. Kedatangannya alami belaka.

Kontras dengan padanan harfiahnya, ia tak berkaitan dengan proses keluar atau berhenti dari pekerjaan. Malahan, kau sebetulnya tetap bertahan di pekerjaanmu. Lantas, apa maksudnya?

Banyak pekerja tiba-tiba menyadari, bahwa overworking tak mengarahkan kariernya ke mana-mana dan produktivitas bukanlah segalanya. Kau bahkan tak melihat buah dari produktivitas berlebih itu. Pukul 5:00 teng—atau pukul berapa pun jam kerjamu usai—laptop mesti ditutup, tak lagi menerima telepon terkait pekerjaan, dan kini lebih sering bilang "tidak" alih-alih mengiyakan.

Waktu-waktu tanpa intervensi itu bisa dihabiskan bersama keluarga, mengerjakan hal lain, atau menghibur diri. Apa saja, selain bekerja.

Sederhananya, quiet quitting adalah sebutan untuk bekerja seadanya. Lebih lanjut, ia juga berarti tak menganggap pekerjaan sebagai sesuatu yang kelewat serius. Melakukan pekerjaan sesuai upah dan menolak pekerjaan tambahan tanpa bayaran yang pantas.

Pada segi lain, quiet quitting bisa berarti memandang pekerjaan atau perusahaan tempatmu bekerja secara apatis. Itu otomatis berarti bekerja pasif, tak berinisiatif, juga menyimpan masukan jika tak diminta bicara. Quiet quitting bisa dibilang berlawanan dengan hustle culture.

Terdengar normal, memang, terlebih di sektor-sektor yang para pekerjanya dimungkinkan untuk "tampil standar". Pasalnya, banyak pekerja yang ingin memisahkan karier dari identitas mereka. Tak sedikit pula pekerja yang tak ambil pusing pada perkara jenjang karier atau ambisi mencapai posisi atau prestasi lebih tinggi.

Istilah quiet quitting mendadak ramai dibicarakan belakangan ini salah satunya berkat video pengguna Tiktok @zaidleppelin. Video yang diunggah pada Juli 2022 itusetidaknya telah ditonton lebih dari 3 juta kali.

"Kau tidak keluar dari pekerjaanmu, kau keluar dari gagasan untuk going above and beyond at work," ujarnya.

Sampai Selasa, 23 Agustus lalu, tagar #quietquitting di Tiktok telah meraup 17,4 juta views.

Kendati pelabelannya terdengar keliru, toh, kini kita punya satu payung istilah (sekaligus tagar) yang menghimpun metode bekerja secara biasa-biasa saja.

Istilah ini kemudian kian ramai dibicarakan, menuju Twitter, juga diusulkan untuk dinamai "acting your wage" atau bekerja sesuai gajimu. Tak hanya itu, ia juga memicu pembahasan panjang di Reddit.

Terang saja, quiet quitting beresonansi pada banyak pekerja milenial dan generasi pekerja terkini, Gen Z. Entah itu siasat untuk menghindari burnout, lepas dari telepon bos saat sedang bersantai, atau menolak eksploitasi buah kerja kerasmu lebih jauh.

Quiet quitting pada akhirnya bertujuan untuk menghadirkan work-life balance yang ideal, sekalian batasan sehat antara dirimu sebagai manusia dan pekerja.

Dampak Kualitas Hidup yang Menurun dan Batasan yang Kabur

Tentu tak semua pekerja merasa bangga dengan pekerjaannya, apalagi punya keinginan memberikan hal ekstra untuk perusahaan. Banyak orang memilih untuk mengerjakan tugas-tugas sesuai kapasitas, lalu pulang, dan memutus komunikasi ketika jam kerja selesai.

Pilihan semacam itu bukanlah hal baru, begitu pula dengan "bekerja sesuai standar". Gen Z pun bukan satu-satunya generasi yang pernah merasakan burnout.

Kendati demikian, seperti yang ditulis WSJ, "Perbedaannya sekarang adalah generasi ini memiliki TikTok dan tagar untuk dimunculkan. Dan [orang-orang] usia 20-an ini bergabung dalam dunia kerja selama pandemi COVID-19 dengan semua efek dislokasi, termasuk batas yang kabur antara pekerjaan dan kehidupan."

Sementara itu, New York Post menyebut konsep quite quitting sebetulnya berasal dari gerakan yang mulai menyapu China tahun lalu. Ia dikenal sebagai lying flat atau tang ping, yaitu fenomena gelombang pekerja muda yang memberontak terhadap konsep jam kerja yang panjang dan sulit di China.

Apa pun itu, Gen Z dan Milenial setidaknya sedang mencoba menulis ulang aturan dan relasi di tempat kerja—terlebih ketika banyak perusahaan menetapkan kembali work from office selepas pandemi mereda. Dengan menguatnya pasar tenaga kerja hari ini, banyak pekerja merasa memiliki kekuatan untuk mendorong balik.

Melansir data dari Gallup yang dikuti WSJ, keterlibatan karyawan dari seluruh generasi terhadap tempat kerjanya di AS menurun. Keterlibatan terendah ada pada Gen Z dan Milenial muda, yang selama kuartal pertama 2022 hanya mencapai 31 persen.

Sedangkan di Britania Raya, riset global Gallup menunjukkan hanya 9 persen pekerja yang terlibat atau antusias dengan pekerjaan mereka.

Infografik Quiet Quitting

Infografik Quiet Quitting. tirto.id/Tino

Angka-angka itu tak mengherankan jika kita menilik survei global Randstad yang melibatkan 35.000 pekerja. Hasil survei itu menunjukkan lebih dari setengah pekerja (56 persen Gen Z dan 55 persen Milennial) mengatakan akan keluar dari pekerjaan jika itu menghalangi mereka untuk menikmati hidup.

Randstad menyimpulkan, "Dunia bisnis perlu memikir ulang pendekatannya terhadap pekerja karena pekerja Milenial dan Gen Z secara fundamental mengubah dinamika relasi karyawan-majikan."

Lantas, bagaimana para pemberi kerja harus merespons? Bagaimana mereka bisa membangun tempat kerja yang bikin betah?

Michelle Hay, Global Chief People Officer di perusahaan manajemen risiko Sedgwick, menerangkan beberapa langkah yang bisa diambil para pemberi kerja, manajer, dan HRD terkait soal ini. Namun sebelumnya, mereka harus menyadari bahwa quiet quitting bukan sekadar soal "menetapkan batas".

Ini juga soal perasaan lelah dan frustrasi yang dialami banyak orang di akhir pandemi,” kata Hay. “Orang-orang mulai menilai ulang prioritas mereka dan pemutusan hubungan sosial bisa jadi salah satu bagian dari perubahan ini.”

Menakar Quiet Quitting

"Kalau kau menghendaki para pekerja memberi lebih, ganjar mereka dengan kompensasi. Beri mereka $200. Bayar mereka untuk kerja-kerja ekstra," ujar Ed Zitron kepada NPR.

Penulis nawala teknologi dan budaya Where's Your Ed At itu percaya bahwa istilah quiet quitting berangkat dari eksploitasi perusahaan terhadap karyawan. Zitron juga meyakini istilah yang sama telah membingkai para karyawan menjadi semacam villain.

Tak ada yang berhenti bekerja. Bagaimanapun, para pekerja yang menerapkan quiet quitting masih bekerja sesuai kapasitas dan tugasnya, setimpal dengan kesepakatan dan upah.

Fenomena quiet quitting memang lebih berselaras dengan ujaran "bekerja untuk hidup" dan bagaimana memposisikan pekerjaan di dalam kehidupan kita—para pekerja, alih-alih sebaliknya, "hidup untuk bekerja".

Sebagian pihak menilai bahwa quiet quitting sering kali menjadi pertanda seseorang bakal benar-benar berhenti dari pekerjaannya sekarang dan mencari pekerjaan lain.

Artikel Bloomberg, misalnya, mengingatkan bahwa, "Quiet quitting memang bisa menjadi cara untuk melindungi kesehatan mental dan fisik di lingkungan kerja yang toksik. Namun, bertahan dalam pekerjaan yang menyedihkan dan melakukan kerja-kerja dengan intensitas minimal bisa berarti juga melepaskan peluang yang bisa datang dari pekerjaan yang lebih baik."

Artikel yang sama juga menyiratkan bahwa quiet quitting tak bisa diterapkan di semua sektor pekerjaan. Para pekerja dari kalangan minoritas di AS, misalnya, yang harus selalu memberi usaha lebih lantaran bekerja ala kadarnya justru berisiko dianggap tak memenuhi ekspektasi pemberi kerja.

Lain itu, para pekerja yang menerapkan quiet quitting harus hati-hati juga. Pasalnya, perubahan situasi pasar tenaga kerja bisa saja berimbas buruk bagi mereka.

"Jika pasar tenaga kerja berubah, orang-orang itu (yang melakukan quiet quitting) akan berada di urutan teratas daftar PHK," tulis Business Insider.

Di samping pertimbangan-pertimbangan di sisi pekerja tersebut, kantor-kantor dan para pemberi kerja tentu juga perlu mengevaluasi diri. Apakah mereka sudah memberikan apresiasiabove and beyond” kepada para karyawan? Lain itu, seberapa dalam mereka memahami prioritas generasi-generasi pekerja terkini?

Saya melihat-lihat lagi diskusi soal quiet quitting di Twitter, dan menemukan istilah baru yang berangkat dari pertanyaan-pertanyaan sederhana: jika para pemberi kerja terus-terusan mengharapkan para pekerja memberikan lebih dari job desc mereka, sementara di saat yang sama memberi benefit kerja yang minimal atau apresiasi dan upah yang tak kunjung meningkat, bisakah kita menyebutnya quiet firing (pemecatan diam-diam)?

Baca juga artikel terkait PEKERJA atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi