tirto.id - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) akan menambah masa studi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi empat tahun. Perpanjangan satu tahun masa belajar SMK disebut untuk memberi bekal lebih bagi persiapan peserta didik untuk berkarir di luar negeri. Kebijakan ini juga nantinya tidak akan berlaku untuk semua sekolah, hanya ada beberapa sekolah yang dipilih.
“Akan ada beberapa SMK yang nanti kami rancang untuk masa studinya bukan tiga tahun tetapi empat tahun, dan satu tahun yang terakhir itu adalah persiapan untuk mereka bisa bekerja di mancanegara,” kata Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, pada Senin (24/3/2025).
Menurut Mu’ti, pertimbangan penambahan satu tahun masa studi terkait persiapan ke mancanegara berdasarkan pada banyaknya siswa yang ingin bekerja di luar negeri tapi masih butuh pengayaan kemampuan.
“Ini memang sebuah terobosan yang kami harapkan dapat menjawab banyaknya lulusan SMK yang sebenarnya mereka berminat bekerja di mancanegara, tetapi tidak memiliki cukup persiapan untuk dapat berangkat dan bekerja di berbagai negara,” tutur Mu'ti.
Reaksi publik pun beragam, ada yang setuju dan menganggap ini sebagai terobosan yang positif, tetapi ada juga yang mempertanyakan metodenya. Perbaikan kurikulum yang lebih efektif, misalnya dengan memaksimalkan program belajar selama dua tahun dan satu tahun fokus kerja praktek, dengan kemampuan bahasa diselipkan selama masa belajar dianggap lebih efisien.
Terkait dengan program pendidikan SMK empat tahun, Tirto menemukan praktiknya sendiri sudah berjalan di beberapa lembaga pendidikan. Di Bojonegoro misalnya terdapat beberapa jurusan yang menetapkan masa studi empat tahun, seperti jurusan geologi pertambangan, kehutanan, teknik industri, dan teknik kimia.
Di SMK Negeri 4 Jakarta pun, program pendidikan empat tahun ini telah berjalan sejak 2021, untuk beberapa jurusan. Namun, dalam program SMK empat tahun yang sudah ada tersebut, kebanyakan memfokuskan pada magang atau praktek kerja pada tahun terakhirnya.
Menanggapi tentang program SMK empat tahun yang dicanangkan Mendikdasmen, Pengamat Pendidikan, Doni Koesoema, menyambut baik. Menurut dia, selama program tambahan satu tahun itu jelas arah dan tujuannya untuk persiapan bekerja di luar negeri maka hasilnya seharusnya positif.
“Asal program selama satu tahun itu jelas dan pihak yang akan menjembatani pekerja di luar negeri, memiliki SOP yang jelas. Agar anak-anak tidak jatuh ke perdagangan orang nantinya,” tutur pria yang juga Dosen Universitas Multimedia Nusantara ini, kepada Tirto, Rabu (26/3/2025).
Menurut dia, program penguatan bahasa dan keterampilan yang sesuai kebutuhan bisa dilatih selama minimal waktu satu tahun itu. Namun, akan lebih baik lagi kalau bisa diintegrasikan sejak tahap awal pendidikan siswa SMK.
“Kalau kolaborasi dengan (pihak) luar negeri sudah jelas sejak awal, maka bahasa dilatihkan sejak kelas X akan lebih baik. Misal bahasa Jepang, ketika nanti akan bekerja di Jepang. Lalu skill yang diperlukan akan lebih baik bila selaras dengan SMK-nya. Misal, untuk mengirim para perawat untuk orang tua di Jepang, baiknya ada di SMK Keperawatan, bukan SMK Mesin,” terangnya.
Oleh karenanya, penting menurut Doni, pemerintah menjabarkan tentang mekanisme program penambahan studi satu tahun untuk SMK ini. Sehingga publik tahu bagaimana nantinya kurikulumnya.
Terkait dengan pernyataan Mendikdasmen kalau kebijakan ini hanya akan untuk sejumlah SMK juga baik menurut Doni. Tambahan masa studi 1 tahun ini baiknya bersifat khusus. “Jadi bukan semua sistem SMK ditambah 1 tahun,” tambahnya.
Sementara itu Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, beranggapan masa belajar 3 tahun sebenarnya cukup kalau bisa dioptimalkan. Idealnya, sejak masuk SMK, pada tahun pertama bisa langsung disesuaikan program menuju target yang ingin dicapai.
Misalnya, jika memang ingin memenuhi permintaan tenaga kerja di Jerman, sejak tahun pertama, untuk masa tiga tahun, pelajar SMK belajar Bahasa Jerman saja.
“Nggak perlu belajar Bahasa Mandarin karena nggak relevan dengan tujuan yang disasar. Jadi perlu fokus pada tujuan, jangan terlalu banyak hal (tidak sesuai kebutuhan) yang dipelajari,” tuturnya kepada Tirto, Rabu (26/3/2025).
Sebab menurut Ubaid, masa tiga tahun adalah waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan pelajar masuk dunia kerja. Sayangnya, kondisi saat ini, lulusan SMK di Indonesia masih banyak yang menjadi pengangguran.
Di sisi lain, pendidikan SMK selama empat tahun juga akan menambah beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh orang tua. “Apalagi jaminan kerjanya juga belum jelas. Jika lulus, lalu anak tidak dapat kerja, apa orang tua bisa tuntut sekolah?” tuturnya lagi.
Menurut Ubaid, biaya SMK juga cenderung mahal karena perlu beberapa perlengkapan khusus terkait dengan praktik belajar yang mereka lakukan. Ini yang membuat biaya pendidikan mereka tinggi dan akan semakin memberatkan jika bertambah lagi masa belajar satu tahun.
Ketimbang menambah masa studi pelajar SMK, ada beberapa hal lain yang lebih mendesak untuk ditangani dalam meningkatkan kualitas lulusan sekolah kejuruan. Mulai dari peningkatan kompetensi tenaga pengajar, kemudian peningkatan fasilitas penunjang, serta jalinan kerja sama dengan dunia usaha dan industri (DUDI) menjadi pekerjaan rumah yang sebaiknya lebih menjadi prioritas.
“Jadi tidak bisa dibenahi secara instan, harus secara sistematis dan berkelanjutan,” tambahnya.
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Anggun P Situmorang