Menuju konten utama

Klaim Prabowo Pengangguran Level Terendah, Bagaimana Realitanya?

Job fair yang selalu ramai, maraknya PHK, dan penurunan daya beli masyarakat menunjukkan kecenderungan yang berlawanan di masyarakat.

Klaim Prabowo Pengangguran Level Terendah, Bagaimana Realitanya?
Pencari kerja mencari informasi lowongan kerja saat bursa kerja di Gedung Juang, Kota Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (29/8/2024). ANTARA FOTO/Henry Purba/agr/rwa.

tirto.id - Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, mengeklaim angka tingkat pengangguran di Indonesia berada pada level terendah sejak krisis moneter tahun 1998. Hal tersebut disampaikannya dalam pidato di Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Jumat (15/8/2025) lalu.

Alhamdulillah hari ini tingkat pengangguran nasional berhasil turun ke level terendah sejak krisis 1998,” kata Prabowo.

Menurut Prabowo, salah satu langkah pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat adalah dengan membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Ia meyakini, lewat Danantara, pemerintah dapat mendorong percepatan investasi dan hilirisasi sumber daya alam serta berbagai bidang strategis lainnya. Dampaknya tercipta jutaan lapangan kerja yang berkualitas.

“Danantara akan ciptakan jutaan lapangan kerja berkualitas, terutama di bidang hilirisasi,” ucapnya.

Klaim Prabowo bukannya tanpa dasar. Kata-katanya mengacu ke penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Laporan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2025, yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), menjabarkan TPT sebagai persentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.

Per Februari 2025 lalu, BPS mencatat, TPT di Indonesia berada di angka 4,76 persen–sejak 2005 BPS mengukur TPT pada Februari dan Agustus setiap tahunnya. Angka tersebut memang mengalami penurunan sebesar 0,06 persen jika dibandingkan dengan periode waktu yang sama di tahun 2024.

Angka itu juga lebih rendah jika dibandingkan dengan TPT di tahun 1998, yang mencapai 5,46 persen.

Melihat historinya, sejak reformasi, angka TPT tertinggi terjadi pada Agustus 2005 dengan nilai mencapai 11,24 persen. Setelahnya angka TPT cenderung menurun dan selalu di bawah 6 persen sejak 2013. Pandemi Covid-19 mengangkat lagi angka TPT. Agustus 2020 angka TPT tembus 7,07 persen. Meski sejak 2022, TPT kembali turun ke bawah 6 persen sampai Februari 2025.

Meski begitu, BPS juga mencatat, hingga Februari 2025, jumlah angkatan kerja di Indonesia mengalami peningkatan hingga 3,67 juta orang jika dibandingkan dengan Februari 2024, dengan total angkatan kerja yang mencapai 153,05 juta orang.

Penggaguran Indonesia Terbanyak di Asia Tenggara

Namun capaian TPT yang rendah itu, masih kalah dibanding negara-negara tetangga. Rangkuman Trading Economics, TPT 4,76 persen Indonesia, masih kalah dibanding tingkat pengangguran negara-negara di Asia Tenggara.

“Pada saat yang sama, jumlah orang yang bekerja meningkat sebesar 2,52 persen menjadi 145,77 juta, terutama di sektor perdagangan grosir dan eceran, perbaikan dan pemeliharaan mobil dan sepeda motor,” mengutip penjelasan Trading Economics.

Indonesia tercatat punya tingkat pengangguran tertinggi dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Filipina misalnya, jumlah pengangguran sekitar 1,95 juta orang di Juni 2025. Lalu, Malaysia 518,7 ribu orang, dan Singapura jumlah pengangguran nya 80,9 ribu orang di Desember 2024.

Ada pula, Brunei dengan jumlah pengangguran 10.900 orang di 2024 dan Thailand, 357 ribu pengangguran. Laos, Kamboja, Timor Leste dan Vietnam juga mencatatkan angka penangguran lebih sedikit proporsinya ketimbang Indonesia.

Keluhan dari tiap job fair

Kondisi di lapangan juga menunjukkan hal yang sebaliknya. Faktanya, para pencari kerja masih menyesaki berbagai ajang bursa kerja atau job fair yang digelar di berbagai daerah. Pelaksanaan job fair di Kabupaten Bekasi pada akhir Mei lalu, bahkan berakhir ricuh akibat membludaknya jumlah peserta yang hendak mengikuti kegiatan tersebut.

Ramainya para pencari kerja yang datang ke job fair juga terjadi di perhelatan Job Fest 2025, di Jakarta International Velodrome, Jakarta Timur, pada Selasa (19/8/2025). Acara tersebut menjadi upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, untuk mempertemukan pencari kerja dengan lapangan kerja.

Meskipun tidak sampai menimbulkan kericuhan, tetapi sejak pagi hari, ratusan pencari kerja tampak sudah memadati kawasan Velodrome.

Maulana Ibrahim (23), seorang sarjana Ilmu Komunikasi yang datang ke acara itu, mengaku tidak terlalu percaya dengan pernyataan Prabowo soal tingkat pengangguran di Indonesia mengalami penurunan.

Ibrahim mengatakan, faktanya hingga saat ini, ia dan kerabatnya masih kesulitan untuk mencari pekerjaan setelah lulus kuliah.

“Cuma kan ini faktanya aja banyak yang datang gitu loh [ke job fair ini]. Faktanya banyak orang [susah] nyari kerja gitu, ya banyak [di lingkungan saya yang susah cari kerja],” ujar Ibrahim kepada reporter Tirto, Selasa (19/8/2025).

Pemprov Sumut gelar Job Fair

Sejumlah pencari kerja antre untuk melamar kerja saat May Day Fair Sumut 2025 di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Kamis (1/5/2025). Memperingati Hari Buruh internasional, Pemprov Sumatera Utara bekerja sama dengan 52 perusahaan menggelar Job Fair dengan menyediakan sebanyak 1.100 lowongan kerja bagi masyarakat yang mencari kerja. ANTARA FOTO/Yudi Manar/Spt.

Menurut dia, persaingan di dunia kerja sekarang sudah semakin ketat. Terlebih lagi, dari tahun ke tahun, jumlah angkatan kerja baru terus meningkat. Akibatnya, banyak orang yang sudah meraih gelar sarjana tetapi belum juga bekerja, terutama karena kalah saing dari segi keterampilan.

“Apa lagi kan banyak perusahaan-perusahaan yang nyari [kandidat dengan] banyak pengalaman gitu. Jadi kita yang baru lulus juga agak minder. Karena kan baru lulus kan, bekalnya kan belum ada,” tambah Ibrahum.

Keraguan serupa juga diutarakan oleh Yuda (23), salah seorang peserta job fair yang datang dari kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Pria lulusan SMA itu bercerita, ia sebelumnya telah bekerja sebagai seorang tenaga kebersihan. Namun, setelah satu tahun bekerja, ia hendak beralih ke pekerjaan yang lebih menjanjikan secara penghasilan.

Meski begitu, Yuda mengakui proses rekrutmen pekerjaan tidak berjalan semudah yang ia duga. Sudah melamar sana-sini, ia tidak kunjung mendapatkan panggilan untuk wawancara. Awalnya, ia menduga bahwa mencari pekerjaan di era kepemimpinan Prabowo akan lebih mudah.

“Tahun kemarin kan kayak pemilu besar-besaran, sama pergantian presiden. Jadi harapan warga sih kalau dijanjiin 19 juta lapangan kerja –kan katanya seperti itu– ya benar-benar. Jadi makin gampang lah buat cari kerja. Tapi buktinya [malah] tambah susah,” ucap Yuda.

Yuda juga menyebut, pernyataan Prabowo terkait menurunnya tingkat pengangguran di Indonesia sangat berbeda dengan kenyataan yang ia temui di lapangan. Di lingkungan tempat tinggalnya, ia masih menemui banyak teman-teman sebaya yang belum juga mendapatkan pekerjaan setelah bertahun-tahun menganggur.

“Faktanya di lapangan jelas berbeda, sangat berbeda. Banyak [pengangguran], sangat banyak di sekitar lingkungan saya,” sebutnya.

Angka Statistik Tak Sesuai Realita di Lapangan

Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, mengatakan, turunnya angka TPT yang dikeluarkan oleh BPS itu harus dibaca secara lebih cermat.

Formula pembagian antara jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja, perlu dipahami secara mendalam. Pada Februari 2025, jumlah angkatan kerja memang mengalami peningkatan sebesar 3,59 juta orang.

Tapi, Tadjudin mengatakan, menurunnya angka TPT tidak selalu berarti jumlah pengangguran berkurang secara signifikan. Bisa jadi, jumlah pengangguran tetap stagnan atau bahkan meningkat. Namun, karena jumlah angkatan kerja meningkat, maka hasil pembagiannya menjadi lebih kecil.

“Tahun 2025, [bulan] Februari itu 153 juta sekian [jumlah] angkatan kerjanya. Jadi pembaginya lebih besar ya kan. Ya, hasilnya [didapatkan angka TPT] yang kecil,” terangnya kepada Tirto, Selasa (19/8/2025).

Peringkat pengangguran di ASEAN

Sejumlah pencari kerja mengisi formulir saat Job Fair Kota Serang 2024 di Kota Serang, Banten, Rabu (17/7/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/rwa.

Terlebih lagi, Sakernas yang dikeluarkan oleh BPS pada tahun 2025 ini baru sampai bulan Februari. Menurut Tadjudin, untuk menangkap realita jumlah pengangguran di Indonesia, harus menunggu sampai hasil Sakernas di bulan Agustus keluar.

Sebab, pada bulan Agustus, banyak angkatan kerja yang baru saja lulus dari sekolah. Sehingga, di bulan itu, jumlah pengangguran bisa saja mengalami peningkatan.

“Bulan Agustus itu pada umumnya kan banyak anak yang baru menyelesaikan sekolah. Itu yang menyebabkan bulan Agustus itu selalu tinggi [tingkat penganggurannya], kalau dibandingkan dengan Februari. Februari itu kan tidak ada apa-apa, tidak ada situasi yang ada di sekolah,” jelasnya.

Untuk mengetahui kondisi nyata pengangguran di Indonesia, Tadjudin menyebut, masyarakat bisa melihat dari kondisi perekonomian. Saat ini, kondisi ekonomi di Indonesia disebutnya sedang berada dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Terlebih lagi, saat ini juga masih banyak ditemui praktik pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah perusahaan.

Tadjudin juga menyoroti banyaknya kasus pengangguran tersembunyi di Indonesia. Ia menjelaskan, pengangguran tersembunyi adalah mereka yang bekerja di sektor-sektor informal dan tidak terdeteksi oleh pemerintah.

Para pengangguran tersembunyi itu, menurutnya, mengalami kerentanan karena tidak mendapatkan perlindungan sosial yang mencukupi.

“Mereka sangat dekat dengan kemiskinan. Terjadi perubahan sedikit saja, mereka miskin. Itu persoalan yang kita hadapi. Tapi kelihatannya nggak jadi perhatian Prabowo. Karena angka [TPT] itu menurun, dan kemudian seolah-olah berhasil,” tegasnya.

Jumlah angka PHK tahun 2025

Pencari kerja membawa dokumen lamaran pekerjaan mengantre untuk mengikuti job fair Solo Career Expo di Balai Kota, Solo, Jawa Tengah, Rabu (23/7/2025). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/nz.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, berkata, ukuran yang digunakan pemerintah dalam melakukan survei acap kali tidak mampu menangkap realita di lapangan.

Bukan hanya angka tingkat pengangguran yang menurun, problem serupa juga terjadi saat pemerintah melalui BPS merilis jumlah penduduk miskin dan data pertumbuhan ekonomi triwulan II 2025. Esther menyebut, BPS harus menggunakan ukuran yang sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, agar hasil yang diungkapkan mampu mewakili realita.

“Ukurannya yang tidak pas. Ukurannya yang perlu di-update. Karena kan sebenarnya bukan hanya sekadar ukuran. Orang tuh kalau mau prediksi, mau mengukur, mengeluarkan angka, itu ya harus sesuai atau merepresentasikan sesuai dengan realitasnya. Nah, kalau angkanya itu tidak sesuai dengan realitasnya, itu kan berarti kan something wrong ya kan,” ucapnya saat dihubungi Tirto, terpisah Selasa (19/8/2025).

Dalam konteks tingkat pengangguran di Indonesia, Esther menerangkan, realita di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya. Saat ini, disebutnya banyak perusahaan yang mengalami bangkrut. Hal itu salah satunya disebabkan oleh terus menyusutnya jumlah kelas menengah di Indonesia, yang membuat daya beli masyarakat menjadi lesu.

Menurutnya, jumlah pekerja di sektor informal juga masih mendominasi. Terlebih lagi, setiap ada kesempatan rekrutmen kerja, masyarakat selalu berbondong-bondong memadati tempat rekrutmen untuk menaruh surat lamaran.

Serangkaian hal itu menjadi indikator bahwa tingkat pengangguran di Indonesia sejatinya masih tinggi. “Nah, makanya juga itu sih, saya lihat, wah ini kayaknya nggak seperti kondisi yang diklaim Pak Prabowo,” katanya.

Gelombang PHK Masih Tinggi

Gelombang PHK di Indonesia masih berada pada kondisi yang mengkhawatirkan. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, pada periode Januari-Juli 2025, jumlah korban PHK di Indonesia mencapai 43.385 orang, naik sebesar 32,19 persen dari tahun lalu.

Februari 2025 menjadi bulan tertinggi terjadinya kasus PHK di Indonesia, saat sebanyak 17.796 orang pegawai terpaksa harus dirumahkan. Berdasarkan laman Satu Data Kemnaker, kasus PHK di bulan itu paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Tengah, atau sekitar 25,83 persen dari total kasus PHK yang dilaporkan.

Merespons hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengatakan bahwa fenomena PHK yang terjadi hingga saat ini bukan peristiwa biasa.

Menurutnya, lonjakan PHK dipicu oleh gejolak ekonomi global, termasuk perang tarif antara negara-negara besar yang memukul perekonomian nasional. Bahkan, ia memperkirakan kondisi ini akan terus bergulir ke depannya.

"Ini bukan sekadar PHK biasa, tapi sudah berjalan dan akan terus bergulir," katanya dalam konferensi pers Apindo di Jakarta, Selasa (29/7/2025) lalu.

Shinta mengungkapkan, berdasarkan data yang dihimpun oleh Apindo dari data BPJS Ketenagakerjaan, dalam kurun waktu Januari-Juni 2025, tercatat 150.000 pekerja keluar dari BPJS TK, dengan sekitar 100.000 di antaranya mengajukan klaim pencairan asuransi.

“Kita tuh nggak usah terlalu berdebat soal angka data. Tapi yang jelas kelihatan, bahwa tadi kenaikan itu ada, pemerintah sendiri mengatakan 32 persen itu kan angka tinggi gitu, dan ini memang sudah dirasakan juga oleh survei yang dibuat oleh Apindo,” ujarnya.

Lingkaran setan; daya beli, pengangguran, dan ketahanan industri

Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, mengatakan gelombang PHK itu diakibatkan oleh sejumlah faktor, seperti turunnya harga komoditas dan berkurangnya aktivitas industri padat karya.

Hal itu turut dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global yang lebih banyak bersikap proteksionis dengan mengutamakan pasar dalam negeri masing-masing. Akibatnya, banyak perusahaan yang akhirnya terpaksa untuk menutup operasinya dan menimbulkan gelombang PHK.

Sayangnya, dari gelombang PHK yang terus meningkat itu, daya serap tenaga kerja di tingkat masyarakat kelas menengah juga disebutnya mengalami penurunan.

“Saat ini kita sedang menghadapi tekanan [ekonomi], ya kan. Karena yang terjadi kan sekarang harga komoditas turun. Nah, kemudian juga order untuk padat karya itu berkurang. Sehingga daya serap tenaga kerja untuk kelas menengah juga turun,” ungkapnya menjawab pertanyaan Tirto, Selasa (19/9/2025).

Jakarta Job Fair cipatakan lapangan kerja formal

Pelamar kerja memindai kode batang untuk melamar pekerjaan pada acara Jakarta Job Fair 2024 di gedung Nyi Ageng Serang, Jakarta, Kamis ( 29/2/2024). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU

Turunnya daya serap tenaga kerja bagi kelas menengah, turut berpengaruh pada menurunnya daya beli. Menurut Bob, kelas menengah telah menjadi tulang punggung ekonomi. Namun, dengan lesunya tingkat daya beli di pasar dalam negeri, maka ketahanan industri juga menjadi terdampak.

Serangkaian hal itu disebutnya sebagai, “vicious cycle” alias lingkaran setan. Kondisinya juga akan semakin memburuk apabila tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah.

“Itu yang disebut dengan vicious cycle. Karena demand kelas menengah turun, akibatnya industri juga melemah, daya belinya melemah, akhirnya itu akan berputar terus. Dan itu akan berputar di kelas menengah,” ucapnya.

Faktor eksternal berperan terhadap ketahanan industri dalam negeri

Senada dengan Bob, Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, meyakini bahwa serangkaian tekanan ekonomi yang terjadi di tingkat global turut memengaruhi kondisi ekonomi dalam negeri.

Dengan itu, Wahyu meragukan klaim Prabowo yang mengatakan bahwa tingkat pengangguran di Indonesia mengalami penurunan. Baginya, kondisi ekonomi dalam negeri yang sedang tidak baik-baik saja itu turut berdampak pada meningkatnya pengangguran.

Salah satu contoh nyata yang disebutkan Wahyu adalah penerapan tarif resiprokal oleh Amerika Serikat (AS) terhadap Indonesia. Hal ini sangat mungkin berdampak pada ketahanan industri dalam negeri.

“Saya tidak yakin tingkat pengangguran terbuka di Indonesia ini turun ya. Saya kira krisis di dalam negeri, krisis di luar negeri, geopolitik, dan lain-lain, itu punya pengaruh. Misalnya soal tarif resiprokal, itu menambah kedalaman persoalan ketenagakerjaan kita. Karena pasti industri-industri kita itu juga terdampak,” terangnya kepada Tirto.

Upaya menekan angka pengangguran di Bandung

Pencari kerja mencari informasi lowongan pekerjaan di sebuah stan pada bursa kerja di Grand Lodakara Hall, Bandung, Jawa Barat, Selasa (25/6/2024). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa.

Di samping mengalami tekanan dari faktor eksternal, Wahyu mengatakan industri dalam negeri juga mengalami tekanan dari faktor-faktor non-ekonomi. Beban untuk membayar uang keamanan, kerumitan birokrasi, hingga praktik pungutan liar (pungli), jadi contohnya.

Wahyu meyakini, deindustrialisasi menjadi faktor terbesar terjadinya gelombang PHK di dalam negeri saat ini. Sehingga menurutnya, secara realita, kasus PHK yang terjadi sebenarnya memiliki angka yang lebih tinggi dari yang saat ini terlaporkan.

“Menurut saya fenomena PHK ini adalah fenomena gunung es. Realita yang ada itu lebih banyak daripada yang diberitakan. Nah, gelombang PHK pertama karena kita ini sedang mengalami deindustrialisasi. Kemudian juga industri kita juga terbebani oleh faktor-faktor non-ekonomi juga. Uang keamanan, korupsi, suap, itu juga menjadi beban,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KETENAGAKERJAAN atau tulisan lainnya dari Naufal Majid

tirto.id - News Plus
Reporter: Naufal Majid
Penulis: Naufal Majid
Editor: Alfons Yoshio Hartanto