tirto.id - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat hari ini, Rabu (6/12/2017) menjalani fit and proper test di Komisi III DPR RI. Pria kelahiran Semarang, 3 Februari 1956 ini kembali mencalonkan diri sebagai hakim MK setelah masa jabatannya akan berakhir pada April 2018.
Namun, proses pencalonan kembali Arief Hidayat sebagai hakim MK di Komisi III DPR mendapat sorotan publik. Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi bahkan berencana melaporkan Arief Hidayat ke Dewan Etik MK atas dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Arief.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho bersama sejumlah anggota koalisi berencana melaporkan Arief Hidayat lantaran ia diduga melobi sejumlah anggota DPR agar proses uji kelayakan pencalonan dirinya di DPR berjalan lancar.
“Ada informasi yang berkembang di pemberitaan, ada upaya lobi-lobi yang dilakukan Arief,” kata Emerson saat dihubungi Tirto, Rabu (6/12/2017).
Emerson menilai, langkah Arief Hidayat dengan berupaya melobi anggota DPR tidak tepat. Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi menduga Arief Hidayat telah melanggar etik dengan melobi DPR demi kursi Hakim MK.
Menanggapi hal tersebut, Arief Hidayat mengaku tidak mempersoalkan rencana pelaporan dirinya ke Dewan Etik MK. Arief pun tetap yakin pelaporan dirinya tidak akan mempengaruhi proses fit and proper test di DPR.
"Fit and proper test dan pelaporan Dewan Etik kan berbeda, ini saja belum mulai," kata Arief, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (6/12/2017).
Saat disinggung mengenai dugaan adanya lobi-lobi politik terkait pencalonan dirinya kembali sebagai hakim MK, Arief enggan berkomentar. "Sudah ya, tanya saja ke Dewan Etik. Ini belum mulai loh," kata Arief sambil melangkah pergi.
Selama menjabat sebagai Ketua MK, Arief Hidayat memang kerap melakukan tindakan kontroversial, bahkan pada April 2016, Arief Hidayat pernah dijatuhi sanksi etik berupa teguran oleh Dewan Etik MK. Hal ini lantaran, Arief Hidayat dianggap melanggar etika dengan membuat surat titipan atau katabelece.
Dalam katabelece yang dibuat Arief Hidayat itu, terdapat pesan kepada Widyo Pramono agar bisa menempatkan salah seorang kerabatnya dengan bunyi pesan “mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak.” Kerabat yang dititipkan saat itu bertugas di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur, dengan pangkat Jaksa Pratama/Penata Muda IIIC.
Karena tindakannya itu, Arief Hidayat dijatuhi sanksi etik berupa teguran lisan. Sayangnya, Arief tak mau komentar banyak soal sanksi etik yang dijatuhkan Dewan Etik MK pada dirinya. Ia berdalih, tidak etis kalau membela diri di hadapan publik.
Namun, sanksi etik berupa teguran lisan oleh Dewan Etik MK dinilai terlalu ringan, tidak sesuai dengan kesalahan yang diperbuat Arief Hidayat. Karena itu, sejumlah aktivis antikorupsi membuat petisi di www.change.org meminta Arief Hidayat mundur sebagai ketua MK.
Mereka menilai, kasus katabelece telah mencoreng marwah MK. Padahal lembaga tersebut sedang berupaya mengembalikan kepercayaan publik pasca-kasus korupsi yang melibatkan mantan ketua MK, Akil Mochtar.
Perbuatan tersebut juga telah mencederai rasa keadilan masyarakat yang selama ini berjuang menghapus praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia. Apa yang dilakukan Arief Hidayat sebagai Ketua MK, tergolong perbuatan yang sangat tercela dan melanggar moral dan etika. Dengan perbuatan tersebut Arief Hidayat telah mengkhianati sumpah dan janji jabatannya sebagai seorang Hakim Konstitusi sekaligus Ketua MK.
Selain kasus katabelece di atas, sejak Arief Hidayat memimpin MK, sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi juga dinilai banyak yang menguntungkan koruptor. Dalam catatan ICW, misalnya, setidaknya ada lima putusan MK yang mengakomodir terduga, tersangka, dan mantan terpidana kasus korupsi serta memberikan dampak buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.
Pertama, perluasan objek praperadilan. Misalnya, pada 28 April 2015, MK telah mengabulkan permohonan uji materi pasal 77 huruf (a) KUHAP yang memperluas objek praperadilan yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pacific Indonesia yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung.
Padahal, Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya mengatur bahwa pengadilan berwenang memutuskan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
Namun, melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2015, MK memutuskan untuk memperluas objek permohonan praperadilan, tidak saja tentang keabsahan penghentian penyidikan dan penuntutan namun juga menambah tiga hal baru yang termasuk dalam objek praperadilan, yaitu: penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Kedua, putusan MK yang mengabulkan permohonan agar Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan. Akibatnya, mantan narapidana dapat mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Putusan MK ini berdampak pada munculnya sejumlah mantan napi korupsi untuk mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah dalam pilkada. Menurut data ICW, terdapat 17 orang yang bermasalah karena tersandung dalam kasus korupsi, termasuk 6 mantan napi korupsi yang mengikuti pilkada 2015 lalu.
Dari 7 orang tersebut, sebanyak 3 orang mantan napi kasus korupsi akhirnya terpilih menjadi kepala daerah pada pilkada serentak 2015 lalu. Antara lain, Vonie Anneke Panambunan (Minahasa Utara), Rusnadi (Natuna) dan H. Gusmal (Solok). Sedangkan mantan koruptor yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, akan tetapi tidak terpilih antara lain Soemarmo (Semarang), Hakim Fatsey (Buru selatan), Ustman Ikhsan (Sidoarjo), dan Abubakar Ahmad (Dompu).
Ketiga, putusan MK yang mengabulkan permohonan Anna Boentaran, istri Djoko D Tjandra, buronan dalam perkara skandal korupsi cessie Bank Bali. Dalam konteks ini, Jaksa tidak diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. Putusan MK ini tentu menutup peluang bagi Jaksa untuk mengajukan PK terhadap vonis bebas dalam perkara korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap, namun dinilai kontroversial.
Keempat, MK mengambulkan gugatan Abdullah Puteh terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, sehingga mantan terpidana korupsi seperti Abdullah Puteh dapat mengikuti pilkada di Aceh.
Kelima, MK juga mengabulkan seluruh gugatan terkait penafsiran “pemufakatan jahat” yang diajukan Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI sekaligus politisi Partai Golkar yang sedang dalam proses penyelidikan di Kejaksaan Agung.
Dalam permohonan lainnya, MK juga telah menerima sebagian gugatan uji materi yang diajukan oleh Setya Novanto terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.
Dikabulkannya permohonan uji materiil yang diajukan oleh Setya Novanto tentu saja akan digunakannya untuk menghentikan proses hukum penyelidikan perkara korupsi skandal “papa minta saham” yang ditangani oleh pihak Kejaksaan Agung. Kasus “papa minta saham” pun akhirnya kandas.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz