tirto.id - Kehadiran Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat pada Festival Konstitusi dan Antikorupsi di Makassar, Sulawesi Selatan, pada Senin (24/10/2016) menuai protes dari aktivis antikorupsi. Adalah Emerson Yuntho, Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mempersoalkan kehadirannya.
Ia mempertanyakan kepantasan Arief Hidayat sebagai salah satu pembicara dengan tema “Kontitusi dan Pemberantasan Korupsi” pada acara festival yang digelar di Universitas Hasanuddin (Unhas).
Keberatan lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada isu korupsi tersebut bukan tanpa alasan. Mereka meragukan komitmen Arief Hidayat dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Hal itu tercermin dari sikap dan tindakan Arief sejak memimpin MK. Misalnya, menurut catatan ICW, sejak MK dipimpin oleh Arief Hidayat pada 14 Januari 2015 hingga saat ini, lembaga tersebut semakin tidak menunjukkan dukungannya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sejumlah permohonan yang diajukan oleh mantan atau kerabat koruptor, maupun pihak yang sedang diselidiki dalam perkara korupsi akhirnya dikabulkan oleh MK.
Lembaga yang dipimpin Arief ini dinilai telah membuat upaya pemberantasan korupsi dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Apalagi sebagai Ketua MK, Arief memberikan contoh tidak terpuji, bahkan sudah pernah dijatuhi sanksi oleh Dewan Etik MK karena terbukti melanggar etika dengan membuat surat titipan atau katabelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk “membina” seorang kerabatnya.
Dalam katabelece yang dibuat Arief Hidayat itu, terdapat pesan kepada Widyo Pramono agar bisa menempatkan salah seorang kerabatnya dengan bunyi pesan “mohon titip dan dibina, dijadikan anak Bapak.” Kerabat yang dititipkan saat itu bertugas di Kejaksaan Negeri Trenggalek, Jawa Timur, dengan pangkat Jaksa Pratama/Penata Muda IIIC.
Karena tindakannya itu, Arief Hidayat dijatuhi sanksi etik berupa teguran lisan. Sayangnya, Arief tak mau komentar banyak soal sanksi etik yang dijatuhkan Dewan Etik MK pada dirinya. Ia berdalih, tidak etis kalau membela diri di hadapan publik.
Namun, sanksi etik berupa teguran lisan oleh Dewan Etik MK dinilai terlalu ringan, tidak sesuai dengan kesalahan yang diperbuat Arief Hidayat. Karena itu, sejumlah aktivis antikorupsi membuat petisi di www.change.org meminta Arief Hidayat mundur sebagai ketua MK.
Mereka menilai, kasus katabelece telah mencoreng marwah MK. Padahal lembaga tersebut sedang berupaya mengembalikan kepercayaan publik pasca-kasus korupsi yang melibatkan mantan ketua MK, Akil Mochtar.
Perbuatan tersebut juga telah mencederai rasa keadilan masyarakat yang selama ini berjuang menghapus praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia. Apa yang dilakukan Arief Hidayat sebagai Ketua MK, tergolong perbuatan yang sangat tercela dan melanggar moral dan etika. Dengan perbuatan tersebut Arief Hidayat telah mengkhianati sumpah dan janji jabatannya sebagai seorang Hakim Konstitusi sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi.
Putusan Kontra Pemberantasan Korupsi
Selain kasus katabelece di atas, sejak Arief Hidayat memimpin MK, sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi juga dinilai banyak yang menguntungkan koruptor. Dalam catatan ICW, setidaknya ada lima putusan MK yang mengakomodir terduga, tersangka, dan mantan terpidana kasus korupsi serta memberikan dampak buruk bagi upaya pemberantasan korupsi.
Pertama, perluasan objek praperadilan. Misalnya, pada 28 April 2015, MK telah mengabulkan permohonan uji materi pasal 77 huruf (a) KUHAP yang memperluas objek praperadilan yang diajukan oleh Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pacific Indonesia yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh Kejaksaan Agung.
“Mengadili, menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Arief Hidayat mengucapkan amar putusan, seperti dikutip dari laman resmi MK.
Padahal, Pasal 77 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP hanya mengatur bahwa pengadilan berwenang memutuskan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
Namun, melalui Putusan Nomor 21/PUU-XII/2015, MK memutuskan untuk memperluas objek permohonan praperadilan, tidak saja tentang keabsahan penghentian penyidikan dan penuntutan namun juga menambah tiga hal baru yang termasuk dalam objek praperadilan, yaitu: penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Perluasan objek praperadilan ini telah dimanfaatkan oleh para koruptor untuk melepaskan diri dari proses hukum yang menjeratnya. Kinerja institusi penegak hukum, seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian sangat mungkin terhambat karena harus menghadapi membludaknya permohonan praperadilan yang diajukan oleh tersangka korupsi. Dalam konteks ini, KPK telah menghadapi puluhan sidang praperadilan yang diajukan oleh tersangka korupsi sejak 2015 lalu.
Kedua, putusan MK yang mengabulkan permohonan agar Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah dibatalkan. Akibatnya, mantan narapidana dapat mengikuti pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Putusan MK ini berdampak pada munculnya sejumlah mantan napi korupsi untuk mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah dalam pilkada. Menurut data ICW, terdapat 17 orang yang bermasalah karena tersandung dalam kasus korupsi, termasuk 6 mantan napi korupsi yang mengikuti pilkada 2015 lalu.
Dari 7 orang tersebut, sebanyak 3 orang mantan napi kasus korupsi akhirnya terpilih menjadi kepala daerah pada pilkada serentak 2015 lalu. Antara lain, Vonie Anneke Panambunan (Minahasa Utara), Rusnadi (Natuna) dan H. Gusmal (Solok). Sedangkan mantan koruptor yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, namun tidak terpilih antara lain Soemarmo (Semarang), Hakim Fatsey (Buru selatan), Ustman Ikhsan (Sidoarjo), dan Abubakar Ahmad (Dompu).
Ketiga, putusan MK yang mengabulkan permohonan Anna Boentaran, istri Djoko D Tjandra, buronan dalam perkara skandal korupsi cessie Bank Bali. Dalam konteks ini, Jaksa tidak diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. Putusan MK ini tentu menutup peluang bagi Jaksa untuk mengajukan PK terhadap vonis bebas dalam perkara korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap, namun dinilai kontroversial.
Keempat, MK mengambulkan gugatan Abdullah Puteh terhadap Pasal 67 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, sehingga mantan terpidana korupsi seperti Abdullah Puteh dapat mengikuti pilkada di Aceh.
Kelima, MK juga mengabulkan seluruh gugatan terkait penafsiran “pemufakatan jahat” yang diajukan Setya Novanto, mantan Ketua DPR RI sekaligus politisi Partai Golkar yang sedang dalam proses penyelidikan di Kejaksaan Agung.
Dalam permohonan lainnya, MK juga telah menerima sebagian gugatan uji materi yang diajukan oleh Setya Novanto terkait penyadapan atau perekaman yang dijadikan barang bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.
Dikabulkannya permohonan uji materiil yang diajukan oleh Setya Novanto tentu saja akan digunakannya untuk menghentikan proses hukum penyelidikan perkara korupsi skandal “papa minta saham” yang ditangani oleh pihak Kejaksaan Agung.
Putusan MK tersebut juga memunculkan perdebatan soal keabsahan bukti digital dalam rencana revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Henri Subiakto mengatakan, dalam revisi UU ITE menjamin semua bukti rekaman elektronik sah apabila perekaman dilakukan oleh pihak pertama dan kedua.
Misalnya, si A sedang ngobrol dengan si B, kemudian salah satu dari mereka merekam tanpa sepengetahuan yang lain, maka rekaman tersebut dapat dikategorikan rekaman yang sah. Namun, kalau yang merekan ternyata bukan si A dan si B atau orang ketiga, maka hasil rekaman tersebut dianggap ilegal.
Sedangkan perekaman atau penyadapan yang dilakukan oleh pihak ketiga, berdasarkan putusan MK hanya boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum. “Jadi tetap kita bisa menjadikan bukti rekaman sebagai bukti sah di persidangan, tapi hanya boleh dilakukan oleh pihak pertama dan kedua yang langsung terlibat dalam percakapan,” ujarnya seperti dikutip kompas.com, pertengahan Oktober lalu.
Melihat sepak terjang ketua MK dan putusan MK di bawah kepemimpinan Arief Hidayat tersebut, sangat wajar jika publik mulai mempertanyakan komitmen MK pada pemberantasan korupsi di negeri ini. Karena sudah seharusnya, keberadaan MK sebagai penjaga konstitusi, juga menjaga proses demokratisasi dan agenda pemberantasan korupsi.
Dalam hal ini, MK membutuhkan figur-figur hakim yang berintegritas tinggi dan mendukung upaya pemberantasan korupsi yang sudah menjadi borok negeri ini.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti