Menuju konten utama

Jangan Biarkan Penyelenggara Pemilu Buruk Etik Mengurus Pemilu

Komisioner KPU yang tak berwibawa mudah untuk disetir dan keberlangsungan pemilu yang berintegritas terancam hancur.

Jangan Biarkan Penyelenggara Pemilu Buruk Etik Mengurus Pemilu
Sejumlah personel kepolisian melakukan pengamanan menjelang rapat pleno terbuka penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih Pemilu 2024 di depan Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Rabu (24/4/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

tirto.id - Penyelenggara pemilihan umum (pemilu) yang bermasalah akan menyebabkan legitimasi dan integritas pemilu semakin lemah. Pemilu 2024 tidak berjalan baik-baik saja sebab Komisi Pemilihan Umum (KPU) berkali-kali terjerat kasus etik.

Komisioner KPU, baik di tingkat pusat atau daerah, sama-sama tersandung kasus dugaan pelanggaran etik di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari, bahkan sudah tiga kali mendapatkan putusan etik dari DKPP. Karena melanggar kode etik, Hasyim sempat dijatuhi hukuman peringatan keras terakhir.

Pertama, soal pertemuannya dengan Hasnaeni Moein yang disertai tudingan asusila, lalu soal keterwakilan caleg perempuan yang tidak diakomodasi KPU, terakhir terkait peraturan KPU soal batas umur Pilpres 2024 yang juga menyeret komisioner KPU lainnya.

Bahkan, saat ini, Hasyim tengah menjalani proses sidang etik di DKPP terkait tudingan tindakan asusila.

Ini merupakan kasus dugaan tindakan asusila kedua yang menyandung Hasyim. Kali ini, dia dituding melakukan kekerasan berbasis gender kepada anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Belanda.

Tak cuma kacau balau di hulu, komisioner KPU juga carut-marut di daerah. Teranyar, Ketua DKPP, Heddy Lugito, mengetuk palu atas putusan sanksi mencopot Ketua KPU Kabupaten Manggarai Barat, Krispianus Bheda Somerpes.

Krispianus dijatuhi sanksi peringatan keras dan pemberhentian dari jabatan ketua karena terbukti telah melakukan kekerasan seksual terhadap stafnya.

Krispianus disebut melakukan upaya pemerkosaan dan sejumlah aksi tindakan kekerasan seksual terhadap pegawainya. Namun, pengadu sekaligus korban berhasil menghindar meninggalkan lokasi. Tak hanya itu, dia ditengarai melakukan kekerasan seksual dalam berbagai cara berulang kali.

Sementara itu, saat ini KPU Kabupaten Pati juga tengah dirongrong skandal perselingkuhan yang melibatkan komisioner dan stafnya. Kasus ini terungkap usai video dan tangkapan layar percakapan yang diduga dilakukan keduanya viral di media sosial.

KPU Jawa Tengah berencana memanggil komisioner terkait untuk mengklarifikasi kasus ini.

Sidang pemeriksaan KPU RI dan KPU Kabupaten Puncak

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari (kanan) bersama anggota KPU Mochammad Afifuddin (kiri) mengikuti sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dengan pihak pengadu Nus Wakerkwa di Gedung Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), Jakarta, Jumat (26/4/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

Etika Penyelenggara Pemilu Berdampak ke Kualitas Pemilu?

Analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, menyatakan komisioner KPU saat ini sudah terang-terangan tanpa malu mempertontonkan sikap nir-etika. Akar masalah terjadinya pelanggaran etik yang dilakukan komisioner KPU disebabkan relasi kuasa yang timpang sehingga merasa dapat sewenang-wenang terhadap bawahan.

“Dulu mungkin melakukan juga tapi malu-malu sehingga terpendam [kasusnya]. Tapi kalau sekarang bahkan dipertontonkan dengan jelas,” kata Kunto kepada reporter Tirto, Rabu (29/5/2024).

Ketika integritas individu anggota atau Komisioner KPU bermasalah, kata Kunto, akan menimbulkan pertanyaan terkait legitimasi hasil pemilu dan pilkada. Kunto menilai, kasus dugaan tindakan asusila dan kekerasan berbasis gender yang menjerat komisioner KPU tak cukup diselesaikan dalam ranah etik.

“Bagaimana mungkin hasil pemilu legitimate kalau penyelenggaranya tidak berintegritas dan ini masalah serius. Harusnya bisa diseret ke ranah hukum karena yang dipertaruhkan bukan cuma nama baik dia, tapi soal legitimasi pemilu,” jelas Kunto.

Komisioner KPU dengan integritas bobrok dan moral yang longsor tak jauh-jauh disebabkan skema seleksi calon anggota KPU yang tak demokratis. Masyarakat tidak dilibatkan secara bermakna untuk menyeleksi penyelenggara pemilu.

“Pemilihan komisioner diserahkan kepada DPR mentah-mentah tanpa partisipasi publik. Seharusnya didorong partisipasi yang bermakna, harusnya ada mekanisme di mana masyarakat bisa ikut menyaring,” ujar Kunto.

Sudah Rusak dari Proses Seleksi

Pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengaminkan bahwa kasus penyelenggara pemilu yang tersangkut perkara pidana maupun pelanggaran etika, merupakan pertanda ada yang salah dari proses seleksi.

Rekam jejak, genealogi politik serta integritas calon, seolah tidak menjadi pertimbangan dalam seleksi.

“Keterpilihan seseorang cenderung lebih dikarenakan blocking organisasi ataupun titipan partai politik. Ini merusak lembaga penyelenggara pemilu sejak awal,” ujar Herdiansyah kepada reporter Tirto, Rabu (29/5/2024).

Kalau proses seleksinya saja sudah rusak, kata dia, maka buruk juga performa kerjanya. Herdiansyah menegaskan kasus-kasus yang menjerat komisioner KPU berimplikasi pada kepercayaan masyarakat.

“Publik akan menarik kepercayaannya dan secara terbuka mencurigai hasil pemilu. Itu yang kita khawatirkan,” sebut Herdiansyah.

Sidang pemeriksaan KPU RI dan KPU Kabupaten Puncak

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito (tengah) didampingi anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (kanan) dan J Kristiadi (kiri) memimpin sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dengan pihak pengadu Nus Wakerkwa di Gedung DKPP, Jakarta, Jumat (26/4/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mendesak DKPP agar memberikan putusan hukuman etika maksimal bagi pelaku kekerasan terhadap perempuan, apalagi yang memuat aspek kekerasan seksual di lingkup penyelenggara pemilu.

Dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan Krispianus Bheda Somerpes, dia menyayangkan DKPP hanya menjatuhi hukuman sebatas pencopotan jabatan.

“Seharusnya, sebagai pelajaran bagi penyelenggara pemilu yang lain dan membuat keberanian bagi korban untuk juga bersuara, DKPP mestinya jatuhkan hukuman maksimal berupa pemberhentian tetap,” ujar Titi kepada reporter Tirto, Rabu (29/5/2024).

Titi menegaskan sangat berbahaya membiarkan pelaku kekerasan seksual menjadi penyelenggara pemilu. Seharusnya DKPP berpihak kepada korban dengan benar-benar menunjukkan komitmennya lewat upaya serius menghapus kekerasan seksual di lingkungan penyelenggara pemilu.

Institusi penyelenggara pemilu, kata Titi, adalah lembaga independen negara yang bersifat vertikal dengan pola hubungan hierarkis.

Penyelenggara pemilu melibatkan personel dalam jumlah besar yang memungkinkan interaksi dengan peserta pemilihan dan masyarakat secara intensif, termasuk banyak perempuan yang bakal terlibat di dalamnya.

“Berbahaya jika institusi penyelenggaraan pemilu, baik KPU ataupun Bawaslu, diisi oleh personel yang bermasalah dari sisi moralitas serta paradigma keadilan dan kesetaraan gender. Apalagi berperilaku misoginis dan feodal dengan sikap diskriminatif terhadap perempuan, bahkan berani melakukan kekerasan terhadap perempuan,” tegas Titi.

Titi menilai, KPU saat ini memang tidak menunjukkan keberpihakan terhadap perempuan. Buktinya, KPU mengabaikan putusan Mahkamah Agung dan Bawaslu yang menyatakan KPU melanggar ketentuan pencalonan keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu.

“Secara sistemik KPU saat ini tidak punya keberpihakan pada keterwakilan perempuan,” tutur Titi.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyatakan kasus kekerasan seksual yang dilakukan Krispianus Bheda Somerpes terhadap stafnya, merupakan tindakan memalukan.

Padahal, sebagai komisioner KPU daerah, seharusnya nilai integritas dijunjung tinggi oleh setiap individu.

“Sebagai fasilitator, penting bagi penyelenggara untuk memastikan dirinya bermartabat sehingga punya kewibawaan untuk mendorong peserta dan pemilih menunjukkan laku serupa,” ujar Lucius kepada reporter Tirto, Rabu (29/5/2024).

Lucius juga merasa kecewa bahwa putusan DKPP hanya mencopot Krispianus sebagai Ketua KPU Manggarai Barat tanpa memecatnya sebagai komisioner. Dia menilai sanksi semacam ini merupakan dagelan yang tidak berpihak kepada korban.

“Kekerasan seksual ini sebuah aksi kriminal yang sangat membahayakan. Itulah mengapa kekerasan seksual itu dibuatkan UU-nya sendiri. Semakin berbahaya karena aksi itu dilakukan dalam relasi kuasa antara pelaku yang biasanya dominan terhadap korban,” jelas dia.

Putusan pelanggaran etik DKPP semacam ini pada akhirnya bakal menggerogoti kekuatan lembaga penyelenggara pemilu. Peserta pemilu akan menganggap remeh penyelenggara.

Komisioner KPU yang tak berwibawa mudah untuk disetir dan keberlangsungan pemilu yang berintegritas terancam hancur.

“Ya jangan kaget kalau banyak kecurangan terjadi. Sanksi yang tepat harus memecat dengan tidak hormat Ketua KPUD dari keberadaannya sebagai penyelenggara,” tegas Lucius.

KPU akui Sirekap dihentikan untuk sinkronisasi data

Ketua KPU Hasyim Asy'ari (kedua kanan) bersama jajaran Komisioner KPU August Melasz (kiri), Betty Epsilon Idroos (kedua kiri), dan Mochammad Afifuddin (kanan) menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait pemanfaatan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) di Kantor KPU, Jakarta, Senin (19/2/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/foc.

Baca juga artikel terkait PEMILU atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Politik
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto