tirto.id - Praktik pemberitaan yang disajikan oleh influencer kian diminati masyarakat seiring perkembangan media sosial dan pembangunan teknologi internet di berbagai wilayah.
Hal itu tergambarkan dalam riset terbaru yang disajikan Reuters Institute pada 28 Oktober 2025. Dalam riset yang disusun oleh Nic Newman, Amy Ross Arguedas, Mitali Mukherjee, dan Richard Fletcher dijelaskan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang penduduknya mayoritas mengonsumsi informasi dan pemberitaan dari influencer di media sosial.
Reuters mendefinisikan influencer sebagai individu atau grup yang membuat dan mendistribusikan konten di media sosial dengan harapan menimbulkan dampak dan diskursus publik. Dalam penelitian ini, Reuters juga menyebut influencer sebagai pihak yang menghasilkan informasi terpisah dari lembaga pemberitaan arus utama.
Dari survei tersebut, Reuters mengambil sampel dua ribu orang dari setiap negara yang kemudian menunjukkan bahwa 44 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi pemberitaan dari influencer di media sosial, dan hanya 25 persen yang menyimak pemberitaan dari media arus utama.
Hal ini menempatkan Indonesia di urutan ketiga setelah Nigeria dan Kenya dari 24 negara yang disurvei oleh Reuters. Di urutan pertama, 61 persen warga Nigeria mengonsumsi berita dari influencer dan 43 persen dari media arus utama. Di posisi kedua ada Kenya, dengan 58 persen responden mendapat informasi dari kanal influencer dan 34 persen lainnya dari media arus utama.
Orang-orang yang memiliki pengaruh dalam pemberitaan di media sosial sangat beragam dan terdiri dari berbagai latar belakang. Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadi sosok yang cukup disimak di media sosial, baik di X maupun Truth, yang diketahui menjadi bagian dari lini bisnisnya. Kroni Trump, Elon Musk, juga menjadi salah seorang influencer yang suaranya disimak oleh banyak orang di dunia. Kedua orang ini banyak menuai atensi dari negara-negara pengguna bahasa Inggris dalam percakapan kesehariannya, seperti di sebagian belahan Eropa dan Australia.
Di Indonesia, nama-nama yang masuk sebagai influencer versi Reuters Institute adalah Najwa Shihab, Deddy Corbuzier, Denny Sumargo, Rocky Gerung, Dokter Tifa, Willie Salim, Raffi Ahmad, Joko Widodo, Prabowo Subianto, Elon Musk, Atta Halilintar, Anies Baswedan, Helmy Yahya, Abraham Samad, dan Ria Ricis. Nama-nama influencer, seperti tergambar, didominasi oleh laki-laki.
Salah satu yang disoroti adalah nama Deddy yang menempati urutan kedua dengan 24 juta pengikut di YouTube. Dalam laporannya, Reuters menyatakan, "Deddy Corbuzier adalah seorang YouTuber dan pesulap yang memandu podcast populer Close the Door dengan format serupa seperti Joe Rogan di Amerika Serikat. Ia menghadirkan berbagai diskusi dengan politisi, tokoh agama, dan selebritas. Namun, podcast tersebut dikritik karena dinilai tidak cukup menantang pernyataan-pernyataan kontroversial para tamunya."
Pengaruh influenceryang lebih besar dibanding media konvensional dalam kehidupan informasi masyarakat tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi juga Nigeria, Kenya, Amerika Serikat, Meksiko, Filipina, Brasil, dan Thailand.
Di lain pihak, terdapat negara-negara yang masih kuat pengaruh media tradisional atau pemberitaan yang menggunakan perantara artikel, radio, dan televisi, serta dihasilkan dari jurnalis dan ruang redaksi. Hal tersebut terjadi di negara-negara Eropa Utara seperti Denmark, Islandia, Norwegia, dan Finlandia. Sementara di Asia, Jepang masih lebih kuat dipengaruhi media.
Di negara-negara tersebut, kantor berita arus utama tetap eksis karena faktor budaya, pengaruh pasar, dan kekuatan dari media lama yang membuatnya bertahan. Dari survei Reuters juga disebutkan bahwa negara seperti Prancis, Kanada, Jepang, Norwegia, dan Belanda menduduki posisi paling rendah dalam jumlah influencer yang memiliki andil dalam persebaran informasi ke publik.
Mengapa Berita dari Influencer Kian Diminati Masyarakat?
Hegemoni influencer dalam proses pemberitaan dan penyebaran informasi juga diakui oleh Associate Professor Public Policy and Management di Monash University Indonesia, Ika Idris. Ia membenarkan bahwa akses informasi melalui media sosial milik influencer menjadi pintu awal persebaran berita. Menurutnya, kemajuan teknologi media sosial yang membuat informasi dapat diakses dalam satu layar menjadikan eksistensi influencer semakin diterima masyarakat.
“Ada beberapa alasan mengapa orang lebih mengonsumsi informasi dari influencer. Lebih mudah masuk ke media sosial daripada masuk ke situs berita. Beberapa media besar membuat aplikasi mobile yang sudah mudah digunakan, tapi aplikasi ini akhirnya hanya digunakan oleh orang yang memang mau mengakses informasi,” kata Ika Idris saat dihubungi Tirto, Kamis (7/11/2025).
Ika juga menambahkan bahwa influencer di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, sebagian besar memiliki keluwesan dalam menyampaikan informasi tanpa harus terkekang oleh aturan tertentu. Hal itu menjadi celah untuk meraih atensi dari pemirsa yang sebelumnya condong ke media konvensional.
“Media terikat dengan gaya pemberitaan atau bahasa tertentu sehingga mungkin butuh usaha lebih untuk dipahami. Akan tetapi, saat ini media-media juga sudah banyak yang membuat konten di medsos dengan gaya personal,” ungkapnya.
Selain itu, media konvensional terikat dengan aturan yang kaku dalam Undang-Undang Pers, sehingga produk pemberitaan harus melalui verifikasi ketat sebelum disajikan ke masyarakat. Sedangkan di sisi lain, influencer cukup mengandalkan media sosial untuk mengunggah konten informasi tanpa perlu mekanisme panjang sebelum akhirnya dapat diakses publik.
“Penjagaannya ada, sehingga butuh lebih banyak sumber daya dan waktu. Sementara itu, media sosial terkadang hanya butuh satu pengguna yang menentukan semua, jadi prosesnya lebih cepat dan tidak ketat,” jelasnya.

Influencer sekaligus penyiar dalam siniar Thirty Days of Lunch, Fellexandro Ruby, mengemukakan pendapat mengenai hasil riset Reuters tersebut. Menurutnya, sebagian kelompok masyarakat saat ini mengakses berita dari influencer karena ada faktor kedekatan. Dengan kedekatan itu, masyarakat menjadi kian terhubung dengan informasi yang disampaikan oleh sang influencer.
“Menurut saya, mungkin karena hadirnya sosok dengan kepribadian tertentu, jadi lebih bisa nyambung—berasa seperti berbicara langsung dengan seseorang dibandingkan dengan institusi media yang tidak punya wajah. Menurutku sih kembali ke sifat alami manusia saja,” kata Fellexandro saat dihubungi Tirto, Kamis.
Faktor kedekatan antara influencer dan para pengikutnya juga diamini oleh Iman Budi Santoso, Chief Business Development dari Lux Entertainment, agensi yang menaungi sejumlah influencer Indonesia.
“Influencer, menurutku, mengisi peran yang sangat penting dalam hal itu. Informasi yang diberikan oleh orang yang mereka percaya biasanya lebih kena dibandingkan dengan apa yang mereka harus baca,” kata Iman.
Apa yang Terjadi saat Minat Konsumsi Berita dari Influencer Lebih Tinggi daripada Produk Jurnalistik?
Tak seperti jurnalis atau pers yang didefinisikan secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, influencer memiliki definisi beragam sebagaimana dijelaskan dalam riset Reuters di atas. Ika Idris menjelaskan bahwa semula kehadiran influencer muncul seiring perkembangan media sosial.
Para influencer yang sebelumnya bergerak secara individual kini membentuk ekosistem di bawah agensi dan menjadi industri dengan ceruk pasar yang beragam dari isu politik, gaya hidup, hingga olahraga. Tidak hanya mempromosikan jenama atau produk tertentu, Ika menyampaikan bahwa influencer juga ikut memengaruhi pilihan politik masyarakat, yang kini semakin terlihat dalam konteks pemilihan umum.
“Yang paling kelihatan kan influencer di bidang produk, tapi ada juga influencer ide, program, dan dukungan politik,” kata Ika.
Oleh karenanya, Ika menyampaikan bahwa saat ini influencer telah mengisi berbagai sumber informasi di media sosial. Hal itu menimbulkan kekhawatiran apabila informasi dikuasai segelintir influencer yang hanya mengandalkan popularitas tanpa memiliki kepakaran memadai.
Menurutnya, fenomena ini dapat menggeser para pakar yang memiliki otoritas keilmuan untuk menyampaikan informasi ke publik. Karena disampaikan tanpa dasar kepakaran, Ika khawatir informasi dari influencer lebih berat pada opini subjektif dibanding fakta.
“Di sisi lain, komunitas nanti bisa tergantung pada drama yang berat dengan opini ketimbang fakta. Akhirnya susah juga menerima perbedaan pendapat,” ujarnya.
Selain karena faktor kepakaran yang kerap kali diabaikan oleh influencer, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Bayu Wardhana mengkhawatirkan narasi-narasi yang dibentuk influencer berpotensi menciptakan echo chamber. Istilah echo chamber dimaknai sebagai kondisi ketika seseorang hanya terpapar pada informasi dan opini yang sesuai dengan keyakinannya sendiri, lalu mengabaikan pandangan berlawanan.
“Karena informasi dari influencer pada umumnya mewakili pandangan satu pihak, masyarakat kemudian hidup dalam echo chamber masing-masing,” kata Bayu.
Dalam catatan Tirto, keterlibatan influencer juga sudah masuk dalam urusan bernegara sebagai corong informasi ke publik. Salah satunya adalah pada saat Presiden Joko Widodo mengundang sejumlahinfluencer datang ke Ibu Kota Nusantara di Kalimantan Timur pada Minggu, 28 Juli 2024.

Langkah pemerintah memboyong artis dan pesohor untuk memoles citra kebijakan yang masih menimbulkan masalah memang bukan hal baru. Jokowi sudah melakukannya beberapa kali, seperti ketika mendorong Undang-Undang Cipta Kerja dan kebijakan di masa Pandemi COVID-19 lalu. Semua upayanya dalam 'menggendong' influencer untuk menjadi penyambung lidah bagi masyarakat dalam pembuatan kebijakan terus menuai kritik. Karena narasi yang disampaikan oleh influencer hanya mengulang apa yang disampaikan oleh humas pemerintahan tanpa ada sigi dan daya kritis.
Gaya influencer yang bersuara dan memunculkan diri di media sosial juga diadaptasi oleh aparatur negara di Indonesia. Salah satunya adalah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang menurut survei Tirto, lewat kerja sama dengan Jakpat pada 16-17 Juni 2025, 81,02 persen di antara responden di Jawa Barat mengaku mengenal pertama kali sosok Dedi Mulyadi melalui platform media sosial seperti YouTube, Instagram, TikTok, Facebook, dan lainnya. Dari jumlah tersebut, sekira 95 persen pernah menonton konten Youtube atau media sosial yang ditampilkan sosok yang akrab disapa Demul.
Menanggapi fenomena persebaran narasi minim riset dan berpotensi menimbulkan hoaks dari kalangan influencer, Iman Budi Santoso menyampaikan bahwa pihaknya selalu memberi kesadaran kepada influencer di bawah asuhannya untuk berhati-hati dalam menyampaikan narasi ke publik. Meski demikian, dia tetap memberi kebebasan bagi para influencer Lux Entertainment untuk bersuara di media sosial sesuai dengan keyakinan dan pemikiran mereka masing-masing.
"Kalau dari kita sih memberikan saran untuk ke talent-talent kami untuk tidak menyebarkan informasi yang belum valid, atau informasi yang datangnya itu dari asumsi," kata Iman.
Bisakah Jurnalis dan Influencer Berkolaborasi Bersama Melawan Hoaks di Media Sosial?
Fellexandro Ruby yang rutin membuat konten dengan tema edukasi di berbagai platform mengungkapkan bahwa dirinya siap untuk berkolaborasi dengan jurnalis dan ruang redaksi media dalam pembuatan konten. Meski demikian, Fellexandro mengaku belum memiliki pengalaman dalam kolaborasi konten dalam bingkai jurnalistik.
"Saya open, mungkin selama ini belum ada bentuk kerja sama yang ditawarkan dirasa cocok, tetapi off course apalagi bisa menambah kredibilitas untuk kedua belah pihak," kata Fellexandro.
Senada dengan Fellexandro, Lux Entertainment juga menyampaikan hal serupa bahwa pihaknya selaku agensi talenta influencer untuk bekerja sama dengan jurnalis maupun media arus utama. Menurutnya, jurnalis dan influencer adalah dua talenta yang berbeda namun dapat disatukan dalam satu layar untuk menyampaikan narasi yang sama.
"Saya dapat membayangkan ada seorang conten creator beauty bisa berkolaborasi membahas bahan kimia berbahaya dalam kosmetik, dan jurnalis bisa hadir membawa data, investigasi. Bagi saya atau kami dari Lux Entertainmen melihat hal ini sebagai kolaborasi yang win-win solution," ujarnya.
Upaya pengkolaborasian antara dunia jurnalis dan influencer pernah diupayakan oleh Dewan Pers, mengingat kedua elemen tersebut memiliki regulasi yang berbeda. Anggota Dewan Pers, Abdul Manan menceritakan bahwa pihaknya sempat mengundang influencer untuk dimintai pendapat untuk memitigasi persebaran konten negatif di jagat media sosial.
Dewan Pers saat itu menghendaki agar influencer berkolaborasi di antara mereka membuat kode etik internal demi menghasilkan konten yang lebih baik.
"Jadi kami Dewan Pers sempat berdiskusi dan mengundang influencer bagaimana mencari common ground dengan content creator ini dan mendorong supaya teman-teman content creator membuat rule internal, bagaimana supaya peran mereka lebih positif," kata Manan.
Meski demikian, Manan menyebut ada sejumlah tantangan apabila hendak mengkolaborasikan produk influencer dan jurnalistik dalam satu bingkai konten. Menurutnya, kolaborasi kedua entitas tersebut akan menimbulkan pertanyaan apakah influencer mau untuk mengikuti gaya jurnalistik yang terikat pada aturan UU Pers seperti verifikasi fakta, konfirmasi narasumber hingga bersiap menghadapi gugatan Dewan Pers apabila ada produk informasi yang dinilai bermasalah oleh pihak lain.
"Bisa saja konten media mainstream mengakomodir atau bekerja sama dengan influencer misalnya, tapi kan siapa yang ikut atau siapa yang harus ikut dalam aturan kerjasama itu. Apakah konten influencer ikut rule media atau media yang akan ikut logikanya influencer, itu ada kerumitan sendiri, dan pasti kita berharap influencer yang ikut rule media," kata Manan.

Terbaru, saat ini Kemkomdigi melakukan kajian kebijakan sertifikasi untuk influencer seperti di Cina perlu dikaji dan dianalisis karena pemerintah berkomitmen mencegah penyebaran konten misinformasi, tapi tanpa mengekang kebebasan masyarakat di ruang digital.
"Tapi jangan sampai terlalu mengekang. Kompetensi memang diperlukan, jangan sampai muncul tadi justru mereka yang membuat konten yang salah," kata Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemkomdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, dikutip dari Antara, Senin (3/11/2025).
Selain mengenai aturan dalam kerjasama konten informasi, Ika Idris menyampaikan bahwa perlu ada aturan yang jelas bagaimana pembagian keuntungan antara influencer maupun media arus utama pasca kolaborasi.
"Yang paling penting bukan cuma membuat orang mengonsumsi hasil produk jurnalisme tapi juga membuat adanya share profit ke media biar nggak mati," kata Ika.
Menanggapi tantangan sebagaimana yang disampaikan Dewan Pers ataupun Ika Idris, Tirto.id memilih untuk mengambil langkah kerjasama dengan influencer atau conten creator yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemimpin Redaksi Tirto.id, Rachmadin Ismail menyampaikan bahwa kerjasama tersebut dilakukan sebagai bentuk penularan semangat dalam melawan misinformasi, dan disinformasi dengan cara fact checking.
"Jadi prinsipnya ilmu-ilmu fact checking yang kita punya, kita training juga ke teman-teman conten creator, ke teman-teman homeless begitu, jadi mereka bergabung dalam jaringan kita, sebuah network kolaborasi untuk melakukan pemeriksaan fakta," kata Rachmadin.
Menurutnya, atensi masyarakat kepada influencer atau news creator menjadi tantangan yang bias diselesaikan melalui jalur kolaborasi. Tirto juga mengajak para pakar dari berbagai lini keilmuan untuk menjadi influencer dengan cara menulis atau tampil dalam konten yang ada di platform milik Tirto.
“Hingga saat ini ada 330 media homeless yang ikut terus ada 50-an creator yang bergabung, mereka akhirnya menjadi bagian dari network Tirto,” ujarnya.
Selayaknya jurnalis di ruang rapat redaksi, para content creator yang berkolaborasi dengan Tirto juga diberi hak untuk mengusulkan ide liputan untuk kemudian ditayangkan di portal website Tirto yang kemudian dibagikan kepada akun masing-masing influencer tersebut.
"Para kreator diundang untuk menjadikan konten Tirto sebagai rujukan dan boleh mengusulkan ide liputan," katanya.
Mengenai fenomena tingginya atensi masyarakat terhadap konsumsi pemberitaan melalui konten influencer di media sosial dibandingkan media arus utama, Tirto telah mencoba mengonfirmasi dan meminta pendapat kepada Direktur Jenderal Komunikasi Publik dan Media Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) Fifi Aleyda Yahya. Namun hingga berita ini ditayangkan, tidak ada balasan yang diberikan untuk menjawab isu tersebut.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Rina Nurjanah
Masuk tirto.id


































