Menuju konten utama

Industri Kosmetik, Tak Secantik Promosinya

Nelangsa di negeri sendiri, itulah kondisi industri kosmetik di dalam negeri. Dengan jumlah penduduk perempuan mencapai 118 juta orang, pasar kosmetik di Indonesia seharusnya mampu mendulang pendapatan. Fakta di lapangan malah sebaliknya.

Industri Kosmetik, Tak Secantik Promosinya
Peserta mengikuti kelas make up Bodyshop di Summarecon Mal Bekasi, Jawa Barat. Tirto/TF Subarkah

tirto.id - Kalah di negeri sendiri. Itulah tajuk yang menimpa industri kosmetik dalam negeri. Perusahaan kosmetik dalam negeri kalah bersaing dengan perusahaan multinasional. Alhasil penguasaan pangsa pasar kosmetik pun 70 persen lari ke tangan asing. Industri lokal hanya kebagian sisanya.

Hal ini tentu ironis mengingat nilai pertumbuhan industri kosmetik di Indonesia mencapai dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Persentase pertumbuhannya setiap tahun pun selalu mencapai dua digit.

Euromonitor International tahun 2015 menyebutkan, dalam 2 tahun terakhir industri kosmetik dalam negeri tumbuh rata-rata sebesar 15,67 persen per tahun. Prediksi pertumbuhan di atas kertas berbeda jauh dengan di lapangan. Muncul sebuah anomali pada perusahaan-perusahaan besar.

Tak ada yang Tumbuh Dua Digit

Untuk melihat pertumbuhan industri kosmetik di Indonesia, kita bisa membedah laporan keuangan tahunan empat pemain besar yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia. Mereka adalah PT Unilever Indonesia Tbk, PT Mandom Indonesia Tbk, PT Mustika Ratu Tbk, dan PT Martina Berto Tbk.

Pada 2015, penjualan Unilever naik hingga 5 persen ketimbang tahun sebelumnya. Divisi home and personal care memberikan kontribusi hingga 74 persen laba kotor atau Rp13 trilun pada perusahaan.

Divisi ini tentunya tak memroduksi kosmetik saja, tetapi juga barang-barang personal care dan turunanannya seperti Oral Care, Hair Care dan Baby Care. Karena itu kita tak bisa mengetahui secara persis kontribusi dari kosmetik itu sepeti apa, apakah meningkat atau malah menurun.

Hanya saja jika kita merujuk dari laporan keuangan tersebut, Unilever mengklaim bahwa produk kosmetik wajah Fair and Lovely merupakan brand dengan pertumbuhan tercepat. Soal angka? tak dipapar oleh mereka.

Sedangkan pada PT Mandom Indonesia, pertumbuhan penjualannya pada tahun 2015 amat kecil hanya 0,3 persen, dari Rp2,308 triliun jadi Rp 2,314 trilun.

Pertumbuhan terbesar produsen Gatsby dan Pixy ini dicatatkan produk perawatan rambut sebesar 6,2 persen. Sedangan pertumbuhan terbesar kedua dicatatkan oleh produk perawatan kulit dan rias yang tumbuh sebesar 2,1 persen yaitu dari Rp 794 miliar di tahun 2014 menjadi Rp 811 miliar.

Sama seperti Unilever, menilik tren penjualan kosmetik dari PT Mandom Indonesia sebenarnya amat cukup bias, karena datanya bercampur dengan produk-produk personal care lainnya, seperti parfum, cologne, dan hair care.

Dua Jagoan Tak Bertaji

Nasib berbeda dialami dua raksasa lokal PT Mustika Ratu dan PT Martina Berto yang memang menfokuskan diri menjual produk-produk kosmetik.

Berdasarkan laporan keuangan Mustika Ratu tahun 2015 terungkap bahwa penjualan mereka turun hingga 2 persen, dari Rp435 miliar menjadi Rp428 miliar. Penurunan produk kosmetik mencapai 0,5 persen. Angka ini bisa bertambah karena retur dari potongan penjualan masih bercampur.

Hal mengejutkan, laba bersih Mustika Ratu turun drastis hingga 578 persen. Laba perusahaan yang dirintis Mooryati Soedibyo ini hanya Rp1,04 miliar pada akhir 2015 lalu. Padahal pada 2014, mereka meneguk untung Rp7,05 miliar.

Kondisi ini juga menimpa PT Martina Bento Tbk yang menaungi Martha Tilaar Group. Dalam soal penjualan produk memang mengalami peningkatan hingga 3,48 persen pada 2015, dari Rp636,7 miliar menjadi Rp647,2 miliar.

Jika dirinci lebih detail pertumbuhan paling besar bukan disektor penjualan kosmetik, tetapi tol manufaktur (43,31 persen) dan penjualan jamu herbal (15,71 persen). Penjualan bersih dari kosmetik sendiri hanya naik 1,65 persen.

Penjualan yang meningkat tak selaras dengan laba yang didapat. Laba bersih Martha Tilaar turun hingga 434,4 persen alias rugi senilai Rp14 miliar. Padahal pada 2014 mereka untung Rp4,2miliar.

Capaian pada tahun lalu ini tentu sungguh ironis karena suplai pabrik baru yang di Cikarang sudah mulai beroperasi sejak Februari 2015. Di sisi lain, mereka pun menambah beban biaya pariwara, pameran dan promosi hingga 5 persen menjadi Rp153 miliar. Angka ini lebih banyak ketimbang Mustika Ratu yang hanya Rp90 miliar.

Dua perusahaan ini memang perlu menggenjot branding agar bisa bersaing dengan produk asing. Menurut survei Credit Suisse yang melibatkan 1.500 konsumen di Indonesia, merek asing memang lebih dipilih konsumen ketimbang merek lokal. Tingginya konsumen yang rata-rata berkelas menengah jadi sebabnya. Muncul sebuah perasaan bangga pada pemakai produk-produk asing. Gengsi jika memakai produk lokal.

Di sisi lain karakteristik pelanggan produk kosmetik adalah pribadi yang cenderung loyal pada merek. Ini berbeda dengan produk makanan yang memiliki banyak substitusi, sehingga konsumen gampang beralih ke produk lain bila tidak puas. Karena itu, permintaan terhadap produk kosmetik asing akan relatif tetap terjaga, atau malah tumbuh, tergantung segencar apa perang pariwara dilakukan.

Meski begitu sebuah riset yang dilakukan Nielsen pada 2013 menemukan fenomena menarik. Muncul sebuah tren rasa keinginan konsumen untuk mencoba satu atau lebih merek yang berbeda. Persentase konsumen yang loyal terhadap satu merek saja turun semula 49,2 persen menjadi 45,4 persen.

Di sisi lain, konsumen yang memilih lebih dari dua merek naik dari 27,1 persen menjadi 30,2 persen. Persentase konsumen yang membeli lebih dari tiga merek pun meningkat dari 12,4 persen menjadi 15,9 persen.

“Ini menunjukan bahwa masyarakat sudah lebih variatif dalam berkosmetik dan mulai memikirkan alternatif-alternatif lain sebagai pilihan kosmetiknya,” ucap Direktur Home Panel Service Nielsen Indonesia kala itu, Hellen Katherina.

Klaim Menteri yang Bertolak Belakang

Dalam konteks pasar dalam negeri, industri lokal sudah angkat tangan. Sebenarnya, tak hanya pasar dalam negeri yang gagal membuat pertumbuhan hingga dua digit, pasar ekspor pun sama. Martha Tilaar hanya mampu menaikan ekspor 7 persen dari Rp6,2 miliar jadi Rp6,6 miliar.

Sedangkan Mustika Ratu malah sebaliknya. Dalam tiga tahun terakhir, nilai ekspor cenderung turun. Dari Rp16,3 miliar pada 2013, jadi Rp8,3 miliar pada 2014 dan anjlok parah jadi Rp2,2 miliar pada tahun lalu. Mereka berdalih penyebab penurunan adalah krisis ekonomi global, termasuk Malaysia yang memang jadi pasar terbesar kedua setelah Indonesia.

Hal yang wajar jika Mustika Ratu kini mulai mengincar pengembangan distribusi ekspor ke wilayah Indochina yaitu Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Laos.

Hasil buruk yang menimpa dua perusahaan besar di atas tidaklah sepenuhnya menggambarkan industri kosmetik dalam negeri saat ini. Ini mengingat Kemenperin mencatat setidaknya ada 760 perusahaan kosmetik di Indonesia, dengan 80 persen di antaranya adalah UKM yang sulit didapat data keuangan detailnya.

Karena itu klaim Menteri Perindustrian, Saleh Husin soal pertumbuhan industri kosmetik yang menggembirakan, bisa jadi patut ditelusuri kebenarannya.

Saleh mengatakan bahwa nilai ekspor kosmetik Indonesia pada 2015 mencapai $818 juta atau sekitar Rp11 triliun. Angka ini lebih besar dibandingkan nilai impor yang sebesar $441 juta. "Neraca perdagangan produk kosmetik mengalami surplus sekitar 85 persen," kata Saleh saat membuka Musyawarah Nasional II Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetik Indonesia (PPA Kosmetik) di Jakarta (1/6/2016).

Surplus ini tentunya jadi barang langka, karena menurut pengakuan Saleh ternyata produk-produk Indonesia digemari di luar negeri. Di sisi lain, kebutuhan bahan baku yang mesti diimpor pun ternyata bisa ditekan – sekedar tahu, untuk bahan baku, 90 persen industri kosmetik berasal dari luar negeri.

Klaim data di atas patut dipertanyakan. Jangankan untuk bertarung di luar. Di wilayah sendiri saja sudah terhantam habis-habisan. Apa yang diklaim Saleh itu ternyata bertolak belakang dengan data yang dimiliki Kemenperin sendiri.

Nilai ekspor kosmetika Indonesia pada 2015 hanya $342 jugar, jauh dari angka yang diucapkan Menteri Saleh. Kecenderungan pertumbuhannya pun relatif turun bukan naik. Terjadi pertumbuhan negatif hingga minus 14 persen ketimbang 2014 yang mencapai $398 juta.

Kontribusi nilai ekspor itu dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional yang membuka pabrik di Indonesia. Seperti, Unilever atau L’Oreal misalnya yang punya beban juga memasok barang regional Asia.

Sebagai contoh, hasil produksi pabrik L’Oréal yang menyasar pasar domestik tercatat sebanyak 37,4 persen. Sisanya melayani ekspor ke negara ASEAN. Ekspor Thailand sebesar 33 persen, lalu Malaysia 14 persen, Singapura sebesar 3,2 persen. Sisanya Filipina dan Hong Kong.

Jika mengacu data Kemenperin angka ekspor ke Thailand dan Singapura relatif tinggi. Ekspor ke Thailand 2015 lalu mencapai $39,1 juta, dan Singapura $117,3 juta.

Penyebab peningkatan itu bisa terjadi diakibatkan oleh populernya kosmetik berlabel halal di industri global. Dalam hal ini, Wardah yang dimiliki PT Paragon Technology Innovation juaranya.

Future Market Insights memasukan Wardah sebagai pemain terbesar dalam industri halal kosmetik di Asia Pasifik. Dengan pasar kosmetik halal di Asia Pasifik pada 2014 yang bernilai $1,4 miliar, Wardah tentunya sudah untung besar. Apalagi kini mereka mulai serius menggarapi ekspansi ke pasar Timur Tengah.

Sayangnya, Wardah bukan perusahaan publik sehingga cukup sulit menelusuri rincian publikasinya. Namun yang pasti, di saat perusahaan kosmetik lain sedang tertatih-tatih, Wardah masih bisa menepuk dada, niche market bertajuk #HalalDariAwal yang mereka bangun mulai terasa labanya.

Baca juga artikel terkait KOSMETIK atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti