Menuju konten utama

"Kesuksesan Kosmetik Halal Tak Lepas dari Kesuksesan Hijab"

Kosmetik halal semakin berkembang, sejalan dengan pertumbuhan hijab yang sangat pesat. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap penggunaan produk halal membuat industri ini tumbuh pesat.

Wawancara pakar marketing Yuswohady. tirto/tf subarkah

tirto.id - Yuswohady dan lembaganya Middle Class Institute (MCI) cukup fokus membahas perilaku dan latar konsumen kelas menengah. Belakangan, mereka menyoroti perilaku kelas menengah yang lebih khusus lagi: kelas menengah Muslim. Buku Middle Class Muslim yang ditulisnya memblejeti fenomena konsumen di negeri berpenduduk mayoritas muslim ini, mulai dari booming hijab, kepedulian pada produk halal, sampai fenomena hotel syariah.

Terakhir, ia menerbitkan penelitiannya tentang Gen M; generasi baru di Indonesia yang modern dan punya pengetahuan teknologi, berjiwa entrepreneurship, tetapi punya kekhasan Islami. Saat tirto.id menyambanginya di kantor MCI di Rawamangun, Ramadan lalu, Yuswo yang mengenakan hem batik biru berlengan panjang bertanya dengan ramah, “Puasa tidak? Kami ambilkan minum kalau tidak.”

Berikut ini adalah hasil ngobrol-ngobrol kami dengannya tentang tema-tema seputar konsumen dan pola konsumsi kelas menengah Muslim. Soal kosmetik halal tentu menjadi salah satunya.

Mengapa lembaga anda, MCI (Middle Class Institute), berfokus pada soal-soal kelas menengah muslim?

Kebetulan saya menginisiasi studi mengenai kelas menengah. Saya mulai dari 2010, sebelum ada MCI. Saya melihat kelas menengah itu dari akan jadi potensi market yang luar biasa di Indonesia, karena tumbuhnya cepat sekali, 9 juta per tahun ada kelas menengah baru. Karena cukup besar potensinya, saya meng-campaign studi mengenai kelas menengah. Sekitar 2012, kami ngajak SWA membikin lembaga think tank yang khusus meriset kelas menengah.

Lalu mulai 2014 saya melihat bahwa kelas menengah muslim mengalami perubahan yang sangat cepat, revolusioner. Saya lihat [fenomena] kayak kosmetik, hijab, lalu jauh sebelumnya sebetulnya bank syariah. Kemudian ada hotel syariah. Ini hal baru dan perubahannya cepat di Indonesia yang sebelumnya nggak ada.

Setelah riset dua kali itu, besok saya launching buku tentang Gen M. Itu adalah brand kelas menengah baru yang modern, techy, universal. Kalau orang politik nyebutnya Islam Nusantara lah, tapi kalo saya nyebutnya Gen M. Saya melihatnya dari sisi pasarnya, gitu. Nah itu studi terakhir saya tentang Gen M ini, kelas menengah Muslim baru yang beda dengan Muslim yang kita ketahui selama ini.

Kalau saya sejak kecil sampai kuliah, Islam itu dianggap nggak begitu pinter, nggak techy, nggak gaul, ndeso. Tapi kelas menengah muslim baru ini menarik karena mereka generasi terdidik, modern, global minded, wawasannya global dan socially connected. Digital savvy. Ciri utamanya Gen M adalah universalis yang mencari universal goodness. Bukan hanya Islam sebagai simbol, tapi nyari kebaikan-kebaikan Islam yang nggak terbatas untuk orang Islam.

Misalnya soal halal. Halal itu kan cara nyembelihnya bener, menghindarkan dari penyakit, semua diatur dengan bagus. Halal itu bagus bukan hanya untuk Islam, tapi juga untuk nonmuslim.

Islam konsumen Gen M ini open minded, dia cari kebaikan universal ketimbang hanya untuk identitas bahwa saya Islam. Itu yang menurut saya agak berbeda dengan Islam generasi sebelumnya yang melihat Islam itu simbol-simbol tulisan Arab, jenggotan, segala macam. Kalau ini cirinya techie, modern, nggak beda dengan Amerika dengan Hollywood, tapi Islamnya tetap [kuat].

Tapi apa bedanya formulasi tentang Gen M ini dengan Islam modern versinya ICMI pada 1990an?

Kalau [ICMI] itu di pemikiran. Saya mengamatinya di aspek konsumsi ya. Malah intelektualnya Gen M itu beda dengan ICMI. Kalau ICMI kan berat, gitu kan. Politik, sosial. Teknologinya ngomongnya pesawat terbang. Kalau ini nggak. Teknologinya dia bikin startup, bikin Gojek, bikin Hijup. Yang lebih ringan, cool. Aspirasinya Gen M ini entrepreneur, mandiri secara finansial, dan bahkan dia nggak mau bekerja [sebagai karyawan]. Kayak Gen Z ya.

Jadi sebenarnya namanya saya sebut Gen M ini yang lahirnya akhir 80an sampai awal 90-an, yang sekarang berarti usianya kira-kira antara 25-30 lah.

Dia lahir sudah mengalami Islam itu sudah bebas. Karena pada zaman Pak Harto sebelum 1990an itu menekan Islam. Setelah 90an, setelah dia naik haji, dia konformis kepada Islam. Terus di 90-an awal ada muncul ICMI. Islam itu tidak hanya ngaji, pesantren, tapi juga bikin pesawat terbang. ICMI termasuk image baru Islam: Islam juga techie, melek teknologi. Simbol Habibie kuat sekali. Nah, terus tahun 1998 mereka juga mengalami krisis, masa sulit juga. Tapi kalau mereka lahir tahun 1990an awal, belum terasa betul. Yang terasa itu mamanya.

Terus di tahun 2000-an itu era DotCom dan internet. Di tahun 2005-an masuk Facebook, Twitter dan segala macam, sampai yang terakhir itu sharing economy segala macam. Jadi semua ini yang mempengaruhi value dan nilai-nilai Gen M ini. Sehingga mereka menghasilkan format generasi Islam yang menurut saya gabungan antara Milenial dan Gen Z.

Kalau Gen Z?

Gen Z itu lahirnya sekitar tahun 1995-an. Cuma kita di Indonesia ini tidak bisa memakai Gen Z, Gen Y yang ada di Amerika, karena situasi sosial politiknya berbeda. Karenanya kenapa saya sebut Gen M: karena orang Indonesia keIslamannya itu kuat. Jadi itu mempengaruhi bagaimana dia belanja, bagaimana dia bekerja. Jadi tidak bisa memakai Gen Z-nya Amerika karena berbeda.

Adakah perbandingan dengan negara jiran yang secara kultural agak mirip, misalnya Malaysia?

Saya kira setting-nya berbeda, ya. Dan Islamnya Malaysia dengan di sini (Indonesia) juga berbeda. Jadi menurut saya Gen M ini ada pengaruh dari satu sisi Islam, dan pengaruh juga [dari] globalisasi. Gen M ini sebenarnya Islam yang semakin universalis, Islam yang semakin rasional, Islam yang semakin universal. Itu soal semakin universal, dapat dari mana? Dari Barat sebenarnya.

Fenomena hijab yang warna-warni, hijab yang agak seksi, itu kan kombinasi antara Islam konservatif dengan Barat. Itu di Indonesia bisa berinteraksi, diadaptasi. Kemudian Islam itu menjadi trendy, menjadi cool. Orang memakai hijab tidak hanya untuk memenuhi kewajiban agama, tetapi menjadi lifestyle, menjadi fashion.

Harus diakui lifestyle yang keren, yang cool itu datangnya bukan dari Islam, datangnya dari Barat. Nah Indonesia itu ada intersection antara Barat dengan Islam. Di Timur Tengah enggak kejadian. Saya lihat Indonesia bisa menjadi model dari Islam yang berinteraksi dengan Barat. Orang Amerika itu takut dengan orang Timur Tengah. Dengan orang Indonesia mereka relatif tidak takut, karena kita bisa beradaptasi.

(Orang Timur Tengah) cenderung mengancam?

Mengancam, apalagi ada ISIS segala macam. Tapi Indonesia meskipun mayoritas muslim, orang Amerika tidak [memandang sebagai ancaman]. Jadi yang saya lihat Gen M itu adalah pertemuan menarik karena kebudayaan Barat berinteraksi dengan kebudayaan Islam, menghasilkan Islam yang cool.

Harus diakui bagi orang Indonesia—ini keberhasilan ekspansi budaya Barat—yang namanya cool itu adalah Android, film-film Hollywood, musik dari Amerika. Nggak ada musik dari Timur Tengah itu cool bagi orang Indonesia. Yang namanya musik cool itu ya Meghan Traynor, Taylor Swift, gitu-gitu. Itu yang saya sebut Gen M.

Menurut saya itu hanya ada di Indonesia, yang dominan. Di Pakistan nggak ada, di India nggak ada. Saya kira karena kita cukup jauh dari Timur Tengah, budaya Arabnya tidak cenderung kental, dan pengaruh Barat kuat sekali di sini, apalagi dengan social media segala macam. Itu terjadi interaksi. Aku menyebutnya Islam modern, Islam techie, Islam yang universalis. Islam yang global inilah yang akan mewarnai lanskap pasar, lanskap budaya, lanskap politik Indonesia ke depan. Karena [masyarakat muslim] kita itu 88 persen [dari total penduduk].

Politik juga butuh marketing, kan.Apakah fenomena ekonomi dan bisnis ini bisa diadaptasi oleh politik, misalnya PKS (Partai Keadilan Sejahtera)? Ada pandangan nggak dari Anda, mengenai Gen M ini dan kans PKS ke depan?

Saya melihatnya, [semakin lama orang Islam] makin rasional dan makin religius.

[Yuswo kemudian menggambarkan empat tipologi Muslim yang dibuat dihasilkan oleh studinya; universalis, konformis, rasionalis, ada apatis].

Jadi Indonesia itu makin religius. Konteksnya Islam, tapi karena pengaruh Barat semakin rasional, semakin universal. Makanya hasilnya Islam universal. Inilah yang saya sebut Gen M, para universalis ini. Itu Islam yang melihat hijab yang warna-warni itu nggak masalah. Pakai hijab tapi boleh kelihatan cantik. Cantiknya juga ala Barat: berkulit putih, hidung mancung, sedikit seksi, badan bagus. Jadi, tren di Indonesia itu orangnya makin religius, karena mayoritas kita itu Islam. Sehingga yang minoritas itu dikepung. Minoritas itu bukan nonmuslim, melainkan Islam yang tidak religius dikepung oleh Islam yang religius.

Dan itu karena pengaruh media sosial semakin besar, karena yang mayoritas makin mempengaruhi yang abangan, lah. Kira-kira begitu. Mungkin bukan abangan, ya. Saya menyebutnya makin religius, bukan spiritual. Karena, harus hati-hati, kadang religiusnya itu bisa jadi bukan substansi juga. Kalau spiritual itu mengerti Islam secara dalam, kalau ini kadang-kadang pengin dilihat Islam.

Jadi hanya (mementingkan) yang tampak saja?

Iya. Jadi saya menyebutnya, religiusitasnya makin naik, bukan spiritualitasnya (substansinya). Tapi karena orang ingin tampak Islam, maka ditaruh di social media, dsb.

Terkait soal politik tadi, apakah partai Islam itu masuk kategori konformis?

Saya melihatnya, ini akan cool, artinya akan menjadi sesuatu yang diikuti oleh banyak orang. Saya kira PKS bukan mewakili ini [Islam universal].

Dia mungkin masih di sini [menunjuk pada tipologi konformis yang digambarnya di papan tulis]. Kurang trendi, kurang keren. Ini belum dilihat cool, ini. Ini kan dianggap puritan dan sebagainya.

Nah, cool itu apa? Cool itu embracing Barat. Gaya hidupnya demokrasi, teknologi, humanity, dan sebagainya. Itu kan Barat sebenarnya. Demokrasi itu kan nggak ada di Islam. Kemudian universalism, philantrophy, gitu-gitu kan. Sesuatu yang global itulah yang diikuti.

Sekarang masuk ke fokus kami ya Pak, soal kosmetik halal. Dari penelitian yang sudah dilakukan, Wardah sebagai benchmark kosmetik halal ini sebenarnya menciptakan pasar atau mereka pandai menangkap fenomena sosial?

Siapa? Wardah? Wardah itu sukses karena kebetulan. Kalau saya runut ya, Wardah itu dibikin tahun 1985 oleh bu Nurhayati. Waktu itu MLM. Tapi karena tidak laku, kemudian repositioning menjadi kosmetik halal. Jadi the first halal cosmetics di Indonesia, tahun 95. Itupun juga gagal. Kenapa? Karena orang nggak ngerti, kosmetik kok halal.

Dia butuh 15 tahun, baru booming tahun 2009-2010. Dan booming bukan karena strategi, bukan karena smart, tapi karena konsumen tiba-tiba berubah. Berubah cepat, karena tiba-tiba preferensi halal menjadi penting dalam berkosmetik. Bukan berarti mereka tidak hebat. Wardah hebat karena dia riding the waves: paling cepat dan paling siap menangkap perubahan. Jadi kalau saya bilang sih bejo [beruntung] ya. Beruntung.

Ketika dilihat kok laku, berarti mulai diterima. Kemudian dia langsung campaign segala macam. Kalau dia tidak riding the wave, dia tidak akan bisa [sukses]. [Tapi] trigger-nya bukan karena dia mendidik pasar kemudian berhasil, tidak.

Yang saya sebut dari yang tidak religius ke religius itu, yang paling menonjol adalah Islam kan mengatur vertikal dan horizontal. Vertikal kaitannya dengan shalat, doa, dan seterusnya. Horizontal kaitannya dengan aktivitas keduniawian, perdagangan muamalat, memakai baju, mengatur aset, dan sebagainya. Sejak 2010, orang Islam Indonesia mulai mengadopsi yang horizontal itu. Yang sebelumnya tidak peduli riba, ketika punya aset punya duit sekarang tiba-tiba “aduh bisa bikin dosa ini.” Makanya dia masuk ke bank syariah.

Yang awalnya [berpakaian] terbuka nggak masalah. Lalu tiba-tiba, “wah Islam mengajarkan tertutup, hanya muka yang terbuka,” dan dia mulai peduli. Kalau makanan [halal] sudah dari dulu, lah. Tapi sekarang dia masuk ke McD, kemudian berpikir “ini masaknya benar-benar halal, gak?” Inilah yang baru. Sekarang orang makan melihat bahwa makanannya harus benar-benar halal.

Soal kosmetik itu dimulai dari hijab dulu. Kesuksesan Wardah itu karena awalnya dia campaign pada hijabers. Kalau kita sudah memakai hijab, kosmetiknya juga harus halal. Kedua, image-nya juga harus sesuai dengan hijab. Makanya seperti Sari Ayu yang image-nya Jawa, tidak cocok. Karakternya berbeda.

Kesuksesan kosmetik halal, Wardah, tidak bisa lepas dari kesuksesan hijab. Orang nyaman memakai hijab karena tidak mengorbankan fashion. Dulu hijab itu image-nya orang kampung, nggak pintar, dan lain-lain. Dulu orang memakai hijab dicap sosial sebagai kelas bawah. Sekarang, memakai hijab [menjadi image kelas menengah].

Contoh terbaik adalah sinetron. 5-10 tahun yang lalu, enggak ada sinetron yang pakai hijab. Adanya waktu puasa-lebaran. Sekarang lebaran atau nggak, tokoh sinetron ada yang pakai hijab. Dan hijab menjadi nilai tambah untuk sinetron itu. Kalau dulu ada hijabnya, orang berpikir yang nonton orang muslim doang, dan orang muslim tradisional. Karena dulu hijab itu citranya tradisional.

Setelah ada orang macam Dian Pelangi yang kaya, ngeblog, [main] instagram, ikut New York Fashion Week, image-nya menjadi cool, dan hijab menempel di situ. Itu membuat orang muda meniru. Di samping adopsi karena faktor agama, juga karena faktor citra. Kita buat survei , sekitar 30 persen hijaber lebih percaya diri karena hijab. 30 persen inicukup besar. Bukan karena faktor syariah, tapi juga karena lifestyle.

Nah, kosmetik halal booming dipicu hijab. Ketika hijab berkembang, otomatis kosmetik ikut, karena ketika berhijab, maka lipstiknya harus seperti apa, make up-nya harus seperti apa. Kalau cewek kan harus matching. Dan ini [hijab dan kosmetik halal] menjadi kayak pasangan.

Secara pasar, harga kosmetik Wardah bersaing. Cukup murah. Jadi mana yang paling berpengaruh untuk kelas menengah, harganya atau citranya?

Saya kira [bukan soal harga]. Kalau soal harga, semestinya sudah laku sejak dulu. Jadi memang ada gelombang perubahan pada 2009-2010 perilaku konsumen yang mulai menyadari pentingnya hijab. Menjadi poin karena tidak mengorbankan fashion.

Dan kosmetik Wardah juga kayaknya sekarang ikut tren Islam universalis juga?

Saya perhatikan sejak tahun 2010-an, Wardah itu di websitenya tulisan Arabnya hanya tulisan halal-nya saja. Dan iklan-iklannya malah tidak ada yang hijab, ia malah (mengambil setting) di Perancis, di Eropa. Dan dia ngomongnya soal green technology. Terakhir-terakhir, dia tidak bicara lagi soal Islam, karena halal itu sudah ada dalam DNA-nya. Malah dia mau masuk ke segmen nonmuslim. Jadi iklan terakhir-terakhir itu tidak memakai hijab.

Menurut saya Wardah itu universalis, karena tidak menonjolkan Islamnya, tapi halalnya. Dan halalnya itu universal, halal yang baik bagi semua orang. Tadi aku ngomong soal universal goodness, dan itu yang dimainkan Wardah dengan begitu cantik. By default dia adalah Islam, tapi diterima oleh nonIslam.

Saya menilai, kampanye yang baik itu mengarah ke universalis. Semakin kita arahkan ke conformist, semakin keluar dalilnya, tulisan Arabnya, ritualnya, semakin orang takut, serem. Tapi kalau kita tampilkan wajah Islam yang adaptif, yang friendly, yang rahmatan lil alamiin, yang universal goodness itu, orang akan lebih obidient, orang akan lebih menerima. Itu yang menurut saya dilakukan Wardah. Menurut saya, kesuksesan Wardah adalah pada strategi universal.

Ini ke depan prediksinya akan meningkat, jumlah Gen M yang universal ini?

Iya. Saat ini angkanya universalis ini sekitar 20 persenan. Saya melihatnya yang konformis akan semakin universalis, yang rasional akan semakin ke universalis juga, gitu. Saya memandang universalis akan semakin besar karena [masyarakat] makin religius, dan di sisi lain karena pengaruh barat makin techie, modern, rasional.

Kalau Islam konformis dan universalis itu setuju formalisasi syariat Islam gak?

Saya kemarin dapat informasi, itu meningkat. Yang mendukung negara Islam di Indonesia itu meningkat. Tapi yang universalis tidak. Karena dia kan tadi itu, yang penting universal goodness.

Yang penting Islami?

Iya. Kalau yang satu [konformis] harus Islam, yang satu [universalis] yang penting Islami. Dan harus kontekstual, ada pengaruh waktu, tempat, budaya. Kalau saya melihatnya yang universalis malah tidak setuju dengan konsep negara Islam. Contohnya hukum cambuk, di Aceh. Kaum konformis melihatnya itu yang diterapkan di zaman nabi. Tapi kaum universal berpendapatyang diterapkan dahulu belum tentu relevan untuk saat ini.

Baca juga artikel terkait WAWANCARA atau tulisan lainnya dari Maulida Sri Handayani

Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti