tirto.id - Pada 2002, Wardah mengkampanyekan kehalalan produknya dengan bintang iklan yang baru saja berjilbab: Inneke Koesherawati. Sepuluh tahun kemudian, barulah produk lipstiknya terekam sebagai salah satu produk Top Brands.
Yuswohady, analis bisnis dari Middle Class Institute (MCI), berpendapat booming Wardah sebagai kosmetik bersertifikat halal itu tak terlepas dari meningkatnya jumlah kelas menengah yang dibarengi kesadaran identitas Islam, terutama pada 2009-2010.
“Konsumen berubah. Tiba-tiba preferensi halal menjadi penting dalam berkosmetik,” kata Yuswohady.
Setelah Wardah, banyak produsen kosmetik lain mengarah ke ceruk yang sama. Misalnya Zoya. Produsen jilbab dan pakaian muslimah ini memproduksi kosmetika dengan penekanan branding pada kehalalannya. Produk-produk kosmetika lama seperti Martha Tilaar juga melihat pentingnya sertifikasi halal tanpa mengubah branding produknya.
Tak hanya merek kosmetik dari dalam negeri, produk asing pun peka dengan perubahan preferensi konsumen ini. Contohnya adalah Garnier dari L'oreal dan Unilever yang sudah menjamin kehalalan banyak produknya. Meski tak ada label halal pada kemasan, produk-produk dari perusahaan ini sudah mengantongi sertifikat halal dari Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.
Soal kosmetik halal dianggap penting sekarang ini. Padahal sebelumnya label dan sertifikasi halal dianggap identik dengan urusan makan. Daging babi, juga daging dari binatang bertaring tak diperbolehkan untuk dikonsumsi oleh muslim. Begitu pula alkohol yang diharamkan oleh sebagian besar ulama.
Ini adalah persoalan. Alkohol adalah zat yang umum dipakai industri farmasi dan kosmetik, terutama sebagai pelarut. Bagaimana statusnya jika ada dalam kosmetik yang kita gunakan? Apa kriteria sebuah produk kosmetik dikategorikan halal?
Menurut Yuni Harina, Staf Kesekretariatan LPPOM MUI, makanan dan minuman halal memang disyaratkan terbebas dari alkohol. Tapi, bagi produk kosmetik lain lagi aturan mainnya.
“Untuk kosmetik diperbolehkan karena pemakaiannya dari luar. Artinya pemakaian di tubuh atau kulit. Alkohol ini tidak najis kecuali dari minuman alkohol khamar,” kata Yuni
Alkohol khamar yang dimaksud Yuni adalah etanol atau etil alkohol. Alkohol jenis ini biasa digunakan sebagai pelarut pada pewangi atau parfum. Alkohol ini meski ada dalam kosmetik, dianggap setara khamar dan tidak boleh diserap oleh kulit. Tapi, alkohol jenis lain seperti setil alkohol dan stearil alkohol yang berasal dari bahan alam seperti minyak kelapa—biasanya ada dalam krim perawatan kulit—diperbolehkan. Itulah sebabnya satu merek yang menekankan kehalalan bisa punya produk mengandung setil alkohol dan stearil alkohol, tapi produk parfumnya malah tak mengandung etanol.
Selain etanol, bahan yang pasti keharamannya adalah semua yang terkait dengan babi. Tak hanya produk yang jelas-jelas mengandung babi, fatwa MUI nomor 26 Tahun 2013 juga mewanti-wanti: “Produk kosmetika yang menggunakan bahan dari produk mikrobial yang tidak diketahui media pertumbuhan mikrobanya apakah dari babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian bahannya.”
Untuk bahan dari hewan seperti plasenta, Yuni menegaskan statusnya halal selama dari hewan halal. Artinya, plasenta dari hewan seperti sapi, kambing, kerbau, dan kuda diperbolehkan, tapi tak demikian halnya jika ia berasal dari babi atau anjing. Plasenta manusia juga haram. Selain jenis binatang, MUI juga mengharamkan plasenta yang diambil janin binatang hidup.
“Kalau sudah lahir, plasentanya baru boleh diambil dan dipakai,” kata Yuni Harina.
Selain menekankan bahan kosmetika harus halal dan suci serta kepentingan yang dibolehkan secara syar'i, MUI juga menegaskan penggunaan kosmetika tidak boleh membahayakan. Agar konsisten, MUI dan khalayak religius sepatutnya tak selesai dengan meributkan kemungkinan kandungan alkohol dan babi, tapi juga mewaspadai zat-zat berbahaya seperti merkuri (raksa) dan hidroquinon yang kerap ada dalam krim-krim pencerah racikan.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti