tirto.id - Beberapa gerai kosmetik berderet di sebuah pusat perbelanjaan daerah Jakarta Selatan. Warnanya ditata sesuai warna brand masing-masing: merah, hitam, abu, hijau, biru pastel, putih, dan seterusnya.
Salah satu gerai dirubungi pengunjung. Merek asal Perancis, L'oreal, sedang menggelar potongan harga. Promosi yang cukup menarik bagi para calon pembeli rupanya. Enam wanita di titik itu memilah produk-produk yang berada di bawah kertas bertera angka “30%”.
Namun, di luar gerai yang sedang mengadakan potongan harga itu: sepi. Hanya satu outlet berwarna dominan biru pastel yang kedatangan pengunjung, tiga orang jumlahnya. Dua perempuan asyik memilah dan mencobai lipstik, sedangkan seorang lagi berkonsultasi produk perawatan wajah dengan penjaga gerai.
Gerai kosmetik tanpa diskon itu adalah milik Wardah, merek yang dikenal memproduksi kosmetik bersertifikat halal. Saat dihampiri dan ditanya alasan mengapa memilih Wardah, kedua pembeli lipstik menyebut dua alasan: harga yang cukup bersaing dan jaminan kehalalan.
“Saya mau pakai lipstik yang halal,” kata Yuli, satu dari dua perempuan itu. Tina, temannya, menimpali, “kalau ada [bahan] yang nggak halal, takutnya nanti tertelan.”
Yuli (26) dan Tina (28) adalah karyawan perusahaan swasta. Mereka berjilbab dan punya pendapat ideal tentang kosmetik yang seharusnya mereka gunakan. Gambaran mereka cocok dengan citra yang ditawarkan Wardah sebagai merek produk kosmetik halal dan mengambil pesohor-pesohor berjilbab sebagai brand ambassador.
Tapi pendapat yang sama sekali lain disampaikan oleh pelanggan yang membeli produk perawatan wajah.
“Saya beli karena cocok saja dan harganya miring dibanding merek lain,” jawab perempuan yang tak mau menyebut namanya ini, pendek. Ia kebetulan tak berkerudung.
Industri Kosmetika Lokal
Gambaran di pusat perbelanjaan itu sedikitnya mewakili gambaran pasar kosmetik makro di Indonesia: sepi. Stagnan, lebih tepatnya. Dua jagoan produk lokal, Martha Tilaar dan Mustika Ratu, tak ada yang pertumbuhannya di atas 10 persen dalam tiga tahun terakhir.
Namun, Euromonitor International pada 2015 menyebut pertumbuhan industri kosmetik dalam negeri tumbuh rata-rata sebesar 15,67 persen per tahun. Kemungkinan besar angka itu disumbang oleh merek multinasional dan, tentu saja, Wardah yang belakangan melejit. Sayangnya, angka-angka penjualan Wardah tak bisa diakses lantaran bukan perusahaan terbuka.
Meski demikian, kita bisa melihat besaran kejayaan Wardah dari beberapa data sekunder. Kantar Worldpanel, lembaga pemerhati perilaku konsumen, menyebut pangsa pasar Wardah di daerah urban mencapai 16 persen. Ini angka yang cukup besar. Jika angka itu akurat, ia berarti menjadi pesaing terberat Martha Tilaar—tadinya adalah perusahaan kosmetik terbesar lokal—yang seperti dilansir thejakartapost.com pada 2015 pangsa pasarnya ada pada kisaran 20 persen.
Dengan tren pertumbuhan penjualan Wardah yang mencapai 50 persen setiap tahunnya, sedangkan produk lain melaju tak lebih dari 10 persen, bukan tidak mungkin sesungguhnya Wardah-lah kini yang punya pangsa tertinggi di pasar kosmetik untuk kategori merek lokal.
Melejitnya Wardah juga dapat dilihat dari raihan sebagai Top Brand. Mulai fase pertama 2015, ada 9 produknya yang masuk kategori Top Brand, padahal tahun sebelumnya hanya ada satu produk saja. Kini sudah ada 10 produk menjadi merek top menandakan produk-produknya diterima dan dianggap yang paling diingat oleh konsumen dan masyarakat. Itu belum termasuk lima produk lain yang popularitasnya sudah masuk 5 atau 7 besar produk top di kategorinya masing-masing.
Menurut Farid Fatahillah, analis bisnis pada Middle Class Insitute (MCI), kesuksesan Wardah dimulai sejak 2010, saat angka kelas menengah meningkat. Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product (GDP) Indonesia pada tahun itu mencapai $3.000. Praktis, setelah angka itu, peningkatan GDP tak lagi lambat. Kelas menengah di Indonesia meningkat cepat.
Uniknya, di negara ini peningkatan kelas menengah tak berbanding lurus dengan sekularisme seperti yang terjadi di negara-negara Eropa. Yang terjadi malah sebaliknya. Peningkatan angka kelas menengah berarti meningkatnya kelas menengah yang menonjol identitas keislamannya.
Tak hanya peduli keuntungan material dan emosional saat membeli barang, kelas menengah Muslim ini juga memedulikan aspek syariat dari barang yang mereka beli. Di titik inilah Wardah bisa dibilang beruntung. Sejak pertama kali diproduksi pada 1995, Wardah menawarkan produk kosmetika yang dijamin kehalalannya.
“Kami lihat sejak tahun 90an makin banyak perempuan yang berpakaian Muslimah. Tetapi belum ada merek kosmetik yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” tulis pendiri Wardah, Nurhayati Subakat, soal mengapa produknya dibuat bersertifikat halal.
Amatan Nurhayati tak meleset. Pada dekade 1990an memang terjadi inflasi Islamisme, baik secara sosio-kultural maupun politis. Secara politis, ia diindikasikan dengan bermunculannya organisasi masyarakat yang bercorak Islam. Ada ICMI di kalangan intelektual yang berhasil menguatkan posisi “birokrat Islam” pada rezim Soeharto yang tadinya alergi terhadap politik identitas.
Di luar itu, kelompok-kelompok Islam di kampus-kampus pun menguat. Tak hanya di kalangan organisasi ekstra-kampus, tapi juga kelompok-kelompok mahasiswa pengurus mesjid yang kelak juga membentuk organisasi ekstra-kampus Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Selain urusan politis, jilbab juga jadi fenomena kultural. Meski berawal dari perjuangan menegakkan hak sipil untuk melaksanakan syariat Islam, lambat laun berjilbab dianggap sebagai kepantasan sosial. Berjilbab dianggap sebagai salah satu keutamaan. Lagu Bimbo, “Aisyah Adinda Kita,” sedikit memberi gambaran tentang citra mahasiswa muslimah ideal: jelita, ber-IPK tinggi, berorganisasi, dan tentu saja berjilbab.
Upaya Wardah yang awalnya mengikuti gejala sosial itu akhirnya berbuah hasil 15 tahun kemudian. Dari 2010 ke 2011, unit produk yang dijualnya meningkat sebanyak 20 persen menjadi lebih dari 10 juta unit. Setelahnya adalah sejarah. Penjualan meningkat 50 persen tiap tahunnya.
Angka penjualan Wardah kini, salah satunya terpacak dalam tempo.co, setidaknya ada pada angka Rp200 miliar per bulan pada 2014. Jauh melampaui penjualan produk Mustika Ratu dan Martha Tilaar yang hanya ada di kisaran 400 dan 600 miliar rupiah selama setahun.
Dengan angka itu, mereka pun tak hendak berhenti. Apalagi preferensi memilih kosmetik halal tak hanya terjadi di kalangan konsumen Indonesia. Data menunjukkan konsumsi produk kosmetik halal naik terus, termasuk di Australia dan Selandia Baru. Ini berarti peluang besar bagi Wardah.
Jika di Indonesia Wardah mulai meluaskan ceruknya ke pasar non-muslimah dengan menggunakan bintang iklan yang tak berhijab, di pasar global mereka justru menegaskan identitasnya sebagai produk halal.
“Insya Allah dalam 5 tahun ke depan kami sudah mulai masuk ke pasar global. Kami yakin bisa bersaing dengan global brand lainnya. Karena di Indonesia kami sudah mulai bisa mengambil sebagian pasar global brand,” tandas Nurhayati.
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti