tirto.id - Dalam ranah fesyen global, perbincangan yang muncul sekitar satu bulan terakhir tidak cuma terkait perubahan agenda fesyen--misalnya fakta beberapa label seperti Marc Jacob, Yves Saint Laurent dan Gucci memutuskan mengurangi dan memperlambat produksi koleksi busana dalam setahun--melainkan juga soal label busana independen mana yang akan bergabung pada label retail besar agar bisa tetap bertahan.
Dalam “Winners Take All: How LVMH and Kering Will Extend Their Supremacy Post-Pandemic” yang terbit di Business of Fashion (BoF) pada 26 Mei 2020, disebutkan bahwa bergabung dengan grup retail besar adalah salah satu cara label independen untuk mempertahankan bisnis. Sebab, grup retail bisa mempermudah distribusi busana skala global, penanganan sumber daya manusia, sampai bantuan terkait pemanfaatan teknologi informasi untuk kepentingan usaha.
Salah satu contohnya adalah label busana Stella McCartney yang diprakarsai anak perempuan dari musisi The Beatles Paul McCartney. Stella mendirikan label busana pada 2001 di bawah naungan retail Kering Grup. Label busananya tidak laku keras. Kemudian ia memutuskan untuk jadi independen dengan lepas dari Kering. Tak berapa lama kemudian, ia bergabung dengan grup retail besar lain yakni grup Louis Vuitton Moet Hennessy (LVMH).
Pejabat perusahaan LVMH paham bahwa lini busana Stella tidak akan memberi keuntungan finansial yang besar bagi perusahaan. Namun, citra Stella sebagai desainer yang aktif berkampanye soal anti-kekerasan terhadap hewan bisa meningkatkan pamor LVMH.
Stella adalah salah satu desainer yang mempelopori dihentikannya penggunaan kulit asli hewan sebagai material fesyen. Ia konsisten menyuarakan dan mempraktikkan kepeduliannya itu dan telah diekspos oleh berbagai media sehingga ia juga dipandang sebagai aktivis fesyen.
Citra semacam itu tentu menguntungkan bagi LVMH. Terlebih lagi kini pola konsumsi orang muda sudah berubah. Mereka lebih tertarik mengonsumsi barang fesyen yang mengandung unsur aktivisme.
Konglomerat Mode
Tapi yang masih perlu diingat, fesyen global tetaplah sebuah industri yang didominasi oleh segelintir orang terkaya di Paris dan beberapa kota besar dunia.
LVMH dan Kering adalah dua grup yang paling berpengaruh dalam ranah fesyen internasional. Selain itu ada Chanel Group dan Hermes Group yang juga tersohor dalam ranah rumah mode mewah.
LVMH dimiliki Bernard Arnault, miliarder Paris yang pada 2019 pernah jadi orang kaya ketiga dunia. Sebelum mendirikan grup retail LVMH pada 1989, Arnault adalah penerus bisnis keluarga di bidang konstruksi. Pada pertengahan 1970-an, ia mengembangkan bisnisnya dengan membuka usaha jual beli properti. Pada 1984, ia memutuskan berbisnis retail.
Dalam wawancara dengan Financial Times pada 2019, ia mengaku melobi sebuah lembaga negara Perancis pada 1984 untuk membeli rumah mode Dior, salah satu anak usaha perusahaan katun tekstil milik konglomerat Perancis Marcel Boussac yang bangkrut. Arnault menginginkan Dior karena ibunya sangat menyukai produk karya Christian Dior. Selain itu Arnault selalu menganggap Dior sangat terkenal setelah ia berkunjung ke AS untuk pertama kali dan mendengar seorang supir taksi mengaku tidak tahu apa-apa soal Perancis kecuali label busana Dior.
Lima tahun kemudian Arnault membeli saham Louis Vuitton dan membentuk grup retail LVMH dengan memadukan label busana dan aksesori itu dengan label minuman cognac berkelas yakni Moet Hennessy. Arnault mulai terobsesi untuk jadi pebisnis retail mewah paling populer di dunia.
Seiring waktu Arnault semakin gencar mengakuisisi label-label fesyen bersejarah yang menyasar berbagai segmen (pria maupun wanita, tua maupun muda yang jelas kelasnya sama: kelas atas) semisal Givenchy, Fendi, Berluti maupun label fesyen independen yang dirasa potensial seperti Marc Jacob, Nicholas Kirkwood.
Setelah diakuisi, Arnault akan mengubah strategi bisnis dan wujud DNA dari brand agar lebih sesuai zaman. Salah satu contohnya yang ia lakukan pada Louis Vuitton yang tadinya adalah produsen trunk pada 1850an.Sekarang LV punya direktur kreatif label busana pria, Virgil Abloh, pria afro amerika yang juga berprofesi sebagai DJ, pemilik cult fashion brand bernuansa hypebeast OFF White, punya ketertarikan pada dunia skateboard dan seni, serta merupakan selebritas di media sosial. Agar apa? Agar orang muda yang kini jadi target penjualan LV, mau membeli barang.
Contoh lain adalah lini kosmetik lansiran penyanyi Rihanna, Fenty Beauty. Kosmetik yang dianggap mempelopori keragaman warna kulit perempuan dengan menyediakan varian warna terbanyak diantara label kosmetik lain. Fenty yang mengusung tema keragaman ini kemudian berkembang jadi lini pakaian dalam untuk segala bentuk tubuh, dan juga lini busana siap pakai. Jenama tersebut dianggap paling “woke” di kalangan orang-orang non kulit putih.
Kepada FT, Arnault tidak ragu mengaku sangat bangga bisa jadi orang nomor satu di dunia. Ia puas melihat tim retailnya jadi tim retail paling berkuasa. Dan berupaya agar selalu jadi no.1.
Sampai saat ini LVMH setidaknya menaungi 70 lini retail fesyen dan leather goods, perhotelan, minuman keras (Moet Chandon, Hennessy, Dom Perignon, Belvedere, dsb), perhiasan dan jam tangan (Bvlgari, Chaumet, Tag Heuer, Hublot dsb), parfum dan kosmetik (Acqua di Parma, FENTY by Rihanna, Benefit, dsb), dan department store (Sephora, DFS).
Pola bisnisnya serupa dengan yang sudah dijelaskan di atas.
Pesaing Arnault adalah Francois Henri Pinault, pemilik Kering Grup yang menaungi label fesyen Gucci, Saint Laurent, Balenciaga, Bottega Veneta, Alexander McQueen, Brioni. Usaha Pinault memang hadir berpuluh-puluh tahun setelah Arnault. Tetapi perkembangan bisnis di ranah mode berkembang dengan cukup pesat.
Seperti Arnault, Pinault merupakan anak pengusaha kayu yang sukses di Paris. Sebelum ia meresmikan grup Kering pada 1998, Pinault memegang beberapa jenis usaha keluarga yang bergerak pada bidang retail furnitur, asuransi jiwa, ladang anggur, dan bisnis retail yang menjual buku serta barang elektronik.
BoF menyebut pendapatan grup Kering pada 2018 mencapai 1,7 triliun euro. Kepada BoF Pinault mengaku perusahaannya berusaha memahami karakter generasi milenial yang merupakan konsumen penting dari barang mewah.
“Ketika berusia 25 tahun, kamu masih ada dalam tahap di mana kamu masih ingin mengekspresikan dirimu. Mereka juga sangat menyukai streetwear. Jadi bila kamu datang dengan konsep kreatif yang kuat sekaligus mengusung komunitas yang kuat, maka kamu akan dapat hasil yang signifikan,” tutur Pinault kepada wartawan Business of Fashion yang mewawancarainya untuk cerita sampul.
Ini yang kemudian membuat Gucci, Balenciaga, dan Givenchy sukses. Kering juga memanfaatkan konsep sustainability--selain berupaya mempraktikkannya--sebagai cara branding perusahaan guna memikat kaum muda.
Misalnya pada setahun belakangan ini label busana Gucci, lewat direktur kreatif yang dipandang punya gaya dan pemikiran yang eksentrik, Alessandro Michele, melansir koleksi busana yang nampak genderless. Kini Gucci hanya mengenal satu jenis fashion show yang tidak lagi memisahkan peragaan busana pria dan wanita.
LVMH nampak fokus pada keterwakilan orang non-kulit putih dan perempuan dengan berbagai bentuk tubuh pada berbagai rumah mode yang diasuh.
Yang terjadi kemudian adalah “rebutan” antara dua raksasa retail ini dalam meraih pasar yang lebih besar. Mereka--dan juga pebisnis fesyen lain--sama-sama berharap dan bergantung pada konsumen dari Cina. Salah satu strategi yang hendak dilakuan adalah mencaplok rumah mode independen agar pangsa pasar raksasa retail ini bisa semakin besar.
Sempat beredar kabar LVMH hendak membeli Hermes. Namun pemilik Hermes belum rela bisnisnya dibeli Arnault.
Ada kabar lain soal Prada yang sempat jadi incaran LVMH dan Kering. Seperti Hermes, Pemilik Prada--rumah mode historis asal italia yang masih dikelola oleh lingkar keluarga--tidak bersedia menyerahkan bisnisnya kepada pebisnis besar.
BoF menyebut dua lini lain, yakni Salvatore Ferragamo dan Moncler yang punya valuasi baik dan layak dibeli. Namun belum ada kabar apakah LVMH atau Kering hendak membeli rumah mode itu.
Pada akhirnya, dalam industri fesyen global juga terjadi aksi caplok mencaplok antar konglomerat. Segala unsur aktivisme--keterwakilan warna kulit, gender, wacana sustainability--yang tersemat di dalamnya akan memperbesar peluang bagi konglomerat retail raksasa untuk meraih pasar yang lebih besar agar bisa kembali mencaplok perusahaan lain dan mewujudkan mimpi sebagai pebisnis retail mewah paling populer di dunia.
Editor: Windu Jusuf