tirto.id - Awal tahun lalu presiden grup retail Louis Vuitton Moet Hennessy (LVMH) Bernard Arnault berjanji merealisasikan wacana inklusivitas dan diversitas di dalam perusahaannya. Sebagai pimpinan bisnis retail terbesar dan prestisius di dunia, ia nampaknya tak mau hanya dikenal sebagai pria terkaya nomor empat sejagat raya. Ia ingin publik tahu bahwa dirinya punya niat menjalankan bisnis dengan baik dan benar terutama dari sisi pengurangan ketimpangan gender di tempat kerja.
Di Perancis, ketimpangan gender masih terlihat pada sebagian besar sektor usaha milik swasta dan di lembaga-lembaga pemerintahan. Pada Januari 2018, presiden Emmanuel Macron resmi meminta para pelaku usaha untuk mengubah situasi tersebut.
Kebetulan, program Macron sejalan dengan salah satu program World Economic Forum (WEF) yang menghimbau adanya kerjasama sektor pemerintah/swasta dalam merancang misi promosi praktik kesetaraan gender serta dukungan bagi pengusaha baru dalam mengembangkan jenis usaha. Tim WEF berharap agar institusi yang memutuskan terlibat dalam realisasi wacana tersebut bisa menyusun rencana kerja konkret untuk waktu tiga tahun.
The Fashion Law melaporkan bahwa LVMH adalah perusahaan retail mode pertama yang mengikuti program tersebut.
Sejak memutuskan ikut program pengurangan ketimpangan gender, perbincangan yang bergulir di kalangan para petinggi perusahaan adalah soal menempatkan perempuan di posisi-posisi krusial dalam organisasi. Tim kembali mengevaluasi sosok-sosok penting yang bekerja untuk lini ternama di bawah naungan LVMH seperti Christian Dior, Kenzo, Fendi, Givenchy dan memastikan perempuan dapat menduduki jabatan krusial dalam pengelolaan jenama tersebut—entah sebagai direktur kreatif atau CEO lini retail.
“Kami memandang kesetaraan gender sebagai hal esensial, sebuah tujuan sosial sekaligus aset yang mampu membuat kami semakin kompeten dalam menghadapi kompetisi di ranah bisnis ini,” kata Antoine Arnault, direktur LVMH.
Dalam perjalanannya, LVMH terlihat cukup ambisius untuk merealisasikan agenda sosial itu. Institusi tersebut tak hanya berpikir tentang kesetaraan gender, melainkan juga keragaman ras. Di sisi lain, LVMH ingin agar misi sosial tetap dibarengi keuntungan bisnis yang berlipat ganda tanpa melupakan tugas untuk mengembangkan bisnis lini busana.
Dan semua pertimbangan itu membuat mereka memutuskan untuk bekerjasama dengan penyanyi Rihanna. Minggu lalu, beredar pengunguman resmi dari LVMH dan Rihanna yang menyebut bahwa mereka akan melansir Fenty, sebuah lini busana premium.
Kabar tersebut seketika jadi viral. Rihanna adalah selebritas kulit hitam pertama yang didanai secara penuh oleh LVMH untuk membangun lini busana premium sesuai nama aslinya. Sebelumnya, LVMH pernah melakukan hal serupa dengan desainer Christian Lacroix pada 1987. Pada 2005, perusahaan memutuskan untuk menjual Lacroix. Setelah peristiwa Lacroix, LVMH tidak pernah lagi mensponsori perancang pakaian karena biaya yang dikeluarkan untuk mendirikan lini busana terlampau besar. Mereka pun hanya mengakuisisi lini busana yang sudah punya nama besar.
Tapi, popularitas Rihanna membuat LVMH berubah pikiran. New York Times mencatat bahwa selebritas tersebut telah mengeluarkan lebih dari 50 lagu hit, berkali-kali menduduki posisi tertinggi dalam tangga lagu Billboard, memiliki puluhan juta pengikut di Instagram, dan “punya kemampuan untuk mengubah status quo,” katanya.
Hal itu terbukti pada 2017 ketika Riri, sapaan Rihanna, melansir lini kosmetik Feny Beauty yang juga didanai LVMH. Kala itu, Fenty Beauty memposisikan diri sebagai brand kosmetik yang bisa digunakan untuk segala warna kulit. Jualan utamanya adalah foundation. Kala lini kosmetik lain mengeluarkan belasan jenis warna alas bedak, Riri berani mengeluarkan 40 jenis alas bedak dengan cakupan warna yang cukup luas. Perempuan Afrika yang memiliki kulit keabu-abuan hingga perempuan penderita albino, bisa menemukan varian warna yang sesuai dalam lini tersebut.
Riri pun dielu-elukan. Sejumlah mediakecantikan menampilkan testimoni perempuan-perempuan yang tersiksa karena tidak pernah menemukan warna alas bedak yang cocok sehingga kulit wajah mereka terlihat tidak natural. Bagi mereka, Riri adalah penyelamat.
Fakta penting lainnya, jumlah orang yang warna kulitnya tidak diakomodasi oleh lini kosmetik pada umumnya lebih banyak ketimbang mereka yang warna kulitnya cenderung ‘aman’.
Inilah yang membuat bikin bisnis kosmetik Riri memperoleh pendapatan luar biasa besar. Pada 2018, Time menobatkan sang penyanyi sebagai salah satu sosok paling berpengaruh di dunia karena berhasil memperoleh pendapatan $500 juta dolar dari penjualan kosmetik hanya dalam kurun waktu satu tahun.
Tahun lalu, Riri melansir koleksi pakaian dalam Savage x Fenty. Seperti lini kosmetik, lini pakaian dalam juga disesuaikan dengan wacana keragaman. Rihanna menjual bra dan celana dalam yang disesuaikan dengan berbagai warna kulit. Ukurannya pun tersedia untuk perempuan bertubuh mungil, perempuan hamil, hingga perempuan dengan ukuran payudara 44 DDD—dan Riri masih terbuka soal varian ukuran lain.
Penggemar Riri pun semakin bertambah. Ada yang mengidolakan Riri sebagai penyanyi, pengusaha kosmetik, aktris, desainer fesyen, atau desainer aksesori.
Hari ini figur multitalenta adalah sosok yang cenderung dicari para pengusaha retail. Mereka tak ragu melepas orang yang sungguh-sungguh berprofesi sebagai perancang busana dan menggantinya dengan sosok populer yang dianggap mampu mendongkrak popularitas sekaligus menunjukkan kepedulian sosial.
Selain Riri, tokoh lain yang juga jadi andalan LVMH dalam ranah iklusivitas dan keragaman adalah Virgil Abloh—sosok multitalenta sekaligus desainer kulit hitam pertama Louis Vuitton Men.
Editor: Windu Jusuf