tirto.id - Mencari pakaian dalam bukan perkara sederhana bagi Ade Hassan. Tujuh tahun lalu ia berniat mencari pakaian dalam yang sesuai dengan warna kulitnya. Perempuan ini pun menelusuri setiap toko yang menjual pakaian dalam di Kota London. Sayangnya, ia tidak bisa menemukan celana dan bra dengan warna yang mendekati kulit cokelat.
Akhirnya ia mencoba mencari produk di toko-toko daring. Ternyata hasilnya sama. Hassan heran kenapa deretan toko di kota-kota besar di Eropa tidak menjual jenis pakaian pokok yang menyasar perempuan keturunan Afrika.
“Pakaian dalam nude atau sesuai warna kulit di toko hanya cocok untuk warna kulit Kaukasia,” katanya pada audiens forum TedX.
Hassan yang selalu punya harapan untuk jadi pebisnis fesyen ini kemudian memutuskan jadi pengusaha produk pakaian dalam yang bisa dikenakan oleh para perempuan dengan latar belakang serupa dengannya.
“Aku semakin terdorong karena saat itu aku bekerja di lingkungan yang tidak sehat. Aku bekerja di perusahaan keuangan—bidang yang sebenarnya tidak kusukai dan aku sering direndahkan oleh atasan,” lanjut perempuan asal Nigeria ini.
Singkat cerita, ia pindah kantor dan menabung hingga modal usaha terkumpul.
Begitu modal sudah terkumpul, ia merintis bisnis seorang diri dan menyewa jasa konsultan pemasaran. Pada 2014 Hassan resmi meluncurkan produk bernama Nubian Skin. Promosinya? Lewat media sosial.
Hassan merancang sesi pemotretan dengan empat model kulit hitam Amerika yang punya warna kulit berbeda. Tak disangka, foto yang diunggah di media sosial pada 2014 itu mendapat respons positif. Dalam kurun waktu satu bulan, ia mendapat 20.000 pengikut di Instagram.
Pada 2016 pengarah gaya penyanyi Beyonce menghubungi Hassan dan memintanya merancang lingerie untuk keperluan konser. Beberapa selebritas secara sukarela mengunggah testimoni tentang Nubian di media sosial. Sejumlah media mulai meliputnya dan menyatakan bahwa Nubian memberikan perspektif baru tentang “warna kulit”.
Sejak itu, Nubian makin terdengar familiar dan jadi salah satu produk independen yang juga menawarkan beragam ukuran pakaian baik untuk perempuan bertubuh mungil maupun besar.
Di belahan dunia Barat, produk-produk serupa Nubian tengah diminati kalangan milenial karena membawa misi keragaman dan inklusivitas. Inklusivitas diukur dari apakah produk tersebut cocok digunakan oleh orang dari berbagai ras dan ukuran tubuh.
Pada 2014 lembaga riset Boston Consulting Group (BCG) merilis laporan yang menyebut milenial AS berusia 18-34 tahun lebih tertarik membeli produk dengan narasi inklusif karena nampak nyata dan otentik, serta tak semata ditujukan untuk mencari untung.
“Kalangan milenial masih akan terus jadi konsumen terbesar yang paling berpengaruh. Para pelaku bisnis harus benar-benar memperhatikan karakter dan sejarah merek serta mampu menyampaikan misi sosial yang hendak disampaikan melalui produk,” tulis laporan tersebut.
Riset BCG terbukti pula ketika Savage, produk pakaian dalam keluaran penyanyi Rihanna, seketika populer setelah dipamerkan dalam New York Fashion Week Oktober 2018. Ulasan Voguemenyatakan peragaan busana tersebut menampilkan jajaran model dengan bentuk tubuh berisi, perut bergelambir, berselulit, dan mengandung.
“Lini pakaian dalam ini akan jadi lebih besar dari Victoria’s Secret. Mereka menampilkan produk yang bisa dikenakan perempuan bertubuh atletis. Bukan hanya menampilkan perempuan dengan hiasan kepala dan pakaian dalam bertabur berlian,” kata jurnalis Christina Binkley dalam laporannya di Vogue.
“Peragaan busana ini memungkinkan kami tampil apa adanya,” ujar Jazzelle Zanaughtti, salah satu model peragaan busana.
Popularitas Savage membuat Teen Vogue tergerak untuk merangkum berbagai lini pakaian dalam inklusif di AS. Jurnalis Shammara Lawrence mencatat setidaknya ada 10 lini pakaian dalam yang masuk kategori tersebut seperti Third Love, Kinx, Eloquii, Chromat, Aerie, dan Universal Standard.
Savage menyediakan pakaian dalam untuk orang dengan lingkar dada 32 A hingga 40 DD atau 38 DDDD. Pengusaha produk tersebut tak hanya memikirkan ukuran tetapi juga bentuk pakaian dalam yang dibuat serupa dengan desain dalaman lansiran Victoria’s Secret atau Agent Provocateur.
Sebagaimana yang dilaporkan Vox, beberapa media kini punya kecenderungan menyoroti misi inklusivitas sebagai bentuk kebaruan. Namun, sebetulnya para pemain lama industri pakaian dalam seperti Triumph, Wacoal, Lane Bryant, dan Playful Promises juga mengeluarkan pakaian dalam inklusif dengan berbagai ukuran.
Sayangnya, produk-produk inklusif para pemain lama itu tak terlalu dikenal karena strategi pemasaran yang tidak tepat. Mereka masih cenderung mempromosikan busana yang hanya cocok dikenakan model bertubuh langsing.
“Andaikata ada lini lingerie yang mengaku sebagai produsen pertama yang mengeluarkan produk tertentu, Anda harus bersikap skeptis. Di ranah pakaian dalam, kesempatan pelaku usaha untuk merancang hal yang benar-benar baru sangatlah tipis. Terlebih bila lini pakaian dalam tersebut masih berskala kecil,” kata Cora Harrington, penulis In Intimate Detail: How to Choose, Wear, and Love Lingerie (2018).
Editor: Windu Jusuf