Menuju konten utama

Sejarah Kutang Nusantara

Bertelanjang dada, bukan hal tabu bagi kebanyakan perempuan-perempuan Indonesia di masa lalu. Perlahan-lahan, setelah distribusi kain, kutang atau BH semakin mudah, dada perempuan-perempuan Indonesia makin tertutup.

Sejarah Kutang Nusantara
Ilustrasi kutang [foto/shutterstock]

tirto.id - Telanjang dada bagi perempuan di Indonesia pada masa lalu merupakan hal yang lumrah. Tidak ada tudingan porno ataupun pamer keseksian. Ini karena tradisi ketika itu belum mengenal penutup dada seperti zaman sekarang.

Perempuan-perempuan tak berpenutup dada tak hanya di Papua saja di masa lalu, tapi di banyak daerah di Indonesia. Di Jawa, kaum perempuan biasanya hanya menutup dadanya dengan kemben yakni sebuah kain yang dililit di bagian dada. Baru setelah periode 1900-an, perempuan di Jawa mulai mengenakan kebaya.

Di Sulawesi Selatan, para perempuan biasa memakai baju bodo yang mirip kebaya, tetapi tipis dan longgar. Saking tipisnya, baju bodo pada masa itu terlihat transparan sehingga memperlihatkan payudara pemakainya. Namun, terlihatnya payudara pada masa itu bukan dalam perspektif cabul, seperti sekarang ini.

Di zaman Hindia Belanda, perempuan yang berjalan di muka umum tanpa mengenakan penutup dada adalah hal yang biasa. Di masa tersebut, hal itu tak menumbuhkan birahi kaum laki-laki Indonesia karena dianggap hal yang biasa. Masalah birahi justru muncul di kalangan laki-laki Belanda yang melihatnya. Pernah ada cerita acara bongkar muat kapal Belanda yang tertunda satu jam, karena pelaut-pelaut Belanda terpesona pada pemandangan di atas perut perempuan itu.

Dalam film The Legong Dance of the Virgin, yang dibuat rumah produksi Amerika di tahun 1933, perempuan Bali digambarkan tidak memakai kutang. Mereka terbiasa bertelanjang dada. Film ini berkisah soal cinta segitiga yang berakhir tragis bagi seorang gadis penari legong.

Selain film cerita ini, dalam film dokumenter Moeder Dao (1995), terdapat dokumentasi perempuan-perempuan tak berpenutup dada di sebuah daerah di Indonesia sekitar tahun 1930. Tentu saja daerah itu jauh dari pusat industri, di mana kain bisa jadi dianggap barang mewah. Perempuan-perempuan berbaju lebih sering ditemukan di pabrik, perkebunan atau kota.

Kutang Penutup Dada

Remy Sylado punya imajinasi sendiri soal bagaimana orang Indonesia mengenal kutang. Dalam novelnya Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil (2007), Remy menceritakan bangsawan berdarah Spanyol-Perancis, bernama Don Lopez Comte de Paris, melihat perempuan Jawa, yang ikut membangun jalan raya pos Anyer Panarukan. Atas perintah Deandels yang berkuasa dari 1808 hingga 1811, para perempuan itu hanya memakai pakaian yang menutup bagian bawah tubuh mereka saja. Dada mereka terlihat. Don Lopez lalu memberi sebuah kain pada perempuan pribumi yang tercantik diantara mereka dan menyuruhnya agar menutup bagian berharga di atas perut itu.

“Coutant! Coutant!” perintah Don Lopez. Kebetulan dalam bahasa Perancis, berharga diartikan sebagai coutant.

Belakangan orang Indonesia mengucapkannya sebagai kutang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kutang dimaknai sebagai pakaian dalam wanita untuk menutupi payudara atau baju tanpa lengan.

Baju tanpa lengan seperti kaos oblong, yang berfungsi sebagai pakaian dalam laki-laki juga, sering sebut sebagai kaos kutang juga. Kata koetang, dalam ejaan lawasnya, sering dipakai setidaknya di zaman kolonial. Seringkali ditemukan dalam bacaan-bacaan dalam bahasa Melayu.

Nampaknya, di masa lalu, kata kutang punya makna yang luas. Tak hanya penutup dada perempuan. Dalam kamus bahasa Makassar-Belanda berjudul Makassaarsch-Hollandsch Woordenboek met Hollandsch-Makassaarsch (1859), yang disusun Benjamin Matthes, koetang di artikan sebagai borstrok, yang artinya pakaian di dalam yang berbentuk seperti rompi. Sementara dalam kamus Belanda Melayu Sunda, Nederduitsch-Maleisch en Soendasch woordenboek (1841), yang disusun Taco Roorda dan Andries de Wilde, kutang dalam bahasa Sunda bisa berarti sebagai pakaian dalam dan juga kemeja.

Bra masuk ke Hindia Belanda

Setelah kemunculan bra, atau buste houder (BH) dalam bahasa Belanda, perempuan-perempuan Eropa pun mulai memakainya. Menurut Cultural Encyclopedia of the Breast (2014), Mary Phelps Jacob alias Caresse Crosby menciptakannya pada 1910, ketika akan mengenakan gaun untuk pergi ke sebuah pesta. Dia merasa bermasalah dengan korset yang sudah berabad-abad di gunakan perempuan Eropa di berbagai belahan dunia. Ciptaan pengubah sejarah kaum perempuan itu dipatenkan pada 1914. Dia mendapat uang karena ciptaannya itu, tetapi tak berperan penting dalam industri bra.

Bra sederhana, yang semula hanya berupa sapu tangan sutra bertali pita, itu lalu dikembangkan lagi dengan yang berenda. Belakangan, bentuk bra bermacam-macam. Di tahun 1922, Ida Rosenthal dan suaminya mulai berbisnis. Ida dan suaminya mengembangkan bra dalam perusahaan Maidenform yang aktif hingga berpuluh tahun kemudian.

Perempuan-perempuan pemakai bra tentu makin meningkat populasinya di tahun 1920an di Hindia Belanda. Setelah para perempuan Belanda menggunakannya, perempuan pribumi mengikutinya. Lidah orang-orang Indonesia menyebutnya BH (baca: beha), yang merupakan singkatan dari Buste Houder (wadah penyangga payudara). Bra atau BH ini pun akhirnya disebut juga sebagai kutang.

Setidaknya, kutang atau BH bermerk Bengawan Solo sudah diiklankan di tahun 1958. jargonnya: kwaliteit tetap terdjamin istimewa. Saat ini setidaknya ada PT Busana Remaja Agracipta, yang masuk sepuluh besar pabrik pakaian dalam dunia, yang memproduksi BH. Perusahaan ini punya pabrik di Bantul dan di Tangerang. Pabrik lain adalah Wacoal dan Mekarjaya.

BH atau kutang, tentu saja jadi pakaian penting perempuan Indonesia masa kini. Perempuan dari semua profesi membutuhkannya, baik yang di rumah, kantor, pasar, ladang, juga tempat prostitusi. BH atau kutang tidak lagi sebagai penutup dada untuk kesopanan, tetapi juga kesehatan.

Baca juga artikel terkait KUTANG atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti