Menuju konten utama

Hari Tanpa Bra No Bra Day 13 Oktober, Asal Usul Kata BH dan Kutang

Lidah orang-orang Indonesia menyebutnya BH (baca: beha), yang merupakan singkatan dari Buste Houder (wadah penyangga payudara).

Hari Tanpa Bra No Bra Day 13 Oktober, Asal Usul Kata BH dan Kutang
Ilustrasi wanita membeli pakaian dalam. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tepat hari ini, 13 Oktober, masyarakat dunia memperingati No Bra Day, atau hari tanpa bra.

No Bra Day diadakan untuk mengampanyekan kesadaran bahaya kanker payudara dan menggalang dana untuk riset terkait penyakit ini.

Awal mula penetapan No Bra Day memang sulit dipastikan. Ada yang berpendapat bahwa No Bra Day terinspirasi dari kampanye ahli bedah plastik yang berpraktik di Toronto, Kanada, Dr. Mitchell Brown pada 2011.

Ia menginisiasi BRA (Breast Reconstruction Awareness) Day yang bertujuan mengedukasi pasien tentang mastektomi — operasi pengangkatan payudara yang salah satunya bertujuan mencegah berkembangnya kanker payudara — dan pilihan untuk merekonstruksi payudara.

Saat itu, tanggal 18 dipilih sebagai BRA Day. Tiga tahun setelah BRA Day diinisiasi, kampanye ini menyebar ke lebih dari 30 negara.

Semangat yang diserap dalam peringatan No Bra Day — yang seiring dengan kampanye BRA Day — adalah kesadaran akan kesehatan payudara.

Meski demikian, aspek-aspek politis juga melekat. Dalam sejarah gerakan perempuan, (melepaskan) bra pernah menjadi simbol perlawanan.

Asal usul kata BH dan kutang

Pada masa lalu, saat zaman Hindia Belanda, perempuan yang berjalan di muka umum tanpa mengenakan penutup dada adalah hal yang biasa.

Di masa tersebut, perempuan tanpa bra tak menumbuhkan birahi kaum laki-laki Indonesia karena dianggap hal yang biasa. Masalah birahi justru muncul di kalangan laki-laki Belanda yang melihatnya.

Pernah ada cerita acara bongkar muat kapal Belanda yang tertunda satu jam, karena pelaut-pelaut Belanda terpesona pada pemandangan di atas perut perempuan itu.

Remy Sylado punya imajinasi sendiri soal bagaimana orang Indonesia mengenal kutang. Dalam novelnya Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil (2007), Remy menceritakan bangsawan berdarah Spanyol-Perancis, bernama Don Lopez Comte de Paris, melihat perempuan Jawa, yang ikut membangun jalan raya pos Anyer Panarukan.

Atas perintah Deandels yang berkuasa dari 1808 hingga 1811, para perempuan itu hanya memakai pakaian yang menutup bagian bawah tubuh mereka saja.

Dada mereka tetap terlihat. Don Lopez lalu memberi sebuah kain pada perempuan pribumi yang tercantik diantara mereka dan menyuruhnya agar menutup bagian berharga di atas perut itu.

“Coutant! Coutant!” perintah Don Lopez. Kebetulan dalam bahasa Perancis, berharga diartikan sebagai coutant.

Belakangan orang Indonesia mengucapkannya sebagai kutang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kutang dimaknai sebagai pakaian dalam perempuan untuk menutupi payudara atau baju tanpa lengan.

Baju tanpa lengan seperti kaos oblong, yang berfungsi sebagai pakaian dalam laki-laki juga, sering sebut sebagai kaos kutang juga.

Kata koetang, dalam ejaan lawasnya, sering dipakai setidaknya di zaman kolonial. Seringkali ditemukan dalam bacaan-bacaan dalam bahasa Melayu.

Nampaknya, di masa lalu, kata kutang punya makna yang luas. Tak hanya penutup dada perempuan.

Dalam kamus bahasa Makassar-Belanda berjudul Makassaarsch-Hollandsch Woordenboek met Hollandsch-Makassaarsch (1859), yang disusun Benjamin Matthes, koetang di artikan sebagai borstrok, yang artinya pakaian di dalam yang berbentuk seperti rompi.

Sementara dalam kamus Belanda Melayu Sunda, Nederduitsch-Maleisch en Soendasch woordenboek (1841), yang disusun Taco Roorda dan Andries de Wilde, kutang dalam bahasa Sunda bisa berarti sebagai pakaian dalam dan juga kemeja.

Setelah kemunculan bra, atau buste houder (BH) dalam bahasa Belanda, perempuan-perempuan Eropa pun mulai memakainya.

Menurut Cultural Encyclopedia of the Breast (2014), Mary Phelps Jacob alias Caresse Crosby menciptakannya pada 1910, ketika akan mengenakan gaun untuk pergi ke sebuah pesta.

Dia merasa bermasalah dengan korset yang sudah berabad-abad di gunakan perempuan Eropa di berbagai belahan dunia.

Ciptaan pengubah sejarah kaum perempuan itu dipatenkan pada 1914. Dia mendapat uang karena ciptaannya itu, tetapi tak berperan penting dalam industri bra.

Bra sederhana, yang semula hanya berupa sapu tangan sutra bertali pita, itu lalu dikembangkan lagi dengan yang berenda.

Belakangan, bentuk bra bermacam-macam. Di tahun 1922, Ida Rosenthal dan suaminya mulai berbisnis. Ida dan suaminya mengembangkan bra dalam perusahaan Maidenform yang aktif hingga berpuluh tahun kemudian.

Perempuan-perempuan pemakai bra tentu makin meningkat populasinya di tahun 1920an di Hindia Belanda.

Setelah para perempuan Belanda menggunakannya, perempuan pribumi mengikutinya.

Lidah orang-orang Indonesia menyebutnya BH (baca: beha), yang merupakan singkatan dari Buste Houder (wadah penyangga payudara). Bra atau BH ini pun akhirnya disebut juga sebagai kutang.

Baca juga artikel terkait HARI TANPA BRA atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH