tirto.id - Rumah mode Louis Vuitton belum lama ini menunjuk penyanyi rap dan produser musik asal Amerika Serikat, Pharrell Williams, sebagai Direktur Kreatif Koleksi Pria. Kabar ini disambut gembira oleh kalangan mode dunia, karena pada akhirnya posisi yang telah lama kosong sepeninggal desainer Virgil Abloh terisi.
Namun profil Pharell sebagai selebriti membuat beberapa orang pesemis. Memulai karirnya sebagai musisi, dan kemudian dikenal dengan gaya fesyen yang nyentrik, Pharell kerap dianggap sebagai trend setter.
Sayangnya, hal ini masih dianggap kurang. Ia dianggap bukan seorang yang dapat mendesain pakaian seperti Virgil. Status selebriti yang "miring" semakin mengecilkan potensi Pharell lainnya. Padahal, Pharell bukan sekadar selebriti, namun juga musisi, produser yang kreatif, dan tentunya pecinta fesyen.
Sejak awal tahun 2000-an, Pharell dikenal karena gaya pribadinya dan kemampuannya menciptakan tren. Dia mengerti hype dan mampu meraup keuntungan dari situ. Sebagai pecinta fesyen, ia tidak takut mengambil risiko untuk mulai mengenakan topi trucker dan kaus skater pada saat artis hip-hop masih senang mengenakan celana jin longgar dan kaus baggy.
Sebelum malang melintang di lini koleksi mewah, nama penulis lagu hits "Happy" dan "Get Lucky" ini sudah berkibar di lini streetwear. Di awal tahun 2000-an, Pharell berkolaborasi dengan desainer dan produser musik asal Jepang, Nigo — yang kini menjadi Direktur Artistik di Kenzo; untuk mendirikan label streetwear Billionaire Boys Club dan label sepatu Ice Cream.
Kolaborasi menjadi salah satu kekhasan kiprah Pharell dalam berkarya. Selain yang sudah disebutkan, ia juga pernah bekerja sama dengan banyak jenama lainnya seperti Timberland, G-star, Moncler, bahkan Uniqlo dan rumah parfum Comme des Garcons. Di bidang musik, nama-nama besar seperti Beyonce, Jay-Z, Justin Timberlake, Katy Perry dan Alicia Keys adalah beberapa di antara banyak artis yang pernah berkolaborasi dengannya.
Pharell juga memiliki rekam jejak panjang dalam membuat karya kolaborasi dengan jenama-jenama mewah dunia. Pada tahun 2004 bersama Louis Vuitton, Pharell dan Direktur Kreatif saat itu, Marc Jacobs, berkolaborasi untuk merancang lini kacamata hitam Millionare. Selanjutnya pada tahun 2008, ia kembali mendesain koleksi perhiasan Blason berupa cincin dan kalung untuk Louis Vuitton.
Sama seperti kontribusinya di bidang musik, kontribusi Pharell di bidang fesyen pun tak bisa dipandang sebelah mata. Pengamat mode menyebutnya sebagai salah seorang tokoh yang mengawali munculnya tren pakaian bergaya netral gender.
Jauh sebelum tren busana netral gender merebak beberapa waktu belakangan, Pharell sudah sering ‘meminjam’ busana dan aksesori dari lini koleksi perempuan untuk mengekspresikan gaya pribadinya yang unik dan eklektik.
Misalnya, ketika ia mengombinasikan jaket keluaran Celine berwarna hot pink atau kardigan panjang berwarna powder pink dari Chanel, dengan celana jin dan t-shirt bergambar happy face yang meriah.
Ada pula tas Birkin kulit buaya ukuran besar berwarna ungu yang dibuat khusus untuknya. Suami dari model Helen Lasichanh ini juga kerap memakai busana senada dengan sang istri, ataupun memakai perhiasan seperti cincin dan kalung yang didesain untuk perempuan.
Meski kini bergandengan tangan dengan Louis Vuitton, Pharell punya hubungan cukup mesra dengan rumah mode Chanel. Sebagai salah seorang muse bagi mendiang desainer kondang Karl Lagerfeld, Pharell melakukan pemotretan iklan untuk Chanel di tahun 2014 bersama model Cara Delevingne.
Setelah itu, Pharell beberapa kali melenggang di atas catwalk untuk gelaran fashion show Chanel. Pada tahun 2017, ia kembali digandeng Chanel untuk menjadi male ambassador untuk pertama kalinya dalam sejarah Chanel. Sebagai male ambassador, Pharell disertakan dalam setiap rangkaian kampanye tas tangan Chanel waktu itu.
Pengoleksi ratusan sepatu yang senang tampil mengenakan topi fedora ini juga menjalin kolaborasi panjang dengan Adidas International yang bermula sejak tahun 2014. Salah satu diantaranya adalah ketika bersama dengan Adidas dan Chanel mendesain sepatu Adidas Originals x Pharrell x Chanel NMD Human Race yang menjadi hits di kalangan selebrita dunia.
Baru-baru ini Pharell berkolaborasi dengan jenama perhiasan mewah Tiffany & Co — yang merupakan bagian dari konglomerat barang mewah LVMH (Moët Hennessy Louis Vuitton).
Selama menghadiri rangkaian peragaan busana koleksi pria di Paris bulan Januari 2022, ia nyaris selalu memakai kacamata hitam model Mughal bertatahkan berlian yang merupakan rancangan pertamanya untuk Tiffany.
Mengutip akun Instagram @louisvuitton, penerima 13 penghargaan Grammy dan 2 nominasi piala Oscar ini dipuji sebagai seorang visioner dengan jagat kreativitas yang melintasi bidang musik, seni, dan fesyen. Pharell juga dinilai sukses menjadikan dirinya ikon kultur global dunia selama dua dekade terakhir.
CEO Louis Vuitton Pietro Beccari, yang hijrah dari rumah mode Dior ke Louis Vuitton pada Januari 2023 ini, berujar, “Saya senang menyambut Pharrell kembali ke "rumah" — setelah kolaborasi pada tahun 2004 dan 2008 dengan Louis Vuitton; sebagai Direktur Kreatif Koleksi Pria yang baru. Visi kreatifnya yang melampaui dunia mode tidak diragukan lagi akan membawa Louis Vuitton memasuki babak baru yang sangat menarik.”
Rancangan perdana Pharell untuk lini koleksi pria Louis Vuitton rencananya akan diluncurkan ke publik pada bulan Juni, di ajang Paris Fashion Week.
Majalah Vogue menyatakan peluncuran koleksi perdana tersebut merupakan salah satu show yang paling dinanti-nanti oleh pemerhati dan penikmat mode tahun ini.
Namun, pengalaman panjangnya di dunia fesyen seakan tidak masih dianggap belum pantas untuk memangku jabatan barunya di rumah mode berkelas seperti Louis Vuitton. Beberapa pendapat mengatakan keputusan Louis Vuitton salah.
Joey Keefer, seorang desainer dan konsultan pakaian pria, mengakui kreativitas dan bakat Pharrell. Tapi dia khawatir tentang preseden mempekerjakan selebriti untuk peran mode utama.
“Menunjuk orang-orang yang sangat berbakat, seperti Pharrell, ke dalam penunjukan di mana mereka belum tentu ahli, akan menantang untuk diterima,” kata Keefer.
Jo Ellison dari Financial Times menulis dengan sinis bahwa desainer sekarang mungkin lebih memilih menyewa manajer media sosial daripada capek-capek mendapatkan gelar dari sekolah desain seperti Parsons atau Central Saint Martins. Hal ini merujuk pada profil seleb Pharell yang dimudahkan dengan memiliki banyak pengikut, tanpa sertifikat sekolah seni atau desain.
Namun, tidak sedikit juga dukungan yang diberikan ke Pharell selain dari internal Louis Vuitton sendiri.
Penulis fesyen Louis Pisano mengatakan, “Pharrell membawa serta pengaruh dan gebrakan yang hanya bisa dilakukan oleh selebritas. Tidak ada yang bisa mengisi posisi Virgil, tetapi Pharrell Williams cukup dekat dalam hal mempertahankan energi yang sama dengan yang dimiliki pria Vuitton di bawah Virgil."
“Dia adalah seorang kreatif multidisiplin yang mengangkangi dunia musik, mode, seni, dan desain dengan pendekatan dan estetika yang mirip dengan Virgil. Menurut pendapat saya, ini akan menjadi transisi yang mulus," lanjutnya.
Louis Vuitton adalah salah satu merek fesyen terbesar di dunia — pendapatannya melampaui $20 miliar tahun lalu untuk pertama kalinya — dan sebagian besar pendapatannya berasal dari barang-barang kulit, bukan koleksi siap pakai.
Restu dari Virgil Abloh
Pharell telah mengoperasikan Billionaire Boys Club dan saudaranya merek Ice Cream sejak tahun 2003, memadukan kemewahan dan fashion jalanan dengan desainer streetwear Jepang, Nigo. Ia, seperti yang telah ditulis sebelumnya, telah melakukan kolaborasi pertamanya dengan Louis Vuitton, kacamata hitam "Millionaire".
Virgil Abloh, direktur kreatif kulit hitam pertama di Louis Vuitton, paham betul akan kelebihan Pharell di fesyen. Ia menghormati kacamata hitam kolaborasi Pharell ini dengan membawanya kembali ke pertunjukan debutnya dengan rumah mode pada tahun 2018.
Virgil membagikan foto kacamata hitam itu di Instagram, pasca-pertunjukan, menulis: " '1,1 jutawan' @louisvuitton untuk menghormati @pharrell & @nigo."
Konsep berbusana Pharell yang berani dan melampaui masanya inilah yang kemungkinan menjadikan klop dan bersahabat dengan mendiang Virgil. Virgil yang juga seorang mantan DJ dengan jam terbang tinggi di skala internasional juga dikenal sebagai desainer yang kerap mendobrak pakem-pakem berbusana yang berlaku di masyarakat, termasuk mengangkat popularitas gaya busana netral gender.
Dalam sebuah wawancara, Virgil menyebut nama Pharell sebagai satu dari lima tokoh yang paling ideal untuk menjadi teman makan malamnya.
Saat Virgil meninggal di tahun 2021 lalu, tidak hanya komunitas fesyen, namun juga kalangan musisi, selebriti berduka. Virgil memang sedang berada di puncak karirnya dan menjadi desainer yang paling dipuja saat itu.
Virgil merupakan keturunan Afrika pertama yang dipercaya menjabat sebagai direktur kreatif di rumah mode mewah. Majalah Times mencantumkan nama Abloh dalam daftar "100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia", sedangkan BBC menyebutnya sebagai tokoh yang menginspirasi.
Mengutip The Wall Street Journal, pria yang lahir di tengah keluarga imigran dari Ghana ini telah mencapai ketenaran global yang tak biasa dialami oleh seorang desainer.
Pada tahun 2012, Virgil mendirikan Off-White (awalnya dinamai Pyrex Vision) jenama busana dan aksesoris high end streetwear, yang menggabungkan gaya busana jalanan dan busana mewah. Sesuai dengan makna nama labelnya Off-White — yaitu warna yang berada di antara warna putih dan hitam, Off-White berupaya menjadi penengah antara gaya berpakaian sehari-hari dan busana eksklusif rancangan desainer.
Untuk menghormati warisan Virgil, Louis Vuitton menayangkan gelaran rancangan terakhir Virgil untuk koleksi musim semi/musim panas yang berlangsung di Miami secara daring pada November 2021.
Pada Januari 2022 di ajang Paris Fashion Week, rancangan terakhir Virgil untuk koleksi musim gugur/musim dingin juga kembali digelar dalam suasana emosional. Pharell duduk di deretan paling depan dalam gelaran ini.
Tapi kini, Pharell tidak hanya duduk di kursi terdepan pagelaran busana Virgil. Ia memiliki tugas untuk meneruskan warisan Virgil dan mengembangkan rumah mode Louis Vuitton sesuai dengan kreativitasnya sendiri.
Penulis: Nayu Novita
Editor: Lilin Rosa Santi