tirto.id - Bagi beberapa desainer busana dalam negeri, mengekspansi bisnis ke dunia barat (khususnya Eropa) adalah salah satu tujuan penting. Sean Loh dan Sheila Agatha, pemilik label Sean&Sheila, adalah desainer yang berupaya mencapai tujuan tersebut. Awal tahun ini, Sean dan Sheila berkesempatan memasarkan karya dalam rangkaian acara Paris Fashion Week (PFW) 2022.
Fédération de la Haute Couture et de la Mode, penyelenggara PFW tidak hanya membuat acara peragaan busana yang menampilkan jenama seperti Louis Vuitton, Gucci, Dior; tetapi juga merancang sesi showroom yang ditujukan untuk memperlihatkan karya desainer-desainer muda mancanegara. Pada sesi showroom, para desainer berpotensi bertemu dengan sejumlah buyer dari berbagai negara. Menurut Sean dan Sheila, hanya ajang sebesar Paris Fashion Week yang memberi peluang paling besar untuk bertemu para buyer.
Tidak semua desainer bisa tampil di showroom PFW. Sean dan Sheila bercerita bahwa mereka dihubungi oleh L’Adresse, agen fesyen asal Paris, yang bertugas untuk mengkurasi desainer-desainer yang akan tampil di showroom. Mereka meminta Sean dan Sheila ikut serta dalam showroom tersebut. Tahun ini adalah tahun kedua Shean dan Sheila ikut serta dalam showroom PFW.
Shubhii, tim marketing L’Adresse berkata bahwa agensinya bertugas mencari desainer dari Asia Selatan dan Asia Tenggara untuk tampil dalam sesi showroom PFW yang diperuntukkan bagi desainer muda Asia. Dari sekian banyak desainer yang ada di Indonesia, Shubhii berkata timnya memilih Sean&Sheila karena desain busananya dinilai kontemporer dan berpotensi laku di pasar internasional. Sebagai agen, Shubhii juga bertugas mengundang para buyer untuk hadir ke showroom tersebut. Namun ia menolak untuk memberikan informasi terkait jumlah buyer yang diundang dan negara asal mereka.
Label busana Sean&Sheila muncul pada 2014. Dua pendirinya memulai karier di dunia mode setelah memenangkan kompetisi perancang busana Harper's Bazaar Asia New Generation Award. Setelah memenangkan kompetisi tersebut, mereka memutuskan bekerjasama mendirikan sebuah label busana. Sejak itu, Sean dan Sheila kerap diundang untuk mengikuti peragaan busana dalam acara pekan mode yang diselenggarakan di China, Sydney, Singapura, Malaysia, dan Taipei.
Sean dan Sheila tidak menjawab lugas ketika ditanya soal berapa banyak buyer dan berapa banyak transaksi yang terjadi selama mengikuti showroom PFW 2022. Mereka bercerita bahwa ada kalanya proses dari pertemuan sampai transaksi berlangsung bisa jadi cukup panjang dan terjadi dalam hitungan tahun. Biasanya para buyers ingin mengetahui lebih lanjut soal kinerja label yang hendak mereka ajak kerjasama. Apabila dirasa cukup stabil dan kredibel, barulah transaksi bisa terjadi. Bagi Sean dan Sheila hal itu tidak masalah karena perkenalan dan networking saat mengikuti acara di luar negeri juga penting.
Kini karya Sean&Sheila dipasarkan di beberapa department store dan concept store di Timur Tengah, Jepang, Inggris, dan Singapura.
Membangun Koneksi
Nonita Respati, pendiri label busana Purana, juga memiliki tujuan untuk mengekspansi bisnis di pasar Eropa. Maret lalu Purana berkesempatan melakukan peragaan busana di Paris. Kebetulan, momen peragaan busana tersebut berbarengan dengan diselenggarakannya PFW. Bagi Nonita, hal itu cukup menguntungkan karena labelnya berpotensi dilihat oleh lebih banyak buyer.
Penampilan di Paris dua bulan lalu berawal saat Nonita dihubungi Fashion Divison, agen fesyen asal Paris yang terbiasa menangani para desainer asal Asia Tenggara yang ingin tampil di Paris. Nonita memutuskan menerima tawaran Fashion Division karena menyadari bahwa melakukan peragaan busana di Paris bisa jadi langkah awal untuk membuka peluang bisnis di kota tersebut.
Ia berkaca pada pengalaman terdahulu. Beberapa saat setelah mengikuti peragaan busana di Jakarta Fashion Week beberapa tahun lalu, Nonita mendapat wholesale buyer dari Timur Tengah yang masih menjadi klien sampai saat ini. Cerita serupa terjadi ketika Purana ikut serta di LA Fashion Week pada 2016 dan trade show Magic di Las Vegas. Beberapa waktu setelah mengikuti dua acara tersebut, Nonita mendapatkan buyer. Sampai saat ini produk Purana masih dijual di sebuah butik multibrand di kawasan Abbot Kinney, Los Angeles.
“Kalau kita memiliki dana untuk tampil di luar negeri, negara tujuan itu juga sesuai dengan target pasar brand kita, dan memang berkeinginan untuk membesarkan brand; saya rasa kesempatan untuk tampil di luar itu layak dicoba,” kata Nonita.
Ia berkisah bahwa timnya membiayai sendiri segala keperluan untuk peragaan busana di Paris dua bulan lalu. Biaya tersebut digunakan untuk membayar honor para model, sewa lokasi, penata rias, dekorasi panggung, musik, agen humas dan para tamu. Nonita tidak bisa mengatakan kisaran biaya yang dihabiskan untuk peragaan busana ini.
Hal yang ia utamakan dari tampil di luar negeri ialah koneksi dengan berbagai pihak yang bisa membantunya untuk memasarkan produk di pasar Eropa.
“Selain pertemuan dengan beberapa pelaku industri mode, pemilik retail space untuk mendapatkan insight mengenai trade show yang tepat di Paris untuk mendapatkan buyer, kami juga mendapatkan undangan untuk mengunjungi station F, salah satu kampus incubator startup terbesar di dunia yang disponsori sekolah prestisius HEC Paris salah satunya, dan beberapa brand besar termasuk LVMH,” kata Nonita.
Salah satu sosok penting yang berhasil ia temui ialah Anne Michaut, director LVMH Academic Chair dan Associate Professor dan Dean di HEC Paris.
“Jadi bagi kami, it is not just about showcasing dan berada di Paris, namun membuka pintu baru, network dan kesempatannya,” kata Nonita. Ia bilang saat ini dirinya melalui masa-masa mentoring dengan Michaut dan mempersiapkan langkah selanjutnya untuk membuka pasar Eropa.
Kolaborasi & Bisnis
Langkah awal untuk masuk ke pasar barat tidak hanya dilakukan lewat peragaan. Desainer aksesori, Rinaldy A. Yunardi, menggunakan cara kerjasama dengan beberapa pesohor luar negeri. Beberapa tahun belakangan, aksesoris karya Rinaldy digunakan oleh beberapa penyanyi seperti Lady Gaga, Madonna, Beyonce, Katy Perry, dan Nicky Minaj.
Rinaldy bercerita hal itu dimungkinkan karena ia berkawan dengan pemilik agen humas fesyen, The Clique yang berbasis di Hong Kong. Kata Rinaldy, pemilik The Clique punya jejaring ke tim para selebritas mancanegara. Sayang proses kerjasama dengan para selebritas itu tidak bisa diceritakan lantaran ada kesepakatan antara pihak agen dan tim para pesohor tersebut.
Buat Rinaldy, yang penting dari kerjasama dengan para selebritas adalah exposure. Ia mengaku dirinya seniman dan tidak terlalu mendalami urusan bisnis. Rinaldy sudah merasa cukup dengan pendapatan utama sebagai pembuat tiara untuk hiasan rambut pengantin perempuan. Usaha yang dia jalani sejak akhir 1990an.
Sementara karya headpiece yang ia buat untuk para pesohor ibarat sarananya untuk “bersenang-senang”. “Yang penting aku bisa terus berkarya,” kata Rinaldy. Baginya headpiece dan aksesoris lain yang ia rancang untuk para selebritas, mengasah kreativitas. Dan pola kerjasama ini akan tetap ia lakukan.
Rinaldy bilang, ia tidak menargetkan akan membuka usaha di luar negeri. Namun bila ada kesempatan untuk memperluas usaha di sana, ia akan melakukannya.
Pengamat mode, Samuel Mulia, berkata sebagian besar desainer Indonesia masih berjiwa seniman. Sepengamatannya, sejauh ini hanya ada satu desainer Indonesia yang sudah berhasil mengekspansi bisnisnya di ranah internasional. Ia menyebut nama Biyan yang sudah resmi bekerjasama dengan Club 21, perusahaan retail asal Singapura. Menurut Samuel, jalan untuk bisa mengekspansi pasar ke luar Indonesia memang sangat panjang dan diperlukan upaya yang konsisten.
Baginya, sangat disayangkan bila para desainer Indonesia hanya fokus pada kreativitas tanpa memperhatikan pengembangan bisnis. “Desain harus diterjemahkan ke dalam uang. Kita perlu uang untuk beli kain, bayar pekerja, dan sebagainya. Jadi perlu ada feasibility study yang jelas. Sayang kalau tidak.” kata Samuel.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Adi Renaldi