Menuju konten utama

Imam Nawawi, Penulis Kitab Paling Produktif Asal Suriah

Ulama besar dari Suriah yang menulis karya-karya penting dalam khazanah keislaman. Pada 2015 makamnya diledakkan kelompok bersenjata.

Imam Nawawi, Penulis Kitab Paling Produktif Asal Suriah
Header Mozaik Imam Nawawi. tirto.id/Ecun

tirto.id - Syeikh Yasin bin Yusuf al-Marakisya dikenal sebagai alim yang memiliki karamah­ karena ketekunan ibadahnya. Dia seorang hafiz yang telah menunaikan ibadah haji lebih dari dua puluh kali. Sering kali melakukan beberapa pengembaraan ke wilayah-wilayah terpencil di Suriah.

Ia juga dikenal sebagai ahli bekam dan memiliki toko kelontong di Zahir Bab, Al-Jabiyah, kota strategis di Suriah yang pernah menjadi lokasi pertemuan kaum muslimin untuk mengelola negeri Syam di bawah pimpinan Umar bin Khattab.

Suatu hari, Syekh Yasin melakukan perjalanan ke desa Nawa, kawasan di dataran Hauran, Provinsi Damaskus. Di sana ia melihat seorang anak kecil berusia 10 tahun yang menangis karena dipaksa bermain oleh rekan-rekan sebayanya. Ia menangis karena enggan bermain, lalu menenangkan diri dengan membaca Al-Qur’an.

Melihat hal itu, Syekh Yasin memiliki intuisi akan masa depan anak tersebut. Ia menilai bocah itu akan menjadi orang yang alim dan zuhud di zamannya. Setelah itu, ia menemui ayahnya dan memberikan beberapa nasihat agar menjaganya.

Anak itu bernama Imam Nawawi yang tumbuh dengan pendidikan dan pengetahuan luas. Begitu juga produktivitasnya dalam menulis kitab yang banyak diakui oleh para ulama, meskipun usianya hanya sampai 45 tahun.

Seorang Muhyiddin dari Nawa

Kecerdasan dan kepribadian Imam Nawawi sudah terlihat sejak kecil. Selain karena didikan orang tuanya, sebagian ulama berpendapat bahwa kecerdasan Imam Nawawi saat kecil merupakan salah satu ilmu hikmah yang hanya diberikan Allah kepada hamba yang dikehendaki-Nya.

Imam Nawawi dilahirkan di desa Nawa, sebuah pusat kota Al-Jaulan yang berada di Kawasan Hauran di provinsi Damaskus, pada bulan Muharram tahun 631 H (Oktober 1233 M).

Nama lengkapnya adalah Abu Zakaria Yahya bin Syarafuddin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam al-Hizami an-Nawawi.

Ayahnya memiliki sebuah toko di Nawa dan ia kerap membantunya. Di sela waktu luang, ia selalu membaca dan menghafal Al-Qur'an sampai akhirnya mampu menghafalnya menjelang balig.

Pada usia 18 tahun, ia diajak ayahnya pindah ke Damaskus untuk belajar di Madrasah Darul Hadits dan menetap di Pondok al-Rawahiyah yang berdekatan dengan Masjid al-Umawi.

Selama menuntut ilmu, ia berguru kepada ulama-ulama terkemuka dan melahap semua bidang ilmu pengetahuan, mulai dari fikih, ushul fikih, nahwu, sharaf, tarikh, hingga ilmu hadits.

Di antara guru-gurunya yang terkenal adalah Syeikh Abu Ibrahim Ishaq, Al-Qadhi Abu Al Fath Umar, Zainuddin Abu Al-Baqa’, Abdul Aziz Muhammad al-Ansari, Zayn al-Din Khalid bin Yusuf, dan Ibnu Malik.

Ibnu Malik, pengarang Alfiyah, bahkan memuji dalam bait kitabnya, “Seorang laki-laki mulia di sisi kami.”

Imam Nawawi dikenal sebagai sosok yang sangat tekun dalam pembelajaran dan menghafalkan banyak kitab serta memperdalam pemahaman keislamanannya. Menurut salah satu muridnya, dalam satu hari ia belajar dua belas mata pelajaran kepada beberapa guru berbeda.

Kitab At-Tanbih, salah satu kitab rujukan fikih mazhab Syafi’i, dihafalkannya hanya dalam waktu empat setengah bulan. Begitu pula kitab Al-Muhadzdzab yang dihafalkannya dalam waktu ringkas di tahun yang sama masa awal pendidikannya di al-Rahwiyah.­

Ia mendapatkan julukan muhyiddin, orang yang menghidupi agama, oleh berbagai kalangan di sekitarnya karena sifat dan kepribadiannya yang begitu mulia. Namun, saking tawadhu--sifat rendah hati--yang sudah melekat pada dirinya, julukan itu enggan ia terima, meskipun secara keilmuan julukan tersebut memang layak didapatkannya.

Pengarang Kitab Paling Produktif

Setelah menamatkan studinya di madrasah, Imam Nawawi menjabat sebagai guru di berbagai institusi pendidikan di Damaskus dan mengajar berbagai disiplin ilmu, termasuk hadis, fikih, tafsir, akidah, dan bahasa Arab.

Menurut Dr. Musthafa Dib al-Bugha dkk dalam Syarah Riyadush Shalihin (2012), saat menjadi pengajar di Madrasah Darul Hadits, Imam Nawawi menyisihkan gajinya untuk mewakafkan pada perpustakaan madrasah. Ia tidur di pondok yang sama ketika ia datang untuk belajar menimba ilmu dan tidak menuntut apapun melebihi kebutuhannya.

Beberapa muridnya yang terkenal adalah Al-Khatib Sadr Ar-Rais, Shihabuddin Ahmad, dan Ala'udin al-'Attar. Muridnya yang terakhir merupakan seorang pelayan, dikenal dengan sebutan Mukhtashar An-Nawawi karena kedekatannya dengan Imam Nawawi.

Sementara karya-karyanya yang terkenal dalam bidang hadits, ialah: Syarah Muslim, Riyadhus Shalihin, Arbain An Nawawiyah, Khulasah Al-Ahkam, Al-Adzkar, dan Syarah Bukhari.

Kemudian karyanya di bidang fikih, antara lain: Raudhath Thalibin, Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab--tidak pernah rampung karena ia keburu wafat, Al-Minhaj, Al-Idhah, dan At-Tahqiq. Ada pula karyanya dalam bidang pendidikan dan adab, yakni: Adab Hamalah Al-Qur’an, dan Bustan Al-Arifin.

Dalam bidang biografi dan sejarah, Imam Nawawi menelurkan karya Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat, ThabaqatAl-Fuqaha’, dan Tahrir At-Tanbih.

Menurut salah satu muridnya, Ala’uddin al-Attar, gurunya itu menulis kitab saat berusia 25 tahun. Jika dikalkulasikan antara karya dengan usianya, selama 20 tahun lebih Imam Nawawi menulis kitab sampai akhir hayatnya.

Sedangkan menurut Syekh Abdul Ghani ad-Daqir dalam Silsilatu A’lamil Muslimin (1994), rata-rata Imam Nawawi menulis dua buah kitab dalam sehari selama 20 tahun.

Kitab-kitab karya Imam Nawawi banyak diterima karena ditulis dengan bahasa awam, objektif dalam pemaparan kaidah fikih, serta memiliki argumentasi yang kuat. Salah satu kitab yang cukup masyhur dan banyak dipelajari di kalangan santri pondok pesantren ialah Arbain An Nawawiyah, kitab yang memuat empat puluh dua hadits pilihan.

Arbain An Nawawiyah, 40 Menjadi 42

Kitab ini ditulis Imam Nawawi karena termotivasi dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Darda, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhum, dari banyak jalur riwayat yang berbeda-beda.

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 'Siapa pun di antara umatku yang menghafal empat puluh hadits terkait perkara agamanya, maka Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat bersama golongan fuqaha dan ulama.'

Secara bahasa, arba’ain artinya empat puluh. Tetapi dalam kitab ini ada empat puluh dua hadits. Seturut Ibnu Hajar Al-Haitami dalam syarah Arbain An Nawawi berjudul Al-Fathu Al-Mubin menyebutkan bahwa setelah menggenapkan susunan hadits di angka 40, tiba-tiba Imam Nawawi takjub pada hadits lain yang berisi perintah melawan hawa nafsu dan perintah mengikuti syariat.

Hadits ini lantas dianggapnya sebagai jiwa dari keseluruhan 40 hadits yang telah ia susun.

“Dari Abu Muhammad Abdillah bin Amr bin ‘Ash radhiyallahu’anhuma berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”

Infografik Mozaik Imam Nawawi

Infografik Mozaik Imam Nawawi. tirto.id/Ecun

Begitu pula dengan hadits ke-42 yang ia kagumi karena berisi perintah doa, istighfar, mengharap rahmat dan pertolongan Allah SWT.

“Dari Anas Radhiallahu’anhu dia berkata, 'Saya mendengar Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda, Allah ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, sesungguhnya Engkau berdoa kepada-Ku dan memohon kepada-Ku, maka akan aku ampuni engkau, aku tidak peduli (berapapun banyaknya dan besarnya dosamu). Wahai anak Adam seandainya dosa-dosamu (sebanyak) awan di langit kemudian engkau minta ampun kepadaku niscaya akan Aku ampuni engkau. Wahai anak Adam sesungguhnya jika engkau datang kepadaku dengan kesalahan sepenuh bumi kemudian engkau menemuiku dengan tidak menyekutukan Aku sedikitpun maka akan Aku temui engkau dengan sepenuh itu pula ampunan.”

Secara keseluruhan, hadits-hadits dalam kitab ini berkaitan dengan dasar-dasar kaidah Islam, mulai dari niat yang baik, penampilan yang bersih, menjaga iman, adab, zuhud, saling menasihati, hingga bahasan tentang jihad.

Bagi kalangan santri pondok pesantren, kitab ini mudah dipelajari dan dihafal karena merangkum hadits-hadits umum yang sudah diketahui, terutama dalam kitab Shahib Bukhari dan Shahih Muslim.

Imam Nawawi sangat dihormati pada masa hidupnya. Selain sebagai ulama, ia juga dikenal sebagai penegak kebajikan lewat fatwa-fatwanya dan penentang penguasa yang lalim.

Ia wafat pada tahun 676 H/1277 M dalam usia 45 tahun di Nawa. Tahun 2015 makamnya diledakkan oleh kelompok bersenjata dalam konflik berkepanjangan di Suriah.

Baca juga artikel terkait KITAB KUNING atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi