tirto.id - Dalam sejarah Andalusia, Jaén adalah salah satu kota yang paling penting. Kota ini berada di tengah-tengah peradaban Islam dan Kristen.
Jaén terletak sekitar 20 km dari pesisir laut Mediterania dan sekitar 100 km dari kota Sevilla. Pada masa Kekhalifahan Islam, kota ini dikenal dengan sebutan Jayyan atau Khayyan dan menjadi salah satu kota awal yang diduduki umat Islam melalui Penaklukan Gibraltar.
Jaén terkenal dengan keindahan pemandangan alam, terutama perbukitan dan lembah yang ditanami pohon-pohon zaitun, disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di Eropa.
Selain zaitun, Jaén juga terkenal sebagai pusat produksi sherry, minuman beralkohol yang terbuat dari anggur. Industri sherry menjadi salah satu sumber pendapatan utamanya.
Kota ini memiliki banyak situs bersejarah dan bangunan-bangunan yang menarik untuk dikunjungi, seperti Alcázar, benteng kuno yang dibangun pada abad ke-11. Juga Katedral Jerez, gereja yang dibangun pada abad ke-17 dengan gaya arsitektur Gothik dan Renaissance. Lalu ada Gereja San Lucas yang dibangun di atas masjid tua pada abad ke-15.
Kota Jaén sekarang dikenal sebagai Jerez de la Frontera dan masuk ke dalam wilayah Provinsi Cádiz, Spanyol.
Seorang pemikir muslim paling berpengaruh lahir di kota ini. Ia ahli gramatika bahasa Arab dan meninggalkan warisan yang hingga kini banyak dipelajari sebagian besar pesantren dan lembaga pendidikan Islam, termasuk di Indonesia.
Ia adalah Ibnu Malik.
Generasi Penerus Ahli Nahwu Sharaf
Nama lengkapnya Abu ‘Abdullah Jalamluddin Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Malikal-Tha’I al-Jayani a;-Syafi’i. Ia lahir di Jayyan, Andalusia, pada tahun 601 H atau sekitar 1205 M. Nama Ibnu Malik merupakan penghormatan yang dinisbatkan kepada kakeknya, Malik.
Ia berasal dari keluarga yang taat beragama dan memiliki latar belakang pendidikan agama yang baik. Ayahnya, Abdillah Ibnu Malik Al-Thay adalah ulama dan juga seorang ahli waris dari salah satu suku Arab terhormat di Jayyan.
Sejak kecil, Ibnu Malik sudah menunjukkan minat yang besar terhadap ilmu agama. Ia belajar di madrasah kepada beberapa ulama terkemuka di Andalusia. Salah satu gurunya yang paling berpengaruh bagi Ibnu Malik adalah Syekh Al-Syalaubini.
Setelah menyelesaikan studinya di Andalusia, kondisi politik mulai membuatnya tak nyaman. Kota Jayyan jatuh ke tangan Ferdinand III, Raja Leon dan Catillia pada tahun 1246 M. Hal ini membuatnya terpaksa pergi mengembara dan melanjutkan pendidikan ke Damaskus yang saat itu menjadi pusat pembelajaran Islam di dunia.
Sebelumnya ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Di Damaskus Ibnu Malik belajar pada beberapa ulama terkemuka seperti Abu Hasan Al-Sakhawi, Syeikh Hasan bin Shabbah, Ibnu Abi Shaqr, Ibnu Najaz al-Maushili, Ibnu Hajib, dan Muhammad bin Abi Fadhal Al-Mursi.
Selama tinggal di Damaskus, ia mendalami berbagai cabang ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, bahasa Arab, dan adab. Belakangan, ia lebih fokus mempelajari ilmu nahwu (kaidah ilmu sintaksis) dan sharaf (morfologi).
Dari Damaskus, ia melanjutkan pendidikan ke Allepo, tepatnya di kota Hallab di Syria Utara. Di sini ia memperdalam nahwu dan sharaf kepada Syaikh Ibnu Ya'isy al-Halaby dan Ibnu Amri’un al-Hallabi.
Setelah menyelesaikan studinya di Timur, Ibnu Malik kembali ke Andalusia dan melanjutkan kiprahnya sebagai seorang ulama terkemuka yang aktif mengajar dan menulis. Ia banyak menampilkan teori-teori mazhab Andalusia dalam karyanya. Mazhab ini jarang diketahui oleh orang-orang di Syria pada waktu itu. Semua pemikirannya dituangkan dalam berbagai buku seperti nazam atau natsar (prosa).
Karya tulisnya yang paling terkenal adalah Kitab Alfiyah Ibnu Malik, sebuah karya monumental yang membahas sebagian besar konsep dan terminologi dalam bahasa Arab.
Kitab Alfiyah merupakan sebuah nazam (syair) terdiri dari 1002 bait yang menjelaskan ilmu nahwu dan sharaf. Kitab Alfiyah sebenarnya merupakan kitab ringkasan dari kitab nazam karangannya sendiri, al-Kafiyah al-Syafiyah, yang terdiri dari 2757 bait.
Kitab ini banyak dipelajari oleh murid-muridnya seperti Imam Nawawi, Ibnu Ja’wan, Baha`bin Nuhas, Ibn Al-Athar, Al-Mizzi, Al-Dzahabi, Al-Shairafi, dan Qadli al-Qudlat Ibn Jamaah. Dalam kitab Kasyf Al-Zhunun karya seorang ulama Allepo, Haji Khalifa, disebutkan bahwa Alfiyah telah di-syarah-kan atau dikomentari oleh kitab lain, setidaknya oleh 40 ulama terkemuka.
Secara bahasa, Alfiyah merupakan isim nisbah dari kata "alfun" yang berarti seribu, meskipun jumlah syair Alfiyah Ibnu Malik pada akhirnya ada 1002 karena ada dua syair tambahan yang memiliki kisah luar biasa.
Dihinggapi Rasa Ujub
Sebelum menuliskannya, Ibnu Malik memang terkenal memiliki hafalan yang kuat, sehingga ia sudah memiliki gambaran dan mengingat seribu bait yang akan dituangkan ke dalam karyanya.
Suatu hari, ia sedang menyelesaikan nazam (syair) untuk dijadikan mukadimah karya tulisnya. Beberapa bait yang sudah ia tulis antara lain:
Wa asta'inullaha fil alfiyah. Maqashidun nahwi biha mahwiyyah.
(Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi ilmu nahwu).
Tuqarribul aqsha bi lafdzhim mujazi. Watabsuthul badz la bi wa'din munjazi.
(Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafal yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat).
Wa taqtadhiy ridho bi ghairi sukhthin. Fa iqatan alfiyatabni mu'thi.
(Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab alfiyahnya Ibnu Mu'thi).
Menurut Ibnu Hamdun dalam kitab hasyiyah--kitab penjelasan terhadap kitab syarah-- berjudul Al-Fathu Al-Wadudi 'Ala Al-Makudi, menyebutkan bahwa Ibnu Malik kemudian meneruskan lagi dengan bait:
Fa iqatab laha bi alfi baytin.
(Mengunggulinya--karya Ibnu Mu’thi--dengan seribu bait).
Tiba-tiba saja pikirannya merasa kosong dan hafalannya hilang begitu saja. Hal ini dialaminya selama berhari-hari sampai suatu malam didatangi seseorang dalam mimpinya. Orang itu kemudian melanjutkan bait Fa iqatan laha bi alfi baytin Ibnu Malik yang terputus dengan Wal hayyu qad yaghlibul fa mayyitin (Orang hidup memang bisa menaklukkan seribu orang mati).
Ia kemudian tersadar bahwa lanjutan bait itu merupakan sindiran kepadanya atas rasa bangga, sehingga melahirkan sifat ujub, akan kitab Alfiyah karyanya lebih baik dari pengarang sebelumnya yang sudah wafat, tak lain gurunya sendiri, yakni Yahya bin Abdil Mu’thi bin Abdin Nur al-Zawawi al-Maghribi atau dikenal dengan Ibnu Mu’thi.
Ibnu Malik pun merasa bersalah. Ia kemudian bergegas menziarahi makam Ibnu Mu’thi dan memohon ampun kepada Allah akan sikap takaburnya.
Setelah itu, ia mengganti potongan bait lama yang terputus dan menyempurnakannya dengan dua bait tambahan yang di luar rencana. Dua bait tambahan ini:
Wa huwa bi sabqin ha'izun tafdhila. Mustaujibun tsana'iyyal jamila.
(Beliau (Ibnu Mu'thi) lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah).
Wallahhu yaqdhi bi hibatin wafirooh. Liwalahu fi darojatil akhirooh.
(Semoga Allah melimpahkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat).
Dalam perjalanannya, Ibnu Malik akhirnya memperbaiki kekhilafan dengan memberikan kontribusi ilmiah, juga pemikiran yang besar untuk umat Islam.
Dasar Ilmu Nahwu
Selain Alfiyah, ada beberapa karya Ibnu Malik yang juga membahas nahwu dan sharaf, antara lain: Tashil al-Fawaid fi al-Nahwi, Sabak al-Manzhum, al-Syafiyah al-Kafiyah, al-Khulashah wa Syarhuha, Ikmal al-I’lam, al-Maqshur wa al-Mamdud, al-I’tiqad fi al-Tha’ wa al-Dhadh, dan sebagainya.
Di kalangan pesantren, Alfiyah Ibnu Malik merupakan tingkatan ketiga dalam pelajaran ilmu nahwu. Santri pemula biasanya mendalami terlebih dahulu nazam Jurumiyah dan nazam Imrithi.
Dalam ilmu fikih, biasanya diawali dengan belajar kitab Safinah, lalu ada kitab Taqrib/Fathul Qarib, Fathul Mu’in, dan seterusnya.
Jurumiyah atau Al-Ajurumiyah merupakan landasan dasar ilmu nahwu yang ditulis oleh ulama asal Maroko, Syekh Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad Dawud Al-Shinhaji atau dikenal juga dengan nama Ibnu Ajjurum. Kitab ini masyhur di pesantren karena merupakan kaidah-kaidah dasar dalam mempelajari bahasa Arab.
Kemudian Imrithi atau Nadzm al-‘Imrithi karya Syaikh Badruddin Musa bin Ramadhan Umairoh al-’Imrithi. Nazam ini terdiri dari 254 bait yang sangat ringan, mudah dipelajari dengan bahasa yang tidak keluar dari pakem ilmu nahwu.
Menurut Darul Abror dalam Kurikulum Pesantren:Model Integrasi Pembelajaran Salaf dan Khalaf (2020), lumrahnya pembelajaran di pesantren, termasuk Al-Qur’an, Hadits, dan Kitab Kuning, dapat dipelajari dengan metode bandongan, sorogan, lalaran, hafalan, dan musyawarah atau bahtsul masai’l.
Bondongan merupakan metode pembelajaran kitab satu arah oleh guru atau kiai pesantren, sementara pasa santri mendengarkan. Lalu sorogan adalah kebalikannya, santri membacakan kitab dan dikoreksi oleh kiai.
Metode lalaran adalah proses mengulang nazam-nazam kitab yang digubah ke dalam lagam atau lagu agar santri tidak bosan dalam mempelajari bait-baitnya. Ini juga sekaligus mengasah kemampuan hafalan santri.
Kitab-kitab seperti Imrithi, Jurumiyah, dan Alfiyah--termasuk kitab klasik lain yang mempelajari tafsir, hadits, fikih, sejarah--disebut juga Kitab Kuning, merujuk pada cetakan kertasnya yang berwarna kuning. Selain itu, periode penulisan Kitab Kuning juga dikategorikan sebagai literatur yang berasal dari abad pertengahan.
Nama lainnya disebut juga dengan Kitab Gundul karena teksnya yang tidak menyertakan tanda baca atau harakat.
Ibnu Malik dengan karyanya, khususnya Alfiyah, memiliki pengaruh terhadap studi bahasa Arab di dunia pendidikan Islam. Ia adalah panutan yang diakui keluasan ilmunya dalam ranah ilmu nahwu dan sharaf.
Ia wafat di Damaskus pada 13 Syaban 672 H atau 22 Februari 1274.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi