Menuju konten utama

Abu Syuja, Pencetus Taqrib Bercorong Syafiiyah

Al-Qadhi Abu Suja' adalah sosok di balik kitab Taqrib yang menjadi panduan fikih pemula mazhab syafi'i.

Abu Syuja, Pencetus Taqrib Bercorong Syafiiyah
Header Mozaik Abu Syuja. tirto.id/Fuad

tirto.id - Ilmu fikih merupakan cabang ilmu dalam agama Islam yang mempelajari aturan-aturan dan hukum-hukum syariat Islam yang sifatnya amaliyah serta hukum tersebut di-istinbat atau digali dari dalil-dalil yang terperinci.

Istilah fikih diambil dari kata faqiha yafqohu-faqihan yang dapat dimaknai “paham” ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi, serta Ijma’ dan Qiyas para ulama.

Secara harfiah, fikih berarti pemahaman atau pengertian. Dalam konteks Islam, fikih mengacu pada pemahaman dan pengertian manusia terhadap ajaran Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik itu dalam hal ibadah maupun muamalah (perdagangan, keuangan, dan hukum pidana).

Ilmu fikih berusaha untuk memahami dan menafsirkan hukum-hukum syariat Islam, serta mengembangkan prinsip-prinsipnya yang relevan dalam konteks zaman sekarang.

Salah satu rujukan ilmu fikih yang umumnya dipelajari para santri pemula di pesantren dan madrasah tingkat dasar ialah kitab Al-Ghayah wa Taqrib, biasa juga disebut Ghayatul Ikhtishar atau lebih populer dengan nama Matan Taqrib.

Matan Taqrib berisi kumpulan aturan-aturan fikih dalam bentuk ringkas dan mudah dipahami, termasuk ibadah, muamalah, hukum pernikahan, waris, dan lain sebagainya.

Ulama Merangkap Hakim

Pengarang Matan Taqrib ialah al-Qadhi Abu Syuja' atau nama lengkapnya Ahmad bin Husen bin Ahmad al-Asfahani. Julukan al-Qadhi merujuk pada jabatannya sebagai hakim, sementara Abu Syuja’ merupakan sifatnya yang berani dalam mengungkap kebenaran dan keadilan. Sedangkan al-Asfahani merupakan penghormatan akan keluarga dari kakeknya di wilayah Asfahani, Iran.

Lahir di kota Basrah, Irak, pada tahun 434 H, ia belajar fikih, khususnya mazhab Syafi’i, selama lebih dari 40 tahun. Menurut beberapa keterangan dalam kitab Hasyiah al-Bajuri dan Hasyiah Bujairimi `ala Khatib, ia memiliki umur yang sangat panjang hingga mencapai 160 tahun.

Pendapat tentang usianya ini juga dianut oleh Haji Khalifah dalam kitabnya, Kasyfun Dhunun. Juga diaminkan oleh KH. Sirajuddin Abbas yang menyebut kematiannya tahun 593 H di dalam Thabaqat Syafi`iyah Cendekiawan dan buku-bukunya dari Abad ke Abad (2011).

Namun, sumber-sumber mengenai usia tersebut dibantah melalui pengakuan muridnya, Abu Tahir as-Silafi, yang bertemu beliau saat di Basra.

“...ia menyebutkan kepadaku tahun ini lima ratus…dan aku bertanya kepadanya tentang kelahirannya dan dia berkata, “Tahun tiga puluh empat dan empat ratus di Basra, dan ayahku lahir di Afadan, dan kakekku di Asfahani,” tutur as-Silafi dalam Mu’jam Safr.

Keterangan ini diperkuat oleh Imam Tajuddin As-Subki (w. 771 H) dalam Thobaqot Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro yang menyatakan bahwa ada kekeliruan para penulis biografi Abu Syuja’ yang menyadur pada dua tokoh, yakni Abu Syuja’ pengarang Matan Taqribi dan Abu Syuja ar-Rudzarawari, seorang wazir (sekelas menteri) yang lahir tahun 437 H dan meninggal tahun 488 H, memiliki nama asli Muhammad bin Husein bin Muhammad Abdillah.

Meski demikian, karakter dan kunyah Abu Syuja’ secara umum disematkan pada pengarang Matan Taqrib ini.

Selama menjabat sebagai hakim, ia tetap dengan rutinitas spiritualnya dengan menghabiskan waktu untuk membaca Al-Qur'an dan beribadah secara teratur. Ia sangat memperhatikan keadilan dan tidak membedakan status sosial maupun agama dalam menegakkan hukum.

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa setelah ia pensiun dari jabatannya, Abu Syuja' memutuskan untuk menjalani kehidupan sederhana dan menjadi seorang zuhud. Ia melakukan perjalanan ke Madinah dan mengabdikan dirinya mengelola Masjid Nabawi. Ia bahkan meninggal dunia ketika sedang menjaga masjid tersebut dan dimakamkan di Pemakaman Baqi’, berdekatan dengan makam putra Nabi Muhammad, Sayidina Ibrahim.

MENGAJI KITAB KUNING

Sejumlah santri mengaji Kitab Kuning di komplek Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, Selasa (30/5). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Matan Taqrib, Fikihnya Pemula

Abu Syuja' menulis kitab Matan Taqrib setelah meninggalkan Basrah dan menetap di kota Baghdad. Seturut KH. Sirajuddin Abbas dalam terjemahan Matan Taqrib berjudul Kitab Fiqih Ringkas (1978), kitab ini ditulis pada tahun 485 H.

“Lebih dahulu dari kitab-kitab fiqih Syarah Muhadzab, Muhalli, Qaliyubi Bujairimi Iqna’, dan bahkan lebih dahulu dari kitab-kitab Tuhfah dan Nihayah yang besar-besar dan berjilid-jilid itu,” tuturnya dalam paragraf pembuka penterjemah.

Abu Syuja’ menjelaskan alasan penulisan kitab ini sebagai reaksi atas permintaan sahabat-sahabatnya agar dibuatkan kitab panduan yang ringan dan ringkas terkait hukum-hukum harian. Permintaan ini disampaikan ketika ia masih menjabat sebagai hakim.

“Dan diminta juga agar memperbanyak bagian-bagian yang dibicarakan dan menyimpulkan persoalannya,” lanjutnya dalam mukadimah kitab tersebut.

Matan Taqrib pertama kali diterbitkan di Aleppo, Suriah, pada tahun 1320 M dan menjadi populer di kalangan para ulama fikih Mazhab Syafi'i di seluruh dunia Islam.

Isi dari kitab Matan Taqrib mencakup 17 bab yang terbagi ke dalam berbagai aspek fikih seperti ibadah, mu'amalah, jinayah, hukum waris, dan lain-lain. Bisa dikatakan aspek-aspek ini akhirnya terbagi ke dalam tiga bahasan pokok utama, yakni ubidiyah, mu’amalah, dan siyasah.

Ubudiyah umumnya terkait dengan aktivitas keagamaan yang berkaitan dengan perintah dan larangan Allah. Dalam Matan Taqrib, pembahasannya dibuka dengan bab tata cara bersuci, lalu berurutan salat, puasa, zakat, dan haji.

Sedangkan mu’amalah adalah bidang interaksi sosial dan ekonomi antara manusia seperti jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, dan lain-lain. Berbagai persoalannya dikupas dalam kitab ini, mulai dari perdagangan, wasiat, warisan, dan nikah.

Sedangkan siyasah lebih bersinggungan dengan pengelolaan pemerintahan dan politik, yang meliputi tata cara berpolitik, hukum pidana, tata cara menjalankan kekuasaan, dan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan pemerintahan. Hukum pidana, jihad, sanksi, dan lain-lain disinggung dalam Matan Taqrib.

Kitab ini juga membahas tata cara berburu hewan, cara-cara memanah, hukum sumpah dan nadzar, lantas diakhiri dengan pembahasan terkait pembebasan budak.

Setiap bab diawali dengan menjelaskan hukum secara umum kemudian dijabarkan lagi dengan detail, mulai dari syarat-syaratnya hingga rukun-rukun yang mengayominya.

SANTRI MUSIMAN MENGAJI KITAB KUNING

Sejumlah santri mengaji Kitab Kuning (kitab klasik berbahasa arab gundul) di komplek pondok pesantren (ponpes) Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur, Minggu (28/5). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani.

Dipuji dan Dikomentari Para Ulama

Melihat pengaruhnya yang terus berkembang dan jadi rujukan utama beberapa institusi pendidikan, Matan Taqrib kemudian banyak di-syarah­-­kan dan di-hasyiah­-kan dalam karya kitab oleh ulama-ulama lainnya.

Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi (w. 914 H) dalam syarah (kitab yang mengomentari karya lain) berjudul Fath al-Qarib al-Mujb fi Syarh Alfadz al-Taqrib menyanjungnya dalam balutan syair:

“Wahai seseorang yang ingin suatu kemanfaatan yang terus berlanjut, hendaknya ia memperolehnya dengan ketinggian dan kemanfaatan. Mendekatlah kepada ilmu pengetahuan dan jadilah engkau seorang yang pemberani, dengan wasilah kitab Taqrib karya al-Imam Abu Syuja’”.

Begitu pula ahli fikih asal Mesir, Syekh Khatib al-Syarbini (w. 877 H), memujinya dalam mukadimah syarah berjudul al-Iqna’ fi Hall Alfadz Abi Syuja’:

“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengetahui keikhlasan niat Syekh Abu Syuja’ ketika menyusun kitab ini, sebab keikhlasannya manfaat kitab ini menyebar, maka sedikit sekali dari para penuntut ilmu melainkan akan membaca terlebih dahulu kitab ini, entah dengan menghafal atau membacanya”.

Infografik Mozaik Abu Syuja

Infografik Mozaik Abu Syuja. tirto.id/Fuad

Sementara dalam bentuk Hasyiah (kitab yang menjelaskan kitab syarah), Syekh Ibrahim al-Bajuri (w. 1276 H) melahirkan karya Hasyiyah al-Bajuri ‘ala Syarh Ibn Qasim al-Ghazi. Begitu juga ulama Nusantara, Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H) ikut menelurkan hasiyah dari syarah-nya Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi lewat karyanya Qut al-Habib al-Gharib Tawsyikh ‘ala Fathi al-Qarib al-Mujib.

Pada tahun 1960, Penerbit Thaibah, Lawang, menerjemahkannya dengan judul Kitab Hukum Islam yang ditulis H.M Basori Alwi. Disusul CV. Diponegoro, Bandung, oleh Mahyuddin Syaf dengan judul At Taqrib warsa 1969.

Tak ketinggalan, para sarjana Barat menerjemahkan kitab fikih ini ke dalam berbagai bahasa, seperti Prancis pada tahun 1859 dengan judul Precis de Jurisprudence Musulmane oleh S.Keyser dan bahasa Jerman oleh E. Schau dengan judul Muhammadenisches Recht pada tahun 1897.

Matan Taqrib menjadi salah satu referensi utama dalam mempelajari fikih bermazhab Syafi'i. Kitab fikih untuk pemula ini cukup ringkas, bahkan tanpa bertele-tele dijelaskan apa dalil-dalilnya. Namun, secara umum memiliki pondasi dasar hukum fikih yang kuat.

Hingga kini, kitab ini telah dijadikan sebagai bahan pengajaran di wilayah muslim bermazhab Syafi’i, seperti di Mesir, Maroko, Irak, Sudan, Malaysia, Brunei, juga berbagai pesantren dan madrasah di Indonesia.

Baca juga artikel terkait KITAB KUNING atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Dwi Ayuningtyas