tirto.id - Di balik kelincahan pena dan ketajaman sebuah karya tulis, terdapat cerita-cerita yang unik, di luar nalar, dan mengharukan. Salah satunya datang dari Abu Ishaq Ibrahim bin Ali As-Syīrazī.
Ulama kelahiran kota Fairuzabad yang hidup pada abad ke-10 M ini terkenal sebagai sosok yang cakap dalam pelbagai persoalan ilmu keagamaan, termasuk ilmu fikih. Beberapa karyanya menawan sejak paragraf pertama bagian pembuka, sampai alinea terakhir bagian penutup. Kamampuan luar biasa yang tidak dimiliki banyak orang.
As-Syīrazī mampu menjelaskan persoalan haji seperti seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji berkali-kali. Selain pelbagai argumen cerdas dan menarik, seperti tercantum dalam Al-Muhazzab, kitab fikihnya yang terkenal, ia juga menjelaskan sisi filosofi ritual-ritual dan letak serta posisi situs-situs yang dikunjungi untuk menunaikan ibadah haji dengan sangat detail dan presisi. Padahal, ia belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya di kota Makkah.
Keanehan ini direkam oleh Yusuf An-Nabhanī dalam Jāmiu Karamātil Auliyā. Menurutnya, saat As-Syīrazī menulis kitab Al-Muhaddzab, ia diberi karunia oleh Allah berupa kemampuan kasyaf sehingga pandangannya tembus ke baitullah dan hijaz, tempat dilaksanakannya ibadah haji.
Cerita lain datang dari Abū Abdillāh Muhammad Jamāluddīn ibn Mālik at-Thāī atau lebih populer dengan sebutan Ibnu Malik. Ia adalah pakar bahasa dari daratan Andalusia yang mengarang kitab berbentuk nazam atau puisi dalam bidang gramatika Arab bertajuk Alfiyyah. Ibu Malik pernah mengalami writer’s block. Ia tidak bisa melanjutkan karangan saat baru menulis beberapa bait mukadimah nazam Alfiyyah.
Padahal, Ibnu Mālik merasa tulisannya jauh lebih baik dibandingkan dengan nazam Alfiyyah karangan seniornya yang sudah meninggal, yakni Yahya ibn Abdil Mu’thī ibn Abdin Nur Az-Zawāwi al-Maghribi atau yang lebih populer dipanggil Ibnu Mu’thi.
Ibnu Malik bingung. Berhari-hari ia tak berdaya. Tidak ada kekuatan menulis dan melanjutkan syair nazam gubahannya. Sampai pada suatu malam, seseorang mendatanginya dalam mimpi. Ibnu Mālik ditanya ihwal proyek penulisan nazamnya yang mandek. Ia mengiyakan dan bercerita bahwa proyek penulisannya terancam gagal karena sudah berhari-hari ia tak kunjung bisa melanjutkannya
“Terang saja, satu orang hidup bisa menaklukkan dan mengalahkan seribu orang mati,” kata lelaki yang mendatanginya dalam mimpi. Kalimat itu menghentak dan memojokkan Ibnu Mālik. Ia tersindir sekaligus tersadar.
“Apakah Anda Ibnu Mu’thi?” tanyanya.
“Iya. Akulah orang yang karyanya kau anggap tidak lebih baik dari kitab yang akan kau karang,” jawab lelaki itu seraya tersenyum.
Ketika terbangun, Ibnu Mālik segera mengambil wudu. Ia merevisi satu bait yang bernada merendahkan dan menyepelekan karya Ibnu Mu’thi. Bahkan, ia menambahkan satu penggalan bait bernada doa dan pujian.
"Wahua bisabqin khāizun tafdhilā mustaujībun tsanāiyal jamīlā (dia [Ibnu Mu’thi] adalah sosok yang istimewa karena lebih senior dan ia berhak atas sanjunganku yang indah)," tulisnya.
Setelah itu, menurut Ibnu Hamdun dalam HasiyyahMakudi (1988), Ibnu Mālik mampu merampungkan bait demi bait nazam karangannya dengan sangat lancar.
Kitab yang Dilempar ke Laut dan Al-Ghazali dari Timur
Sesaat setelah mengarang kitab gramatika Arab bertajuk Al-Jurūmiyyah, Syaikh As-Shanhaji seperti diriwayatkan oleh Syaikh Ismail bin Musa Al-Hamidi Al-Maliki dalam kitab Syarah Kafrawi (1975), segera melemparkan kitab tersebut ke lautan sembari berucap, “in kāna khālisan lillāhi falā yabul (Jika kitab ini dikarang murni atas motivasi karena Allah, maka niscaya ia tidak akan basah)."
Kisah As-Shanhaji ini menunjukkan betapa motivasi dalam mengarang sebuah karya menjadi modal besar dan utama. Motivasi yang salah akan berujung pada petaka dan ketidakberkahan karya. Ini yang hendak dihindari oleh As-Shanhaji.
Maka, buah keikhlasan dan kemurnian motivasi karena Allah itu terbukti hingga saat ini. Kitab Al-Jurūmiyyah menjadi kitab wajib yang dipelajari oleh siapa saja yang hendak belajar dasar-dasar gramatika Arab.
Lain lagi yang terjadi dengan Syaikh Ihsan bin Dahlan. Ulama kesohor dari Kediri, Jawa Timur, yang mendapat julukan Imam Ghazali dari Timur ini menulis kitab monumental bertajuk Sirājut Thālibīn. Karya ini merupakan komentar atas kitab karya Al-Ghazali dalam disiplin Ilmu Tasawuf, yakni Minhājul Ābidīn. Karyanya ini hingga kiwari menjadi salah satu kitab wajib yang dipelajari di Al-Azhar, Mesir.
“Wa mā lī fi hadzal majmū’ illa naqlu wal jam’u min kalāmil ulamāir rāsihūn (Apa yang saya tulis ini tidak lebih hanya sebatas kliping kutipan dan sitasi dari para ulama yang otoritatif)," tulis Syaikh Ihsan rendah hati.
Selain tawaduk, saat menulis kitab tersebut, Syaikh Ihsan juga tengah dirundung kesedihan yang mendalam karena perceraian. Namun, pukulan berat itu tidak membuatnya patah arang. Justru sebaliknya, kesedihan itu membuat karyanya menjadi monumental.
Kelak, kitab yang lahir dari kesedihan itu mengantarkannya menjadi salah satu ilmuwan moncer yang disegani di lapangan kajian tasawuf. Bahkan Raja Faruk yang berkuasa di Mesir pada tahun 1934, sempat mengirim utusan ke Kediri untuk merayu Syaikh Ihsan agar berkenan mengajar di Mesir. Namun, Syaikh Ihsan dengan halus dan tawaduk menolak permintaan tersebut.
==========
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang kisah hikmah yang diangkat dari dunia pesantren dan tradisi Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Hikayat Ramadan". Rubrik ini diampu selama sebulan penuh oleh Fariz Alnizar, pengajar Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan kandidat doktor linguistik UGM.
Editor: Irfan Teguh