tirto.id - Warsa 2003, salah seorang cendikiawan Muslim Indonesia kesohor, Nurcholis Madjid, menghadiri Muktamar Pemikiran Islam di Sitobondo, Jawa Timur. Muktamar itu dihadiri tunas-tunas intelektual dan cendekiawan yang mayoritas berasal dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
Anak-anak muda itu bertekad mewarnai corak pemikiran di tubuh NU yang dinilai mandek dan kurang progresif. Dalam Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (2004) yang disunting oleh Zuhairi Misrawi, dinamika pemikiran progresif tahun-tahun itu memang sedang gencar. Muktamar Pemikiran Islam menjadi momen penting yang menandai pergulatan pemikiran anak muda NU.
Di depan para peserta dan pengasuh pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Cak Nur mendendangkan sebuah nazam yang berasal dari kitab Tuhfathul Athfāl anggitan Sulaimān Al-Jamzuri.
"Shif dzā tsanā kam jada syakhsun qad samā, dum thayyiban zid fi tuqa dha’ dhālima," ucapnya.
Cak Nur dengan fasih menerjemahkan bait itu secara tidak umum. Ia menggali nilai-nilai filosofi yang dikandung bait tersebut yang sebetulnya berbicara soal ilmu tajwid.
“Saya datang ke Pesantren Sukorejo yang diasuh oleh K.H. R. Fawaid As’ad Syamsul Arifin ini, tidak lain salah satunya didasari oleh semangat mengamalkan nazam yang saya bacakan barusan,” imbuhnya.
Apa yang dilakukan oleh Cak Nur adalah salah satu dari sekian banyak tradisi pesantren, yang salah satu wataknya haus akan nilai-nilai filosofi yang dikandung dalam sebuah bait nazam. Di sela-sela pengajian rutin, tak sedikit kiai dan santri berburu mutiara hikmah yang terkandung dalam nazam.
“Bak menemukan mutiara di kedalaman laut,” ungkap seorang kiai.
Di lain kesempatan di tengah-tengah massa kampanye, seorang juru kampanye jebolan pesantren tiba-tiba menyenandungkan salah satu bait nazam Alfiyah, kitab syair tentang tata bahasa Arab karya Ibnu Malik.
"Aalā yajuzu ibtida bin nakirah, Ma lam tufid ka inda zaidin nāmirah," ucapnya.
Hadirin tampak kebingungan, mengapa sang jurkam tidak mengutip dalil dari Alquran atau hadis, malah bersenandung mencomot nazam Alfiyah. Sampai kemudian sang jurkam menjelaskan bahwa bait nazam yang dikutip olehnya adalah dalil sarih anjuran supaya memilih pemimpin yang kompeten di bidangnya.
“Kita harus memilih pemimpin yang jelas rekam jejaknya, sebagaimana kalau dalam ilmu nahu (gramatika Arab) kita tidak diperkenankan membuat mubtada dari isim nakirah. Jadi kita pilih pemimpin yang jelas pengalaman dan reputasinya. Yang tidak jelas rekam jejak dan pengalamannya tidak usah dipilih,” ungkapnya.
Tidak mau kalah, juru kampanye kedua naik ke atas podium. Ia dengan lantang lagi-lagi menyitir bait-bait Alfiyah Ibnu Malik. Kali ini isu yang yang diangkatnya adalah soal kebijakan pro asing. Nazam ini yang dikutip: "Wa fikhtiyāri lā yajīu munfashil, idza ta’ata an yajī’a muttashil."
“Bapak ibu sekalian kudu ngarti bahwa dalam keadaan yang tidak terdesak kita kagak boleh minta bantuan asing (munfashil). Kita harus berdiri di atas kaki sendiri, betul?”
Massa bergemuruh menyambut orasi itu, sementara ia hanya terkekeh.
Rayuan dan Keteladanan
Bukan hanya urusan politik, nazam juga kerap digunakan untuk merayu lawan jenis. Salah satu bait nazam favorit yang digunakan oleh kaum lelaki—utamanya dari kalangan pesantren--untuk menyatakan cinta kepada perempuan idamannya adalah: "wa hal fatā fikum fama hillun lanā?" Maknanyakurang lebih: “Adakah seorang lelaki yang sudah bersanding di sampingmu? Sebab sampai kiwari aku masih jomlo dan belum punya kekasih.”
Selain mengais kebijaksaan dari nazam, tradisi lain yang lestari di pesantren adalah meminjam kaidah gramatika Arab untuk menjelaskan filosofi kehidupan. Topik pembicaraannya tentu saja soal-soal yang serius, misalnya tentang keteladanan seperti yang pernah dibicarakan oleh Kiai Azizi Hasbullah, jebolan Pesantren Lirboyo, Kediri.
Pada sebuah rekaman suara, ia berkata bahwa jika ceramah hanya berhenti pada aktivitas ceramah, niscaya pendengar tidak akan mendapatkan manfaat apa-apa.
“Al-kalãmu huwal lafdzul murakkabul mufīdu bil wadh’i,” ucapnya mengutip kitab Jurumiyah.
Kalimat itu kurang lebih bermakna bahwa perkataan akan berfaedah jika ia murakab atau tersusun dari lisan yang selaras dengan perbuatan. Ringkasnya, jika ingin menjadi teladan, maka segera tutup jurang yang memisahkan antara perkataan dan perbuatan.
Cara-cara mengais kebajikan dan kebijaksaan dari pelbagai nazam kitab tata bahasa Arab, menjadi salah satu ciri khas kalangan pesantren. Tak heran jika mereka bisa sangat luwes dalam menyikapi pelbagai keadaan tanpa abai pada prinsip. Dan lewat jalan ini pula, mereka sesekali bersenandung mengungkapkan ketertarikannya pada lawan jenis.
Editor: Irfan Teguh