Menuju konten utama
Horizon

Iduladha Tiba, Orang-Orang Madura yang Merantau saatnya Toron

Pada 3 hari besar Islam, orang-orang Madura yang merantau (naik) akan pulang atau toron (turun). Istilah itu berkaitan dengan sejarah politik dan ekonomi.

Iduladha Tiba, Orang-Orang Madura yang Merantau saatnya Toron
Pengendara motor melintasi Jembatan Suramadu, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (13/6/2018). ANTARA FOTO/Zabur Karuru

tirto.id - Fathul Ulum, bukan nama sebenarnya, bercerita bahwa ia akan selalu disuruh pulang ke kampung halaman oleh ibunya setiap menjelang Iduladha. Sang ibu akan memaksa pulang pria asal Sumenep itu, tak peduli meskipun terkadang ia malas pulang.

"Saya ini sebenarnya malas untuk pulang. Tapi karena dipaksa pulang oleh ibu, makanya saya mau pulang," ungkapnya kepada Tirto, pada Kamis (5/6/2025).

Ia tak tahu pasti mengapa Iduladha menjadi ajang bagi orang-orang Madura untuk berbondong-bondong kembali ke kampung halaman. Ia hanya bisa menduga bahwa banyak orang Madura kerap menggelar acara besar pada hari di sekitar Iduladha, seperti selamatan, silaturahmi, dan perkawinan.

"Saya pikir karena banyak orang Madura menggelar acara-acara penting pada saat Iduladha," ungkapnya.

Sementara itu, Gilang Musthofa, pria yang juga berasal dari Sumenep, menganggap bahwa banyak orang Madura pulang ketika Iduladha karena hari raya ini dianggap sebagai salah satu hari besar oleh orang Madura, selain Maulid Nabi dan Idulfitri.

"Seperti saudara saya yang bekerja di Batam. Ia akan pulang pada Iduladha karena mau tunangan," ujarnya.

Karena itu, banyak orang Madura akan merasa tidak enak atau bahkan malu ketika tidak pulang pada saat Iduladha. Sehingga mereka akan menyempatkan diri untuk pulang kendati hanya sebentar.

"Kalau boleh saya cakap, banyak orang Madura akan pulang ketika Iduladha akan tiba. Kalau nggak pulang, ada rasa nggak enak itu pasti. Karena bagi saya, hari raya ini adalah hari yang sakral," bebernya.

ARUS MUDIK DI JEMBATAN SURAMADU

Pengendara motor melintasi Jembatan Suramadu di Bangkalan, Jawa Timur, Kamis (30/7/2020). ANTARA FOTO/Zabur Karuru/aww.

Toron dan Onggha

Dalam tradisi Madura, pulang ke kampung halaman biasa disebut toron. Kata ini bermakna turun. Juga merujuk pada tradisi Madura lain, yakni toron tana (turun tanah), saat seorang bayi berusia sekitar tujuh bulan menginjakkan kaki ke tanah.

Selain toron, orang Madura juga mengenal Onggha, yang artinya naik. Dalam konteks migrasi, kata ini merujuk pada sebuah aktivitas meninggalkan kampung halaman atau biasanya dikenal dengan merantau.

Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya, Mohammad Refi Omar Ar-Razy, menjelaskan bahwa kedua kata itu menarik untuk ditafsirkan. Bukan tanpa alasan bila orang Madura menyebut kembali ke kampung halaman sebagai "turun" dan merantau sebagai "naik".

Dalam studi sejarah, kata Refi, kedua kata itu pernah coba ditafsirkan oleh Huub De Jonge, salah seorang antropolog dari Belanda yang banyak menulis soal Madura. De Jonge menganggap Madura sejak zaman kerajaan adalah sebuah negara yang posisinya berada di bawah kerajaan-kerajaan di Jawa. Itulah mengapa kemudian orang Madura merasa ketika pergi ke Jawa sebagai "naik" dan ketika kembali ke Madura sebagai "turun".

"Karena sejak masa kerajaan, Madura itu selalu menjadi wilayah yang notabene adalah vasalnya kerajaan-kerajaan di Jawa. Vasal itu adalah negara atau kerajaan bawahan. Oleh sebab itu, muncul mental bahwa mereka posisinya berada di bawah Jawa sehingga ketika ke Jawa itu Onggha dan ketika kembali ke Madura Toron,” kata Refi kepada Tirto, pada Kamis (5/6/2025).

Ia menambahkan, kedua kata tersebut juga pernah coba ditafsirkan oleh Kuntowijoyo dalam disertasinya yang berjudul Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Menurut Kuntowijoyo, seperti dikutip Refi, orang Madura menyebut pergi ke Jawa itu naik mengingat Jawa adalah sumber kehidupan. Alhasil, mereka kemudian sangat menghargai Jawa.

"Orang-orang Madura itu selalu menganggap bahwa ke Jawa itu ya naik, dengan makna ketika mereka ke Jawa mencari kecukupan hidup. Mereka memosisikan dirinya sangat menghargai Jawa sehingga posisi Jawa bagi mereka adalah di atas, karena penghidupan mereka ada di Jawa. Sehingga, ketika mereka ke Jawa istilahnya Onggha, dan ketika mereka ke Madura istilahnya toron. Dan saya lebih lebih condong pada posisi Kuntowijoyo," ungkapnya.

Orang Madura sebagai Perantau

Kedua kata tersebut sebenarnya terkait erat dengan migrasi yang umumnya dilakukan oleh orang Madura. Alasan Jawa yang dipilih dalam kata Onggha dan bukan daerah lainnya barangkali terkait dengan banyaknya orang Madura yang merantau ke sana.

Ini dapat dilihat pada wilayah Tapal Kuda, sebuah kawasan di Jawa Timur yang mayoritas dihuni oleh suku Madura. Kawasan itu meliputi 7 Kabupaten, yakni Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Lumajang, Pasuruan, Situbondo, dan Probolinggo.

Dalam kaitannya dengan kedua kata tersebut, Refi merujuk pada periode kolonial, tepatnya pada akhir abad ke-19. Pada masa ini, banyak orang Madura pergi merantau ke daerah lain, khususnya Jawa, karena kondisi sumber daya alamnya yang bisa dibilang kurang subur. Ini bisa dilihat pada kontur tanah di Madura yang merupakan tanah kapur.

Dalam konteks ini, Kuntowijoyo dalam disertasinya mencatat bahwa banyak orang Madura melakukan migrasi temporer atau permanen pada masa itu, utamanya sejak perkebunan di Jawa Timur dibuka. Migrasi tersebut mengakibatkan penurunan pada angka kelahiran dan juga penurunan populasi penduduk di Madura.

PUNCAK ARUS MUDIK SURAMADU

Pengendara roda dua antre memasuki pintu tol Jembatan Suramadu di sisi Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (24/6). ANTARA FOTO/Moch Asim.

Menurut Kuntowijoyo, migrasi temporer dilakukan dengan meninggalkan Madura pada saat musim kemarau dan kembali lagi pada masa panen atau pada akhir bulan Ramadan.

Mereka biasanya tinggal di Jawa selama tiga hingga enam bulan atau dua minggu hingga satu bulan. Mereka akan kembali lagi ke Madura karena ongkos transportasi saat itu yang relatif murah, yakni hanya 25 sen. Harga yang sama dengan upah menjadi buruh selama sehari.

Selama merantau, banyak dari mereka yang menjadi pedagang, kuli, tukang angkut air, tukang angkut barang, buruh perkebunan, dan sebagainya.

Sementara migrasi permanen mulai banyak dilakukan orang Madura pada tahun 1930. Umumnya, mereka pergi ke kota-kota yang kini dikenal dengan sebutan Tapal Kuda. Menurut Kuntowijoyo, di kota-kota tersebut mereka aktif berperan dalam pergerakan nasional dan di lingkungan kelompok etnis Madura pada umumnya.

Tak Lupa pada Tanah Kelahiran

Menurut Refi, umumnya orang Madura melakukan toron untuk nyalase atau ziarah. Orang Madura juga biasanya melakukan nyabis atau sowan ke kiai untuk meminta doa agar hidupnya tenang dan sejahtera.

Tak lupa pula, imbuh Refi, orang Madura juga biasanya melakukan ibadah kurban. Soal kurban dikaitkan oleh orang Madura dengan status sosial terkait binatang apa yang dijadikan kurban.

"Proses berkurban dengan kambing atau sapi setidaknya menunjukkan status sosial mereka di perantauan. Ketika dia atau orang-orang Madura kembali saat Iduladha dan menyembelih hewan kurban, itu menunjukkan status sosial mereka. Kalau sapi, misalkan, status sosialnya lebih tinggi dari orang yang hanya berkurban domba atau kambing," terang Refi.

Lewat kurban, sedikit banyak menunjang perekonomian orang Madura yang memilih untuk tidak merantau, yakni mereka menjual binatang ternak.

Bagi Gilang Musthofa, toron yang dilakukan oleh orang Madura menjadi pengingat bahwa mereka tak boleh melupakan tanah kelahirannya meskipun telah sukses di perantauan.

"Bahwasanya seenak apapun kehidupan kita di tempat perantauan, kita tidak boleh meninggalkan atau melupakan Madura. Makanya kalau orang Madura di tempat perantauan, meskipun dia sebetulnya sukses di perantauan pasti ada identitas terhadap Maduranya. Karena bagaimanapun, mereka tetap cinta dengan Madura,” kata Gilang.

Baca juga artikel terkait IDULADHA atau tulisan lainnya dari Muhammad Akbar Darojat Restu

tirto.id - Horizon
Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Irfan Teguh Pribadi